Mohon tunggu...
Pekik Aulia Rochman
Pekik Aulia Rochman Mohon Tunggu... Petualang Kehidupan Dimensi Manusia yang diabadikan dalam https://theopenlearner333.blogspot.com/

I can't do anything, I don't know anything, and I am nobody. But, I am An Enthusiast in learning of anything.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Greta Thunberg dan Seni Menyindir dengan Elegan: Dari Twitter ke Laut Gaza

9 Oktober 2025   06:03 Diperbarui: 9 Oktober 2025   08:29 99
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Greta vs Trump. Sumber: ndtv.com

Beberapa pekan terakhir, nama Greta Thunberg kembali memenuhi lini masa dunia. Bukan karena pidato tentang iklim atau protes di Davos, melainkan karena keterlibatannya dalam Global Sumud Flotilla --- armada kemanusiaan internasional yang berlayar menuju Gaza untuk menembus blokade Israel.

Menurut laporan Al Jazeera dan Reuters, kapal-kapal flotilla itu dicegat oleh militer Israel di laut internasional pada awal Oktober 2025, dan Greta termasuk di antara para aktivis yang ditahan sebelum akhirnya dideportasi ke Swedia.

Kabar ini langsung mengguncang opini global. The Guardian menulis bahwa Greta menolak bungkam selama penahanan dan menegaskan bahwa "diam berarti menyetujui penindasan." Tapi tidak semua orang menyambutnya hangat. 

Mantan Presiden AS Donald Trump, dalam komentar yang dikutip NDTV, kembali melontarkan ejekan lamanya, menyebut Greta sebagai "troublemaker" yang "perlu terapi pengendalian amarah." Dunia maya pun sontak bergetar --- bukan hanya karena sindiran itu terasa deja vu, tapi juga karena Greta... tidak membalas dengan marah. Dalam sebuah unggahan di X, ia menulis, "Saya lebih memilih marah kepada ketidakadilan, bukan kepada manusia."

Publik tersenyum. Perempuan muda ini tetap setia pada gaya lamanya --- menyindir dengan elegan, melawan tanpa kebencian.

Namun untuk memahami ketenangan itu, kita perlu menoleh ke belakang. Beberapa tahun sebelumnya, Greta sudah pernah berhadapan langsung dengan Trump --- bukan di laut, tapi di dunia digital. Sejak saat itu, dunia belajar bahwa terkadang, kekuatan paling tajam tidak lahir dari teriakan, melainkan dari kecerdasan memilih kata.

Dari Twitter ke TIME: Awal Sindiran Elegan Greta (2019--2020)

Sebelum dunia mengenal Greta Thunberg sebagai aktivis yang berani menantang blokade laut di Gaza, ia lebih dulu dikenal sebagai remaja yang menantang blokade ego di dunia digital.
Momen itu terjadi pada Desember 2019, ketika Greta --- baru berusia 16 tahun --- dinobatkan sebagai Person of the Year oleh majalah TIME.
Bagi banyak orang, penghargaan itu adalah bentuk pengakuan atas kepemimpinan moralnya dalam isu iklim. Tapi bagi sebagian politisi konservatif, termasuk Donald Trump, hal itu justru dianggap "lelucon media liberal."

Dalam unggahan di Twitter (kini X), Trump menulis kalimat yang kini terkenal:

"So ridiculous. Greta must work on her anger management problem, then go to a good old-fashioned movie with a friend. Chill Greta, chill!"

Nada sinis ini bukan kebetulan. Menurut catatan The Washington Post, Trump merasa "tersaingi" karena biasanya ia yang menjadi tokoh utama dalam daftar TIME Person of the Year.
Namun Greta memilih jalur berbeda. Ia tidak membalas dengan amarah. Ia mengubah bio Twitter-nya menjadi versi parodi dari ejekan Trump:

"A teenager working on her anger management problem. Currently chilling and watching a good old-fashioned movie with a friend."

Tindakan kecil itu --- seolah remeh --- ternyata mengguncang budaya internet.
Media seperti BBC dan The Guardian menyebut langkah Greta sebagai "kelas dunia dalam pengendalian diri." Ia membalas ejekan bukan dengan caci maki, melainkan dengan cermin --- membuat lawan tampak konyol tanpa sepatah pun kata kasar.

Setahun kemudian, November 2020, ketika Trump kalah Pilpres dari Joe Biden dan marah-marah di Twitter menolak hasil pemilu, Greta membalikkan ejekan lama itu dengan sempurna. Ia menulis:

"Donald must work on his anger management problem, then go to a good old-fashioned movie with a friend. Chill Donald, chill!"

Tweet itu viral dalam hitungan menit. CNN mencatat, postingan Greta mendapatkan jutaan like dalam waktu 24 jam --- menjadikannya simbol comeback paling elegan di dunia maya.
Publik bersorak, bukan karena Greta "menang debat," tetapi karena ia menunjukkan bahwa kecerdasan emosional bisa lebih mematikan daripada kemarahan.

Banyak analis kemudian menyebut, sejak momen itu Greta membentuk persona publik yang unik: seorang remaja dengan keberanian moral, kecerdasan linguistik, dan disiplin emosional tinggi.
Ia bukan hanya aktivis, tapi juga ahli strategi komunikasi moral.
Dan kini, lima tahun kemudian, ketika Greta berdiri di dek kapal Global Sumud Flotilla sambil berkata bahwa ia "marah kepada ketidakadilan, bukan manusia," dunia tahu --- ini bukan versi baru Greta.
Ini hanya Greta yang sama, kini berbicara di panggung yang lebih luas.

Seni Menyindir dengan Elegan

Kita hidup di era di mana marah dianggap gagah, dan teriak dianggap tegas.
Media sosial telah menjadikan ruang publik seperti arena gladiator: siapa paling cepat membalas komentar, siapa paling lantang menuding, siapa paling viral --- dialah pemenang.
Namun, di tengah budaya digital yang menuhankan reaksi, muncul sosok seperti Greta Thunberg yang menunjukkan bahwa keanggunan bisa lebih memukul daripada kemarahan.

Menurut The Guardian, gaya komunikasi Greta menandai "lahirnya retorika baru di era digital: bukan siapa yang paling keras, tapi siapa yang paling cerdas."
Dan memang, Greta jarang membalas serangan dengan nada tinggi. Ia memilih bahasa ironi --- lapisan humor yang menohok tanpa kehilangan etika.
Sindiran, di tangannya, berubah dari senjata penghinaan menjadi alat refleksi.

Ketika Trump mengejeknya, Greta tidak berbalik menuduh. Ia hanya memantulkan kalimat itu kembali, tapi dengan konteks baru.
Itu bukan sekadar balasan --- itu pembalikan makna.
Dalam teori komunikasi, ini disebut "mirror rhetoric" --- teknik meniru kata lawan untuk menunjukkan absurditas argumennya.
Sama seperti seorang cermin, ia tidak memukul, hanya memantulkan. Tapi pantulan itu sering lebih menyakitkan daripada seribu serangan frontal.

Greta juga memahami satu hal yang jarang dimiliki banyak orang di media sosial: bahwa kemenangan moral bukan didapat dari menjatuhkan, tapi dari tidak ikut terjatuh.
Ia bisa saja menghina balik Trump dan disambut sorak-sorai netizen, tapi yang ia cari bukan tepuk tangan, melainkan kesadaran.
Seperti yang ditulis Psychology Today, "Greta memiliki kendali atas emosinya sendiri, dan itu membuat lawan kehilangan kendali atas dirinya."

Inilah seni menyindir dengan elegan:
mengetahui kapan harus berbicara, kapan harus diam, dan kapan kata-kata justru bekerja lebih tajam dari amarah.
Dalam dunia yang terbakar oleh kebencian, ironi bisa menjadi air.
Dalam perdebatan yang kehilangan empati, humor bisa menjadi jembatan.

Dan ketika dunia hari ini kembali melihat Greta diserang --- entah karena flotilla, karena sikapnya pada Israel, atau karena ia terlalu "berani untuk muda" --- kita tahu satu hal:
ia tak perlu lagi membalas setiap hinaan.
Karena gaya, ketenangan, dan kecerdasannya sudah menyindir lebih keras daripada kata-kata siapa pun.

Pelajaran dari Greta untuk Kita

Greta Thunberg mungkin lahir di Swedia, tapi pelajarannya terasa sangat Indonesia.
Ia mengajarkan sesuatu yang jarang kita pelajari di sekolah --- bahwa kecerdasan emosional jauh lebih revolusioner daripada kecerdasan verbal.
Di negeri kita, komentar pedas sering dianggap tanda kejujuran, debat panas dianggap bukti keberanian, dan yang tenang sering disangka tidak peduli. Padahal, seperti yang diperlihatkan Greta, diam bukan berarti kalah; kadang itu cara terbaik untuk menang tanpa mencederai siapa pun.

Coba kita lihat linimasa media sosial kita: di sana semua orang seperti ingin jadi Trump kecil --- siap menyerang, sinis, dan merasa paling benar.
Kita lupa bahwa kekuatan opini tidak diukur dari seberapa keras suaramu, tapi dari seberapa bersih niatmu.
Greta membuktikan hal itu berulang kali: ia marah, tapi marah dengan nilai. Ia menyindir, tapi dengan niat menyadarkan, bukan mempermalukan.
Dan ironisnya, dunia justru lebih mendengarkan kata-kata lembut yang datang dari kesadaran, daripada teriakan keras yang datang dari ego.

Sebagaimana dicatat Harvard Review of Emotional Intelligence, kemampuan seperti Greta --- mengubah ejekan menjadi refleksi --- adalah bentuk tertinggi dari self-regulation.
Ia tidak hanya mengendalikan emosi, tapi juga mengarahkan energinya untuk menciptakan percakapan yang lebih sehat.
Itu pelajaran yang sangat relevan bagi siapa pun yang pernah ikut berkomentar di kolom berita, debat politik, atau grup WhatsApp keluarga yang panas setiap kali topik politik muncul.

Di tengah dunia yang haus validasi, Greta memilih menjadi oasis ketenangan.
Di saat banyak orang ingin "didengar," ia justru mengingatkan dunia untuk mendengar lebih dulu.
Dan mungkin, di situlah letak elegansinya yang paling dalam:
bahwa kritik sejati bukan untuk menundukkan lawan, melainkan untuk membangunkan kemanusiaan.

Jika Greta mengajarkan sesuatu kepada dunia, maka itu ini:

Marah boleh. Tapi pastikan amarahmu punya arah.
Sindir boleh. Tapi pastikan sindiranmu membawa sadar, bukan sekadar luka.

Karena di dunia yang setiap hari memproduksi kebisingan, yang benar-benar revolusioner bukan lagi yang berteriak paling keras, melainkan mereka yang berani menjaga keheningan dengan makna.

Penutup

Greta Thunberg bukan sekadar aktivis lingkungan. Ia adalah fenomena kesadaran: tentang bagaimana seseorang bisa menantang dunia tanpa kehilangan keheningan batin.
Dari layar ponsel di tahun 2019 hingga dek kapal Global Sumud Flotilla pada 2025, Greta membuktikan bahwa keberanian sejati tidak selalu bersuara keras --- kadang justru berbisik dengan tajam dan tulus.

Dalam enam tahun perjalanan publiknya, Greta melawan dengan dua senjata yang jarang dipakai aktivis mana pun: akal dan martabat.
Ia tidak terjebak dalam drama politik, tidak terpancing oleh ejekan, dan tidak kehilangan arah di tengah badai popularitas.
Setiap kali dunia mencoba menertawakannya, ia menanggapi dengan cermin --- bukan pedang.
Dan di situlah letak kekuatannya: Greta tidak berperang melawan manusia, tapi melawan kebiasaan buruk manusia untuk menghina sebelum memahami.

Menurut The Guardian, apa yang dilakukan Greta di flotilla adalah bentuk kesinambungan spiritual dari sikapnya sejak awal --- perlawanan yang dibungkus kasih.
Ia menolak kebisuan terhadap penindasan, tapi juga menolak kebencian sebagai cara melawannya.
Dalam konferensi pers setelah dideportasi, ia hanya berkata pelan:

"Saya tidak melawan bangsa mana pun. Saya melawan ketidakadilan, karena bumi ini adalah rumah semua manusia."

Kalimat itu, seperti banyak kata-katanya yang lain, tak perlu diserukan berulang.
Ia menempel di hati orang-orang yang masih percaya bahwa martabat bisa menjadi bentuk perlawanan.

Kita mungkin tidak akan pernah berdiri di podium PBB atau berlayar menembus blokade Gaza, tapi kita semua akan menghadapi versi kecil dari "Trump" dalam hidup kita --- entah di kantor, di media sosial, atau bahkan di lingkaran terdekat.
Saat itu terjadi, kita punya dua pilihan: membalas dengan amarah, atau meniru Greta --- membalas dengan elegan.

Karena pada akhirnya, dunia ini tidak berubah oleh orang yang paling keras berteriak,
tetapi oleh mereka yang tetap tenang saat memilih kata,
dan tetap manusiawi saat semua orang sudah kehilangan akal.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun