Dengan kombinasi bahan pangan tersebut, setiap paket MBG tidak hanya menyeimbangkan kebutuhan energi dan zat gizi esensial, tetapi juga memperkuat sistem pangan lokal yang berkelanjutan. Setiap komponen menu berasal dari hasil bumi dan laut Nusantara yang dikelola oleh petani, nelayan, dan pelaku UMKM, menciptakan efek ganda (multiplier effect) terhadap ekonomi pedesaan. Lebih jauh lagi, penggunaan bahan lokal memperkuat identitas budaya makan Indonesia, yang menekankan keseimbangan, keberagaman, dan kebersamaan di meja makan.
Program MBG dengan pendekatan seperti ini juga sejalan dengan prinsip “From Local Farm to School Table”, yakni memastikan rantai pasok pangan dimulai dari produksi lokal hingga ke konsumsi anak sekolah. Model ini berpotensi menciptakan ekosistem pangan nasional yang mandiri, menurunkan ketergantungan impor, serta memperkuat semangat “makan dari bumi sendiri”.
Dengan demikian, komposisi gizi makanan lokal Indonesia dalam MBG bukan hanya sekadar pemenuhan kebutuhan nutrisi, tetapi juga gerakan nasional untuk membangun kedaulatan pangan dan kebanggaan kuliner Nusantara. Melalui pangan yang bergizi, berbudaya, dan berkeadilan, MBG dapat menjadi tonggak penting dalam mewujudkan generasi emas Indonesia yang sehat, cerdas, dan berdaya saing global.
Analisis Gizi dan Kombinasi Ideal
- Energi total per porsi MBG ideal:
- 400–600 kkal (sekitar 30–40% kebutuhan harian anak usia 7–12 tahun).
- Proporsi makronutrien ideal:
- Karbohidrat: 55–60%
- Protein: 15–20%
- Lemak: 20–25%
- Kandungan mikronutrien wajib:
- Vitamin A: minimal 150 µg
- Zat besi: minimal 5 mg
- Vitamin C: minimal 30 mg
- Kalsium: minimal 200 mg
- Kombinasi menu ideal contoh (total 1 porsi):
- Nasi merah (100 g) + tempe bacem (50 g) + sayur bayam (100 g) + pepaya (100 g)
→ Energi: ±410 kkal | Protein: ±15 g | Lemak: ±7 g | Zat besi: ±5 mg | Vitamin A: tinggi
- Nasi merah (100 g) + tempe bacem (50 g) + sayur bayam (100 g) + pepaya (100 g)
Kalkulasi Ekonomi dan Ketersediaan Bahan untuk Program MBG (2025)
Dalam kerangka pelaksanaan Program Makan Bergizi Gratis (MBG) tahun 2025, aspek ekonomi dan ketersediaan bahan pangan lokal menjadi fondasi utama keberlanjutan program. Berdasarkan analisis Badan Pangan Nasional (2025) dan data pendukung dari Kementerian Pertanian serta Kementerian Kelautan dan Perikanan, rata-rata biaya penyediaan satu porsi MBG dengan komposisi menu seimbang (karbohidrat, protein, lemak, sayur, dan buah) diperkirakan berkisar antara Rp10.000 hingga Rp13.500 per anak per hari, tergantung wilayah dan sumber bahan pangan. Angka ini mencakup biaya bahan mentah, tenaga kerja dapur, logistik distribusi, serta margin kecil bagi pelaku UMKM penyedia katering sekolah.
Secara lebih rinci, bahan pokok seperti beras merah atau nasi jagung menyumbang sekitar 25–30% dari total biaya per porsi, atau sekitar Rp2.500–Rp3.000, tergantung musim panen dan lokasi. Penggunaan beras lokal varietas Inpari dan Ciherang dari petani Jawa Tengah dan Sulawesi Selatan terbukti menekan biaya transportasi hingga 20% dibandingkan beras impor. Sumber protein utama, seperti ikan kembung, ayam kampung, atau tempe, berkontribusi Rp3.000–Rp4.000 per porsi, dengan nilai ekonomi tambahan bagi nelayan dan pengrajin tempe lokal.
Menurut laporan Kementerian Kelautan dan Perikanan (2025), penggunaan ikan kembung dan tongkol sebagai sumber protein hewani dapat meningkatkan pendapatan nelayan kecil hingga Rp1,5 juta per bulan per keluarga, karena adanya kontrak pasok berkelanjutan dengan dapur sekolah di daerah pesisir. Sementara itu, bahan sayur dan buah lokal seperti bayam, pepaya, dan pisang hanya membutuhkan biaya sekitar Rp1.500–Rp2.000 per porsi, karena pasokan dapat dipenuhi dari hasil tani sekitar sekolah melalui program Kebun Gizi Sekolah dan koperasi tani desa.
Dari sisi logistik, biaya distribusi bahan pangan segar ke dapur sekolah diperkirakan sebesar Rp1.000–Rp1.500 per porsi, tergantung infrastruktur dan jarak antar wilayah. Di daerah dengan akses jalan yang baik, seperti Jawa dan Bali, biaya distribusi bisa ditekan hingga 10% lebih rendah dibandingkan wilayah kepulauan timur. Untuk menstabilkan harga dan ketersediaan bahan, pemerintah bekerja sama dengan Bulog, Badan Pangan Nasional, dan koperasi daerah guna menciptakan sistem rantai pasok terintegrasi yang menjamin kesinambungan pasokan bahan baku MBG sepanjang tahun.
Selain itu, perhitungan ekonomi MBG tidak hanya mempertimbangkan biaya langsung, tetapi juga nilai ekonomi sosial (social return on investment). Berdasarkan estimasi Universitas Gadjah Mada (2025), setiap Rp1 yang diinvestasikan dalam penyediaan makanan bergizi lokal dapat menghasilkan Rp3–Rp4 nilai balik ekonomi sosial, berupa peningkatan produktivitas petani, pengurangan stunting, serta penyerapan tenaga kerja di sektor pertanian, perikanan, dan pengolahan pangan.
Lebih jauh, keterlibatan UMKM kuliner dan koperasi sekolah menjadi elemen penting dalam model bisnis MBG. Di beberapa provinsi percontohan seperti Jawa Barat, Sulawesi Selatan, dan NTT, rata-rata 60–70% penyedia jasa dapur MBG berasal dari usaha mikro dan perempuan pedesaan, yang sebelumnya tidak memiliki akses tetap ke pasar pemerintah. Hal ini menciptakan efek ekonomi ganda, di mana program gizi juga berperan sebagai stimulus ekonomi lokal dan penggerak kemandirian pangan daerah.