Wanita tua itu tertawa. Ia lalu mendekat ke arah telinga J. "Ceritakan, saya mau mastiin sesuatu."
J berkeringat dingin. Dia ketakutan. Dia bukan pembunuh! Malam itu benar-benar mimpi buruk! Dia melihat si preman itu sedang minum miras lalu sebuah ide muncul dalam benaknya. Diam-diam dia menuangkan racun yang rencananya akan dia minum ke dalam mulut botol miras. Ia yakin tidak ada yang melihatnya. Saat itu sepi. Lagipula orang-orang mungkin akan sepakat bahwa penyebabnya mati karena terlalu over minum. Itu bisa dipercaya sebab lelaki itu gemar sempoyongan sepanjangan hari.
Namun, aneh. Sejak insiden itu tidak ada kabar kematian yang heboh. Mungkinkah ada yang menyelamatkan si preman tersebut malam itu? J tidak tahu dan karena itu dia makin ketakutan. Bagaimana jika preman itu muncul lagi dan menuduhnya telah meracuni dirinya?
J gelisah apalagi ada sepasang mata wanita tua ini sebagai saksinya. Ia takut sekali dilaporkan ke polisi. Ia tidak ingin bertemu dengan para lelaki. Ia tidak sudi dicap tidak bermoral.
J khawatir kalau ditanya-tanya karena mereka tidak akan paham rasanya. Preman brengsek itu telah menodainya di jalan yang sempit. Ia teramat takut orang-orang tahu itu. Â Bahwa ia akhirnya melakukan perlawanan kecil demi keadilan. Hidupnya telah direnggut, bukankah adil jika dia sendiri mengantarkan preman itu ke gerbang neraka? Ia tidak bersalah, tetapi tetap akan menjadi seseorang yang dipandang rendah karena begitulah posisi perempuan tanpa selaput darah yang utuh.
Melihat ketakutan di wajah J, wanita tua itu lekas memegang kedua tangannya yang gemetar.
"Makasih," katanya. J terhenyak. Wanita tua itu kembali bicara. "Saya juga korban, tapi kamu lebih berani. Saya sudah membereskan sisanya."
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI