Mohon tunggu...
Fazil Abdullah
Fazil Abdullah Mohon Tunggu... Administrasi - Menulis itu berat, Sayang. Kau harus sediakan waktu dan dunia, yang seringnya tidak bersahabat.

Cerpen Perempuan yang Meminta Rokokmu dan Mogok di Hutan mendapat penghargaan dari Kompasiana (2017 dan 2018). _____________________________________________ linktr.ee/fazilabdullah 👈 merupakan pintu masuk menuju dunia karya saya. silakan masuk dan jelajahi.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Mogok di Hutan

12 November 2018   16:45 Diperbarui: 16 November 2018   19:11 1121
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"Wait a minute," ia mengarahkan moncong kamera ke arah secabang pohon banyak ranting dan dedaunan. Sesaat aku takjub, beberapa burung madu sangihe bertengger di sana. Burung endemik pulau Sangihe! Tapi aku tak bisa menikmati lama-lama. Kulihat kabut keluar dari punggung bukit sebelah sungai. Merayap di atas sungai. Mendekati jalanan. Gawat!

Aku meminta Fred segera menyelesaikan urusannya. Aku pernah trauma dengan kabut. Terjebak hampir dua jam dalam kabut pegunungan. Kabut benar-benar membutakan perjalanan kami. Dinginnya dalam kabut pun seperti jarum menusuk tulang. Aku ingat anaknya Luqman yang mengidap asma. Para gadis yang tak membawa jaket. Titik-titik jalan yang rusak, menyempit karena amblas di sisiannya, tikungan patahnya, menjadi peringatan berbahaya untuk kami lintasi saat malam apalagi berkabut. Ya, Tuhan, ringankan masalah kami ini. Sampaikan kami ke tujuan dengan selamat. Nyalakanlah kembali mobil kami.

Saat kembali ke minibus, aku mengutip ranting dan kayu untuk membuat api unggun. Masih berpikiran juga bagaimana kami bisa berangkat lagi secepatnya kalau mobil masih mogok. Harapanku, selain mesin nyala kembali adalah bantuan orang datang. 

Saat tiba di pinggir jalan tempat minibus mogok, kulihat Luqman berbicara bersama seorang bapak paruh baya. Anggi sedang merekam diri bersama seorang ibu dengan kayu bakar di punggungnya. 

"Hai, liat kami. Aku lagi bersama seorang ibu, penduduk asli Sangir. Ibu ini tangguh. Tau gak, ibu ini sore-sore gini, baru pulang dari hutan bersama sang suami. Itu tuh suami beliau." Kamera disorot ke lelaki yang sedang bicara dengan Luqman. "Nyari buah pala dan cengkeh. Itu karung di motor berisi cengkeh dan pala. Udah ya. Saya rekam ini untuk mencontoh perjuangan dan ketangguhan hidup mereka, jangan kek Kanaya ini." Kanaya memukul kesal Anggi. Ibu itu tersenyum saja.

Aku letakkan kayu. Fred kuminta tolong bakar kayu itu. Aku menghadap bapak itu. "Kera habare, Om? Boa apa, sarang apa, Om?" Aku menanyakan kabar, dari mana dan mau ke mana dalam bahasa Sangir, bahasa lokal penduduk pulau Sangihe. 

Dari percakapan dengan bapak itu, bebanku mulai terangkat. Dia mendapat telepon dari penjaga pos hutan untuk membantu kami. Rumah pondok mereka sekitar satu kilometer dari posisi mogok kami, berjarak dan terpisah lima kilometeran dari perkampungan. Ia juga sudah menelepon pemilik mobil di kampung terdekat untuk menjemput kami. Mobil jemputan bisa juga mengantar kami sampai ke Tahuna. Sementara mobil diperbaiki atau mobil jemputan datang, kami bisa melepas lelah di rumah pondoknya.

Om Tio segera kutelpon agar membatalkan jemputan untuk kami. Penjaga pos datang dengan motornya. Mobil Kijang Toyota tua juga datang belakangan. Ketika kulihat hati orang-orang yang tergerak membantu kesusahanku, hatiku berdesir haru. 

Sepuluh menit sebelum matahari tenggelam,  dengan Toyota Kijang kuberangkatkan wisatawan ke penginapan di Tahuna, kecuali Fred. Fred tak kusangka-sangka, menggenggamkan duit lima ratusan ribu padaku. Uang muka, katanya. Dia mau hiking beberapa hari lagi ke depan dan mau dipandu bersamaku. Sementara ini dia akan bermalam di pegunungan ini dengan Om Her. Tak masalah bermalam di minibus atau di rumah pondok bapak-ibu tadi yang siap sedia menjemput dan memberi inap.

Aku nyaris menitik air mata. Fred, si bule yang kunilai egois dan tak mengerti bahasa Indonesia, tapi tahu dan peka kesulitan keuangan kami. Duit jasa pandu itu bisa saja dikasih besok saat kesepakatan sudah cocok, tapi dia memberikan saat-saat kami lagi membutuhkan. Duitnya sangat berarti untuk biaya pengeluaran tak terduga kami sekarang ini. Duit itu juga untuk buat beli yang diperlukan minibus Om Her yang rusak. 

Tadi duitku cuma sisa 50ribuan rupiah, dan kugunakan buat "uang bensin" si penjaga pos. Tak seberapa nilai uang itu, tapi nilai bantuan penjaga pos itu sangat berarti bagi kami, kataku. Kubilang padanya, ketika ke Tahuna, jangan lupa hubungi aku kapan saja. Untuk ibu-bapak tadi, yang kini kuanggap jadi orang tuaku, kujanjikan besok pagi saat kembali ke sini, kubawa ikan-ikan segar dari Tahuna. *** 

(Bener Meriah, Aceh, November 2018)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun