Mohon tunggu...
Feddy Wanditya Setiawan
Feddy Wanditya Setiawan Mohon Tunggu... Lecturer

Science advances not by blind obedience to old answers, but by the courage to question

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Menkeu Purbaya dan Ambisi 6%: Mungkinkah Ekonomi Indonesia Melesat di Kuartal IV?

14 Oktober 2025   19:00 Diperbarui: 16 Oktober 2025   10:31 146
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Navigating Indonesia's Economic Growth: Ambition vs. Reality and Fiscal Credibility [i. AI Curatorial Prompt by Feddy WS, 2025]

Pernyataan itu kontan mengguncang panggung ekonomi: Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa menyebut bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia pada kuartal IV (Q4) bisa menembus di atas 5,5%, bahkan membuka peluang menggapai 6% jika momentum kebijakan berhasil. Hal ini memancing pertanyaan besar—apakah optimisme tersebut realistis atau sekadar retorika politis? Dalam tulisan ini kita akan mencoba menelaah secara mendalam dari berbagai aspek: latar belakang Menkeu Purbaya, konteks ekonomi makro domestik dan global, instrumen kebijakan yang tersedia, risiko & hambatan, hingga skenario proyektif. Tujuannya bukan sekadar prediksi, tetapi menganalisis apakah 6% di Q4 itu “mungkin” secara prinsip dan apa syaratnya. 

Profil dan Gaya Kepemimpinan Menkeu Purbaya

Sebelum menyelami angka-angka, penting memahami siapa Purbaya Yudhi Sadewa dan paradigma kebijakan yang kemungkinan akan ia usung.

  • Purbaya resmi dilantik sebagai Menteri Keuangan menggantikan Sri Mulyani Indrawati pada 8 September 2025.
  • Latar belakangnya cukup menarik: lulusan Teknik Elektro ITB, kemudian meraih gelar MSc dan PhD bidang ekonomi dari Purdue University (Amerika Serikat).
  • Sebelum menjadi Menkeu, ia menjabat sebagai Kepala Lembaga Penjamin Simpanan (LPS).
  • Citra publik Purbaya relatif “langsung, tegas, dan pragmatis.” Reuters menyebut ia sebagai ekonom yang berbicara lugas (plain-speaking).
  • Dia dikenal kritis terhadap lembaga internasional yang, dalam pandangannya, terlalu meremehkan potensi ekonomi Indonesia.
  • Salah satu pernyataannya yang sering dikutip: “90% perekonomian kita di-drive dari permintaan domestik.” Dengan kata lain, fokus utamanya adalah mengobati ‘sakit’ domestik ketimbang mengandalkan permintaan luar negeri.
  • Dalam rapat DPR, Purbaya menyebut akan menarik dana sekitar Rp 200 triliun dari Bank Indonesia (sebesar cadangan likuiditas) untuk menjaga likuiditas dan mendorong sektor riil.
  • Dengan karakter dan strategi semacam ini, Purbaya tampaknya akan mengedepankan kebijakan propertumbuhan (growth-oriented) yang agresif dibandingkan pendekatan yang lebih berhati-hati atau restriktif.
  • Namun, “agresif” bukan berarti bisa melewati batas fundamental — dan tantangan yang dihadapi sangat besar. Mari kita hitung secara makro.

Landasan Makroekonomi: Keadaan Saat Ini & Tren

1. Pertumbuhan ekonomi historis & baseline

Untuk memahami apakah pertumbuhan 6% dalam satu kuartal mungkin, kita harus melihat dasar (baseline) ekonomi Indonesia saat ini:

  • Sejak pemulihan pasca-COVID, pertumbuhan tahunan Indonesia sering berkisar di angka ±5%.
  • Data paling mutakhir (kuartal II / semester I 2025) menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia masih berada di kisaran “kuat, tapi belum spektakuler.” (BPS data)
  • Banyak lembaga internasional, seperti World Bank atau institusi ekonomi global lainnya, masih memproyeksikan pertumbuhan nasional 2025 di kisaran 4,7% – 5,0% (atau sedikit di atas). Hal ini menunjukkan ekspektasi pasar bahwa pemulihan akan moderat, bukan loncatan kilat ke 6%.
  • Dalam konteks kuartal ke kuartal (q-to-q), untuk mencapai 6% (yoy) di Q4, pertumbuhan kuartal itu harus melebihi rata-rata tahunan, ditopang lonjakan output atau permintaan yang besar.

Artinya, untuk “menaikkan” pertumbuhan ke 6% di Q4, kita butuh “suntikan ekstra” yang cukup besar — baik dari belanja pemerintah, investasi swasta, maupun ekspor yang melonjak.

2. Sumber pertumbuhan: konsumsi, investasi, ekspor & belanja pemerintah

Kalau kita teliti struktur pendorong pertumbuhan:

  • Konsumsi rumah tangga selama ini menjadi tulang punggung ekonomi Indonesia. Bila daya beli meningkat (pendapatan meningkat, inflasi terkendali), konsumsi dapat menopang pertumbuhan.
  • Investasi (termasuk investasi swasta dan proyek infrastruktur) penting untuk memperbesar kapasitas dan daya saing produksi domestik.
  • Ekspor dan sektor luar: permintaan global untuk komoditas, manufaktur, dan produk bernilai tambah bisa mendongkrak pertumbuhan, terutama jika rupiah tidak terlalu melemah.
  • Belanja pemerintah & stimulus fiskal: ini adalah “alat langsung” yang dapat dipicu dalam jangka pendek (misalnya, belanja padat karya, insentif usaha, transfer daerah) agar memberikan efek multiplier terhadap aktivitas ekonomi.

Purbaya menyadari bahwa banyak tekanan berasal dari likuiditas yang tertahan dan permintaan domestik yang lesu (disebutnya, kondisi ekonomi “ditekan” oleh kebijakan moneter/fiskal sebelumnya). 

Dengan menarik dana Rp 200 triliun dari BI dan menyalurkannya ke sektor produktif, pemerintah berharap “mengalirkan darah segar” ke mesin ekonomi.

Namun penyaluran efektif dan kecepatan reaksi sektor riil menjadi kunci. Jika dana itu “mandek” di lembaga keuangan atau tertahan regulasi, efeknya akan tertahan pula. 

3. Kondisi eksternal: resiko & peluang global

Kondisi global juga sangat berpengaruh:

  • Permintaan ekspor global bisa melemah bila ekonomi konsumsi negara utama (AS, Tiongkok, Uni Eropa) melambat.
  • Harga komoditas bisa menjadi variabel yang menguntungkan jika naik, karena Indonesia sebagai negara penghasil komoditas (minyak, batu bara, CPO, mineral) akan menerima “bonus” ekspor.
  • Aliran modal asing: masuknya investor ke pasar modal atau surat utang akan membantu likuiditas dan kepercayaan pasar keuangan, namun keluarnya modal darurat (capital outflow) bisa memperlemah rupiah dan menaikkan suku bunga dalam negeri. Purbaya menyebut harapan bahwa aliran modal asing ke pasar domestik akan membaik.

Suku bunga global dan kebijakan moneter negara maju (The Fed AS, ECB, dan lain) mempengaruhi suku bunga obligasi dan kredit di Indonesia. Bila suku bunga global naik, tekanan biaya pinjaman bisa meningkat.

Instrumen Kebijakan & Arah Strategis Purbaya

Agar target 6% Q4 dapat dikejar (atau mendekati), Purbaya harus menggerakkan instrumen kebijakan secara terkoordinasi dan cepat. Berikut langkah-langkah utama yang bisa dan sedang ia tempuh:

1. Penarikan likuiditas dari BI dan penyaluran ke bank & sektor riil

Penarikan dana sebesar Rp 200 triliun dari BI ke bank negara (HIMBARA) atau lembaga keuangan produktif merupakan langkah berisiko tinggi tetapi berpotensi mendorong pertumbuhan jika disalurkan cepat.

Purbaya juga mempertimbangkan pemindahan sebagian dana dari simpanan pemerintah di BI ke bank daerah regional agar penyalurannya lebih cepat ke sektor lokal.

Kendala utama: seberapa cepat bank bisa menyalurkan kredit ke sektor produktif; regulasi KUR, persyaratan jaminan, dan tingkat suku bunga akan menjadi hambatan teknis – jika terlampau kencang deregulasi, risiko penyalahan dana atau kredit macet meningkat.

2. Stimulus fiskal dan belanja pemerintah padat karya

Selama ini, stimulus fiskal adalah “jalan pintas” jangka pendek untuk mendorong permintaan agregat. Jika pemerintah melakukan percepatan belanja (infrastruktur kecil menengah, padat karya, subsidi konsumsi, insentif UMKM dan sektor padat tenaga kerja), ini bisa menyuntik permintaan pasar secara langsung.

Menkeu perlu mempercepat proses pengadaan barang/jasa, memperpendek rantai birokrasi, dan memastikan dana belanja bisa turun ke daerah dan proyek kecil dalam waktu cepat.

3. Insentif bagi sektor swasta & investasi

Agar swasta mau ikut “ngebut,” diperlukan stimulus seperti:

  • Kemudahan perizinan
  • Insentif pajak (tax holiday, tax allowance)
  • Restrukturisasi utang / pembiayaan murah
  • Dukungan kredit modal kerja

Purbaya harus menyeimbangkan antara dorongan bagi sektor swasta dan menjaga kredibilitas fiskal agar pasar tetap percaya bahwa pemerintah tidak akan kekurangan dana.

4. Kebijakan nilai tukar & moneter

Walau BI independen, koordinasi kebijakan antara Kementerian Keuangan dan Bank Indonesia penting agar perubahan likuiditas tidak memicu inflasi atau depresiasi rupiah yang tak terkendali.

Jika rupiah melemah terlalu cepat, tekanan inflasi meningkat, dan daya beli konsumen melemah. Ini bisa memukul balik upaya pertumbuhan tinggi.

5. Penggerak sektor ekspor dan komoditas

Memanfaatkan potensi ekspor: Purbaya bisa memperkuat diplomasi perdagangan, mempermudah ekspor barang bernilai tambah, mengurangi hambatan tarif & non-tarif, serta mempercepat ekspor komoditas unggulan ketika harga internasional menguntungkan.

Risiko, Hambatan, & “Titik Jatuh”

Meskipun strategi di atas terdengar ideal, realitas di lapangan sangat menantang. Berikut risiko utama yang bisa meredam ambisi 6%:

  • Penyaluran lambat
    Uang, betapapun banyaknya, jika tertahan di lembaga keuangan dan tidak sampai ke sektor riil, efeknya minimal.
  • Inflasi & tekanan harga
    Lonjakan permintaan yang tak diiringi peningkatan produktivitas bisa memicu inflasi. Bila inflasi tinggi, daya beli konsumen bisa terpengaruh negatif.
  • Depresiasi rupiah & tekanan eksternal
    Bila rupiah melemah tajam akibat “arahan” pasar, impor bahan baku dan input produksi menjadi lebih mahal – mengerek biaya produksi dan inflasi.
  • Utang & beban fiskal
    Semakin agresif stimulus fiskal, semakin besar beban APBN dan kemungkinan defisit akan melebar. Jika pasar memandang bahwa defisit tak terkendali, bisa menurunkan kepercayaan pasar finansial.
  • Politik & kepastian regulasi
    Kebijakan harus konsisten dan terprediksi; perubahan mendadak, konflik antar lembaga, atau keberatan daerah bisa menghambat implementasi.
  • Ketidakpastian global
    Resesi global, perang dagang, gangguan rantai pasok, atau kejutan eksternal lain bisa meredam ekspor dan aliran modal.
  • Efek jangka panjang vs short term shock
    Meski Q4 bisa “dirayu” tumbuh tinggi oleh stimulus, mempertahankan pertumbuhan tinggi berkelanjutan jauh lebih sulit – dan kebijakan jangka panjang harus disiapkan.

Skenario Proyeksi: Dari Optimis hingga Realistis 

Skenario Proyeksi: Dari Optimis hingga Realistis (i. Tabel 1)
Skenario Proyeksi: Dari Optimis hingga Realistis (i. Tabel 1)

Berdasarkan berbagai indikator dan tren yang ada, setidaknya terdapat empat kemungkinan skenario perkembangan ekonomi Indonesia pada kuartal IV.

Dalam skenario paling optimis, pertumbuhan ekonomi bisa mencapai atau bahkan melampaui 6%, dengan syarat semua kebijakan berjalan sangat efektif. Likuiditas terserap cepat, konsumsi masyarakat melonjak, investasi swasta bangkit, dan ekspor komoditas meningkat tajam. Namun, skenario ini sangat bergantung pada kecepatan implementasi dan koordinasi antar lembaga.

Skenario moderate atau upside, yaitu pertumbuhan antara 5,5% hingga 5,9%, merupakan kondisi yang paling mungkin tercapai apabila stimulus tersalurkan dengan baik, konsumsi meningkat, dan situasi global relatif stabil. Ini bisa dianggap sebagai target realistis yang masih sejalan dengan pernyataan optimistis Purbaya.

Sementara skenario baseline konservatif, di kisaran 5,0% hingga 5,5%, merepresentasikan pandangan mayoritas lembaga internasional seperti Bank Dunia dan OECD yang memperkirakan pertumbuhan Indonesia akan tetap stabil namun belum mengalami lonjakan besar.

Sedangkan dalam skenario pesimis, pertumbuhan bisa berada di bawah 5% jika stimulus tidak tersalurkan efektif, daya beli tetap lemah, dan tekanan eksternal meningkat. Dalam kondisi ini, target 6% bukan hanya jauh dari harapan, tapi berpotensi menciptakan risiko fiskal baru.

Dengan kata lain, angka 6% masih merupakan target ambisius namun belum mustahil. Jika seluruh kebijakan Purbaya dijalankan secara disiplin, terukur, dan tepat sasaran, peluang untuk mendekati level tersebut tetap terbuka, meski kecil.

Menkeu Purbaya sendiri menargetkan pertumbuhan >5,5% pada Q4 dan menyebut bahwa angka 6% masih sebagai visi ke depan (untuk tahun mendatang). 

Dalam realitasnya, mencapai 6% di satu kuartal akan memerlukan “loncatan ekstra” yang sangat besar bukan hanya stimulus biasa. Namun, berada di kisaran 5,6–5,8% tampaknya lebih masuk akal sebagai batas atas jika semua variabel kondusif. 

Catatan Khusus: Apa yang Harus Diwaspadai?

Untuk memperkuat analisis ini, ada beberapa “titik rawan” yang sebaiknya menjadi lampu merah (watchlist) bagi pengamat ekonomi:

  • Data aktivitas riil “leading”
    Seperti indeks manufaktur, PMI, retail sales, penjualan mobil/sepeda motor, konsumsi listrik, kredit baru, dan kepercayaan konsumen. Jika indikator-indikator ini mulai menunjukkan rebound kuat, itu menjadi sinyal optimis.
  • Kecepatan & distribusi penyaluran stimulus
    Apakah dana Rp 200 triliun benar-benar sudah menjangkau daerah-daerah dan sektor usaha kecil menengah dengan cepat?
  • Respons sektor swasta
    Apakah pengusaha merespon stimulus dengan menambah kapasitas atau hanya menahan modal menunggu kepastian?
  • Inflasi, suku bunga & nilai tukar
    Lonjakan suku bunga atau pelemahan rupiah yang tidak terkendali bisa membatasi konsumsi dan investasi.
  • Kesiapan regulasi & birokrasi
    Perizinan, lelang proyek, birokrasi lama, dan korupsi bisa menunda realisasi stimulus.
  • Resiko eksternal mendadak
    Krisis global, perang, gangguan rantai pasok, hingga performa ekonomi dunia bisa menjadi variabel “kill switch”.

Indikator Kunci yang Harus Dipantau

Untuk menilai apakah ekonomi Indonesia benar-benar menuju 6%, ada sejumlah indikator penting yang perlu diawasi dari waktu ke waktu:

  • Indeks aktivitas manufaktur (PMI) – peningkatan di atas 52 menunjukkan ekspansi industri yang kuat.
  • Penjualan ritel dan kendaraan bermotor – menjadi barometer konsumsi rumah tangga.
  • Pertumbuhan kredit perbankan – menandakan apakah likuiditas dari BI benar-benar tersalurkan ke sektor produktif.
  • Inflasi dan suku bunga acuan BI – menjaga keseimbangan antara pertumbuhan dan stabilitas harga.
  • Nilai tukar rupiah dan aliran modal asing – mencerminkan kepercayaan investor global terhadap ekonomi domestik.
  • Realisasi belanja pemerintah – menentukan seberapa cepat efek fiskal dirasakan oleh masyarakat dan dunia usaha.

Jika enam indikator ini menunjukkan tren positif secara bersamaan pada Oktober hingga Desember 2025, maka peluang pertumbuhan di atas 5,5% akan semakin besar.

Ilustrasi Dashboard Indikator Mingguan Ekonomi Indonesia

Pemantauan Potensi Pertumbuhan Kuartal IV Tembus 6%

Tujuan

Memantau secara dinamis peluang pertumbuhan ekonomi Indonesia Kuartal IV (Q4) 2025 mencapai atau mendekati 6% year-on-year, melalui kombinasi indikator konsumsi, investasi, ekspor, kebijakan fiskal, moneter, dan kepercayaan pasar.

Indikator Makro Utama (Update Mingguan) 

Indikator Makro Utama (i. Tabel 2)
Indikator Makro Utama (i. Tabel 2)

Barometer Peluang 6% (Skor Dinamis) 

Barometer Peluang 6% (i. Tabel 3)
Barometer Peluang 6% (i. Tabel 3)

Sinyal Cepat (Fast-Track Monitoring)

Indikator ini menggunakan data harian–mingguan yang bisa diamati langsung dari media dan sumber terbuka:

  • Google Trends: pencarian “harga beras”, “beli rumah”, “motor baru”, “wisata akhir tahun”
    → Meningkat = konsumen optimistis, peluang 6% naik.
  • Volume e-commerce & transaksi digital (GoPay, OVO, ShopeePay)
    → Pertumbuhan transaksi >15% m/m = konsumsi kuat.
  • Arus kapal & logistik di pelabuhan utama (Tanjung Priok, Tanjung Perak)
    → Lonjakan volume ekspor = dukung sektor riil.
  • Lowongan kerja online & aktivitas rekrutmen (Jobstreet, LinkedIn Indonesia)
    → Peningkatan signifikan = tanda ekspansi usaha.
  • Indeks kepercayaan korporasi (Mandiri Business Sentiment, BEI Sectoral Index)
    → Sektor konsumsi dan industri naik = peluang ekonomi melaju.

Narasi Mingguan (untuk dashboard update)

Format ringkas laporan:

“Pekan ini, peluang ekonomi Indonesia Kuartal IV menembus 6% sedikit meningkat dari 45 menjadi 53 poin (kategori moderat), dipicu peningkatan penyaluran kredit dan penyerapan APBN, meski ekspor komoditas masih melambat akibat harga batu bara turun 3% w/w. Mandiri Spending Index naik 4,7% dibanding minggu sebelumnya, menandakan potensi konsumsi kuat menjelang akhir tahun.”

Sumber Data Otomatis (Real-Time Feed) 

Sumber Data Otomatis (i. Tabel 4)
Sumber Data Otomatis (i. Tabel 4)

Interpretasi Strategis (Mingguan)

  • Skenario Optimistis
    • Jika tiga indikator utama — kredit naik cepat, konsumsi menguat, dan penyerapan APBN >90% — maka peluang mencapai ≥5,8% sangat realistis, bahkan bisa menyentuh 6% jika ekspor komoditas rebound.
  • Skenario Moderat
    • Jika stimulus fiskal kuat tetapi ekspor dan investasi masih tertahan, Q4 diperkirakan di kisaran 5,2–5,5%.
  • Skenario Realistis
    • Jika mobilitas konsumen stagnan dan kredit melambat, pertumbuhan hanya 5,0% atau sedikit di atas baseline OECD/World Bank.

Berdasarkan tiga skenario di atas, jalur paling realistis saat ini masih berada di antara moderat dan optimistis. Namun, peningkatan penyaluran dana Rp200 triliun ke sektor riil bisa menjadi faktor kunci penentu apakah ekonomi dapat menembus angka psikologis 6% di Q4. Dengan konsumsi masyarakat yang mulai pulih, inflasi terkendali, serta proyeksi ekspor yang membaik pada komoditas tertentu seperti CPO dan nikel, target 6% bukan mustahil—meski masih bergantung pada efektivitas kebijakan pemerintah dalam mendorong multiplier effect di kuartal terakhir 2025.

Rekomendasi Strategis Untuk Pemantauan

  • Buat panel visual real-time di Google Data Studio atau Power BI, menggabungkan data:
    • Mandiri Spending Index
    • BI Credit Growth
    • APBN disbursement tracker
    • Harga komoditas global
    • Google Mobility
  • Atur alarm otomatis (threshold alert)
    • Misal: jika pertumbuhan kredit >9% → notifikasi hijau
    • Jika serapan APBN <80% di pertengahan Desember → notifikasi merah
  • Gunakan model regresi mingguan sederhana
    • Untuk menghitung “GDP Nowcast” — misalnya berbasis variabel: konsumsi, investasi, dan ekspor.
  • Sertakan interpretasi naratif agar publik memahami konteks — bukan hanya angka.

Dashboard ini dirancang agar setiap pekan bisa memberikan sinyal arah:

  • Jika warna dominan hijau (IP6 >70) → potensi pertumbuhan 6% semakin dekat.
  • Jika kuning atau oranye → ekonomi masih tumbuh solid tapi belum cukup kuat.
  • Jika merah → risiko melemah, perlu intervensi kebijakan tambahan.

Dengan disiplin memperbarui indikator ini, analis ekonomi, investor, dan pemerintah dapat melihat lebih awal apakah ambisi Menkeu Purbaya untuk mendorong pertumbuhan ekonomi kuartal IV tembus 6% sedang berada di jalur yang realistis — atau hanya menjadi target simbolik yang sulit dicapai tanpa reformasi struktural lanjutan.

Kesimpulan Utama & Refleksi Akhir

  • Secara teknis, potensi Indonesia menembus pertumbuhan 6% di kuartal IV tidak mustahil, tetapi peluang itu sangat tipis dan penuh tantangan.
  • Lebih realistis adalah pertumbuhan di rentang 5,5% – 5,9% jika semua kebijakan sinergis dan kondisi eksternal kondusif.
  • Kunci pemecahannya bukan sekadar “berapa dana yang dilepas,” tetapi seberapa cepat, tepat sasaran, dan sebaik apa eksekusinya – dari pusat ke daerah, dari lembaga ke sektor riil.
  • Menkeu Purbaya berada dalam tekanan besar: harus menyeimbangkan antara mencapai target pertumbuhan ambisius dan mempertahankan kredibilitas fiskal agar tidak kehilangan kepercayaan investor serta menjaga stabilitas ekonomi makro.
  • Jika Q4 ternyata berhasil menyentuh kisaran 5,6–5,8%, itu sudah pencapaian luar biasa dalam konteks kondisi ekonomi yang tidak mudah.

Secara teknis, pertumbuhan ekonomi Indonesia sebesar 6% di kuartal IV 2025 tidak mustahil, tetapi peluangnya relatif kecil. Angka yang lebih realistis berada di kisaran 5,5% hingga 5,8%, dengan asumsi stimulus fiskal terserap cepat dan tidak ada guncangan eksternal besar.

Menkeu Purbaya Yudhi Sadewa menghadapi ujian kepemimpinan besar. Ia harus menyeimbangkan ambisi pertumbuhan tinggi dengan tanggung jawab menjaga stabilitas fiskal dan moneter. Jika terlalu hati-hati, pertumbuhan bisa stagnan; tetapi jika terlalu agresif, risiko inflasi dan defisit bisa membesar.

Kunci keberhasilan bukan hanya pada jumlah dana yang digelontorkan, tetapi pada efektivitas eksekusi kebijakan di lapangan. Bagaimana dana Rp200 triliun benar-benar masuk ke kantong rakyat dan usaha kecil; bagaimana proyek padat karya dilaksanakan tanpa birokrasi berbelit; serta bagaimana kepercayaan publik dijaga di tengah ketidakpastian global.

Jika Indonesia mampu melewati kuartal IV dengan pertumbuhan di atas 5,5%, itu sudah merupakan sinyal kuat kebangkitan ekonomi baru di bawah kepemimpinan Purbaya. Namun bila target 6% gagal dicapai, hal itu bukan kegagalan, melainkan refleksi bahwa reformasi struktural dan koordinasi kebijakan masih perlu diperkuat.

Pada akhirnya, ambisi Purbaya menjadi simbol harapan baru bahwa ekonomi Indonesia tidak boleh puas dengan “sekadar stabil,” melainkan harus berani melompat menuju akselerasi. Entah 6% itu tercapai atau tidak, momentum perubahan telah dimulaidan sejarah akan menilai apakah langkah berani itu menjadi tonggak kebangkitan baru, atau sekadar janji ambisius di tengah badai global.

Ekonomi bukan hanya soal angka, tetapi juga soal kepercayaan. Dan di bawah kepemimpinan Menkeu Purbaya, Indonesia kini tengah diuji: apakah keberanian dan strategi baru bisa mengubah tantangan menjadi lonjakan pertumbuhan nyata.

Referensi

  • Asian Development Bank. (2025). Asian Development Outlook: Sustaining Growth Amid Global Uncertainty. Manila: ADB Publications.
  • Bank Indonesia. (2025). Laporan Perekonomian Indonesia Triwulan III dan Prospek Kuartal IV 2025. Jakarta: Bank Indonesia.
  • Bloomberg Economics. (2025). Emerging Markets Economic Outlook: Indonesia’s Momentum in Southeast Asia. New York: Bloomberg L.P.
  • Badan Pusat Statistik (BPS). (2025). Pertumbuhan Ekonomi Indonesia Triwulan III 2025 dan Proyeksi Akhir Tahun. Jakarta: BPS RI.
  • Fitch Ratings. (2025). Indonesia Sovereign Outlook: Fiscal Stability and Growth Prospects. London: Fitch Solutions.
  • International Monetary Fund. (2025). World Economic Outlook: Navigating Divergent Recoveries. Washington, D.C.: IMF Publications.
  • Kementerian Keuangan Republik Indonesia. (2025). Laporan Fiskal dan APBN Kita – Oktober 2025. Jakarta: Kemenkeu RI.
  • Morgan Stanley Research. (2025). ASEAN Macro Outlook: Indonesia’s Domestic Demand Resilience. Singapore: Morgan Stanley Asia Ltd.
  • OECD. (2025). Economic Outlook for Southeast Asia, China and India 2025: Rebuilding Dynamism. Paris: OECD Publishing.
  • Oxford Economics. (2025). Indonesia Economic Update: Consumption and Investment Recovery. Oxford: Oxford Economics Ltd.
  • Purbaya, M. Y. (2025). Pernyataan resmi terkait potensi pertumbuhan ekonomi Indonesia 2025. Jakarta: Kementerian Keuangan Republik Indonesia.
  • S&P Global Ratings. (2025). Indonesia: Strong Domestic Demand Offsets Global Headwinds. New York: S&P Global.
  • The Economist Intelligence Unit. (2025). Indonesia Country Forecast: Q4 2025 Outlook. London: EIU Research.
  • World Bank. (2025). Indonesia Economic Prospects: Stability Amid Uncertainty. Washington, D.C.: World Bank Group.

Disclaimer:
Artikel ini disusun berdasarkan analisis independen dari berbagai sumber terpercaya nasional dan internasional. Informasi disajikan untuk tujuan edukatif dan tidak dimaksudkan sebagai rekomendasi keuangan, investasi, atau kebijakan ekonomi tertentu.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun