Risiko, Hambatan, & “Titik Jatuh”
Meskipun strategi di atas terdengar ideal, realitas di lapangan sangat menantang. Berikut risiko utama yang bisa meredam ambisi 6%:
- Penyaluran lambat
Uang, betapapun banyaknya, jika tertahan di lembaga keuangan dan tidak sampai ke sektor riil, efeknya minimal. - Inflasi & tekanan harga
Lonjakan permintaan yang tak diiringi peningkatan produktivitas bisa memicu inflasi. Bila inflasi tinggi, daya beli konsumen bisa terpengaruh negatif. - Depresiasi rupiah & tekanan eksternal
Bila rupiah melemah tajam akibat “arahan” pasar, impor bahan baku dan input produksi menjadi lebih mahal – mengerek biaya produksi dan inflasi. - Utang & beban fiskal
Semakin agresif stimulus fiskal, semakin besar beban APBN dan kemungkinan defisit akan melebar. Jika pasar memandang bahwa defisit tak terkendali, bisa menurunkan kepercayaan pasar finansial. - Politik & kepastian regulasi
Kebijakan harus konsisten dan terprediksi; perubahan mendadak, konflik antar lembaga, atau keberatan daerah bisa menghambat implementasi. - Ketidakpastian global
Resesi global, perang dagang, gangguan rantai pasok, atau kejutan eksternal lain bisa meredam ekspor dan aliran modal. - Efek jangka panjang vs short term shock
Meski Q4 bisa “dirayu” tumbuh tinggi oleh stimulus, mempertahankan pertumbuhan tinggi berkelanjutan jauh lebih sulit – dan kebijakan jangka panjang harus disiapkan.
Skenario Proyeksi: Dari Optimis hingga Realistis
Berdasarkan berbagai indikator dan tren yang ada, setidaknya terdapat empat kemungkinan skenario perkembangan ekonomi Indonesia pada kuartal IV.
Dalam skenario paling optimis, pertumbuhan ekonomi bisa mencapai atau bahkan melampaui 6%, dengan syarat semua kebijakan berjalan sangat efektif. Likuiditas terserap cepat, konsumsi masyarakat melonjak, investasi swasta bangkit, dan ekspor komoditas meningkat tajam. Namun, skenario ini sangat bergantung pada kecepatan implementasi dan koordinasi antar lembaga.
Skenario moderate atau upside, yaitu pertumbuhan antara 5,5% hingga 5,9%, merupakan kondisi yang paling mungkin tercapai apabila stimulus tersalurkan dengan baik, konsumsi meningkat, dan situasi global relatif stabil. Ini bisa dianggap sebagai target realistis yang masih sejalan dengan pernyataan optimistis Purbaya.
Sementara skenario baseline konservatif, di kisaran 5,0% hingga 5,5%, merepresentasikan pandangan mayoritas lembaga internasional seperti Bank Dunia dan OECD yang memperkirakan pertumbuhan Indonesia akan tetap stabil namun belum mengalami lonjakan besar.
Sedangkan dalam skenario pesimis, pertumbuhan bisa berada di bawah 5% jika stimulus tidak tersalurkan efektif, daya beli tetap lemah, dan tekanan eksternal meningkat. Dalam kondisi ini, target 6% bukan hanya jauh dari harapan, tapi berpotensi menciptakan risiko fiskal baru.
Dengan kata lain, angka 6% masih merupakan target ambisius namun belum mustahil. Jika seluruh kebijakan Purbaya dijalankan secara disiplin, terukur, dan tepat sasaran, peluang untuk mendekati level tersebut tetap terbuka, meski kecil.
Menkeu Purbaya sendiri menargetkan pertumbuhan >5,5% pada Q4 dan menyebut bahwa angka 6% masih sebagai visi ke depan (untuk tahun mendatang).