Rendahnya dukungan regulasi dan insentif untuk industri daur ulang menjadi tantangan besar. Indonesia tertinggal dalam kebijakan untuk mendukung ekonomi sirkular, seperti yang dilakukan di negara maju. Sektor informal, meskipun berkontribusi besar dalam pengumpulan dan pemilahan sampah, sering diabaikan dalam kebijakan resmi.
Pajak Lingkungan: Instrumen Ekonomi yang Masih Terhambat dalam Implementasi
Di sisi lain, industri plastik juga masih memberikan perlawanan terhadap kebijakan ini. Banyak pelaku industri yang berargumen bahwa penerapan pajak plastik akan meningkatkan biaya produksi dan menghambat pertumbuhan ekonomi, terutama bagi usaha kecil dan menengah yang masih bergantung pada plastik sebagai bahan utama kemasan. Tanpa adanya solusi alternatif yang lebih murah dan mudah diakses, kebijakan pajak plastik dikhawatirkan hanya akan membebani masyarakat tanpa memberikan dampak yang signifikan terhadap pengurangan sampah plastik.
Pajak lingkungan, terutama pajak kantong plastik, diusulkan untuk mengurangi dampak lingkungan dengan mendorong penggunaan alternatif ramah lingkungan. Namun, implementasi pajak ini di Indonesia menghadapi banyak hambatan. Kebijakan pajak plastik belum diterapkan secara efektif, terutama karena kurangnya regulasi dan komitmen pemerintah. Laporan WRI Indonesia menunjukkan tanpa tindakan tegas, kebijakan ini tidak akan berdampak nyata. Kesadaran masyarakat mengenai pentingnya pengurangan plastik sekali pakai masih rendah, dan edukasi yang minim dari pemerintah memperburuk situasi. Selain itu, industri plastik melawan kebijakan ini, khawatir akan biaya produksi yang meningkat, terutama bagi usaha kecil yang bergantung pada plastik.Â
Kesadaran dan Partisipasi Masyarakat: Tantangan dalam Mengubah Kebiasaan
Salah satu kunci keberhasilan dalam pengelolaan sampah adalah kesadaran dan partisipasi aktif masyarakat. Tanpa dukungan masyarakat, kebijakan lingkungan seperti pelarangan plastik sekali pakai dan daur ulang tidak akan efektif. Meskipun kampanye telah dilakukan, kesadaran masyarakat terhadap dampak negatif sampah plastik masih perlu ditingkatkan. Sebuah studi menunjukkan dalam dalam NECTAR: Jurnal Pendidikan Biologi (Universitas Tidar), bahwa walaupun mahasiswa memiliki pengetahuan tinggi tentang bahaya plastik sekali pakai, hal ini tidak tercermin dalam tindakan nyata mereka. Ada kesenjangan antara pengetahuan dan perilaku sehari-hari, dan banyak orang masih menggunakan plastik sekali pakai karena alasan kenyamanan dan kurangnya alternatif.
Tantangan lain adalah rendahnya rasa urgensi untuk masalah sampah. Banyak orang menganggap pengelolaan sampah sebagai tanggung jawab pemerintah saja, bukan individu atau komunitas. Program seperti bank sampah dan pengurangan plastik belum mendapatkan partisipasi yang cukup. Pendekatan edukasi yang informasional dan kurang interaktif juga menjadi kendala. Untuk meningkatkan kesadaran, beberapa negara seperti Swedia dan Jepang telah sukses menerapkan strategi inovatif dalam pendidikan lingkungan dan pengelolaan sampah.
Untuk meningkatkan partisipasi masyarakat di Indonesia, perlu langkah strategis seperti mengintegrasikan pendidikan lingkungan di sekolah, meningkatkan keterlibatan komunitas, menciptakan insentif, dan menggunakan media sosial untuk kampanye yang lebih menarik. Tanpa partisipasi aktif, kebijakan pengelolaan sampah akan sulit diimplementasikan. Edukasi yang inovatif dan berbasis pengalaman sangat penting untuk memotivasi masyarakat menjaga lingkungan.
Studi Kasus: Bali Antara Kebijakan Lingkungan dan Realitas di Lapangan
Bali, sebagai destinasi wisata populer, menghadapi masalah serius dalam pengelolaan sampah, terutama plastik sekali pakai. Untuk mengatasi hal ini, Bali menerapkan Peraturan Gubernur Nomor 97 Tahun 2018 yang melarang penggunaan kantong plastik, sedotan plastik, dan styrofoam. Namun, walaupun ada regulasi, sampah plastik tetap menjadi masalah, dengan banyaknya sampah ditemukan di pantai selama musim hujan. Sumber sampah ini berasal dari limbah domestik, industri pariwisata, dan aliran sungai. Hal ini merusak ekosistem laut dan citra Bali sebagai tujuan wisata.
Salah satu penyebab utama masalah ini adalah kurangnya infrastruktur pengelolaan sampah yang baik. Dari lebih 3. 800 ton sampah yang dihasilkan setiap hari, hanya sekitar 48% yang dikelola dengan baik. Disisi lain, kepatuhan terhadap regulasi masih rendah, dengan banyak pelaku usaha kecil yang kesulitan beradaptasi karena biaya plastik sekali pakai yang lebih murah.