Mohon tunggu...
Pekik Aulia Rochman
Pekik Aulia Rochman Mohon Tunggu... Petualang Kehidupan Dimensi Manusia yang diabadikan dalam https://theopenlearner333.blogspot.com/

I can't do anything, I don't know anything, and I am nobody. But, I am An Enthusiast in learning of anything.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Greta Thunberg dan Seni Menyindir dengan Elegan: Dari Twitter ke Laut Gaza

9 Oktober 2025   06:03 Diperbarui: 9 Oktober 2025   08:29 98
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dan ketika dunia hari ini kembali melihat Greta diserang --- entah karena flotilla, karena sikapnya pada Israel, atau karena ia terlalu "berani untuk muda" --- kita tahu satu hal:
ia tak perlu lagi membalas setiap hinaan.
Karena gaya, ketenangan, dan kecerdasannya sudah menyindir lebih keras daripada kata-kata siapa pun.

Pelajaran dari Greta untuk Kita

Greta Thunberg mungkin lahir di Swedia, tapi pelajarannya terasa sangat Indonesia.
Ia mengajarkan sesuatu yang jarang kita pelajari di sekolah --- bahwa kecerdasan emosional jauh lebih revolusioner daripada kecerdasan verbal.
Di negeri kita, komentar pedas sering dianggap tanda kejujuran, debat panas dianggap bukti keberanian, dan yang tenang sering disangka tidak peduli. Padahal, seperti yang diperlihatkan Greta, diam bukan berarti kalah; kadang itu cara terbaik untuk menang tanpa mencederai siapa pun.

Coba kita lihat linimasa media sosial kita: di sana semua orang seperti ingin jadi Trump kecil --- siap menyerang, sinis, dan merasa paling benar.
Kita lupa bahwa kekuatan opini tidak diukur dari seberapa keras suaramu, tapi dari seberapa bersih niatmu.
Greta membuktikan hal itu berulang kali: ia marah, tapi marah dengan nilai. Ia menyindir, tapi dengan niat menyadarkan, bukan mempermalukan.
Dan ironisnya, dunia justru lebih mendengarkan kata-kata lembut yang datang dari kesadaran, daripada teriakan keras yang datang dari ego.

Sebagaimana dicatat Harvard Review of Emotional Intelligence, kemampuan seperti Greta --- mengubah ejekan menjadi refleksi --- adalah bentuk tertinggi dari self-regulation.
Ia tidak hanya mengendalikan emosi, tapi juga mengarahkan energinya untuk menciptakan percakapan yang lebih sehat.
Itu pelajaran yang sangat relevan bagi siapa pun yang pernah ikut berkomentar di kolom berita, debat politik, atau grup WhatsApp keluarga yang panas setiap kali topik politik muncul.

Di tengah dunia yang haus validasi, Greta memilih menjadi oasis ketenangan.
Di saat banyak orang ingin "didengar," ia justru mengingatkan dunia untuk mendengar lebih dulu.
Dan mungkin, di situlah letak elegansinya yang paling dalam:
bahwa kritik sejati bukan untuk menundukkan lawan, melainkan untuk membangunkan kemanusiaan.

Jika Greta mengajarkan sesuatu kepada dunia, maka itu ini:

Marah boleh. Tapi pastikan amarahmu punya arah.
Sindir boleh. Tapi pastikan sindiranmu membawa sadar, bukan sekadar luka.

Karena di dunia yang setiap hari memproduksi kebisingan, yang benar-benar revolusioner bukan lagi yang berteriak paling keras, melainkan mereka yang berani menjaga keheningan dengan makna.

Penutup

Greta Thunberg bukan sekadar aktivis lingkungan. Ia adalah fenomena kesadaran: tentang bagaimana seseorang bisa menantang dunia tanpa kehilangan keheningan batin.
Dari layar ponsel di tahun 2019 hingga dek kapal Global Sumud Flotilla pada 2025, Greta membuktikan bahwa keberanian sejati tidak selalu bersuara keras --- kadang justru berbisik dengan tajam dan tulus.

Dalam enam tahun perjalanan publiknya, Greta melawan dengan dua senjata yang jarang dipakai aktivis mana pun: akal dan martabat.
Ia tidak terjebak dalam drama politik, tidak terpancing oleh ejekan, dan tidak kehilangan arah di tengah badai popularitas.
Setiap kali dunia mencoba menertawakannya, ia menanggapi dengan cermin --- bukan pedang.
Dan di situlah letak kekuatannya: Greta tidak berperang melawan manusia, tapi melawan kebiasaan buruk manusia untuk menghina sebelum memahami.

Menurut The Guardian, apa yang dilakukan Greta di flotilla adalah bentuk kesinambungan spiritual dari sikapnya sejak awal --- perlawanan yang dibungkus kasih.
Ia menolak kebisuan terhadap penindasan, tapi juga menolak kebencian sebagai cara melawannya.
Dalam konferensi pers setelah dideportasi, ia hanya berkata pelan:

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun