Mohon tunggu...
Farly Mochamad
Farly Mochamad Mohon Tunggu... Sebagai lulusan baru teknologi informasi, saya adalah alumni Kebangsaan Lemhannas 2023 dan peserta Muhibah Budaya Jalur Rempah Indonesia-Malaysia bersama KRI Dewaruci 2024

.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Henricus Christianus Verbraak: Imam di Tengah Badai Perang

11 Oktober 2025   14:35 Diperbarui: 11 Oktober 2025   14:35 25
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pastor Henricus Christianus Verbraak S.J., rohaniwan (pastur militer) dari Koninklijk Nederlands-Indisch Leger, 1885. Sumber: KITLV.

Melihat Verbraak dengan Kacamata Masa Kini

Patung Pastor Henricus Christianus Verbraak S.J di Taman Maluku, Bandung, 2025. Foto: Pribadi.
Patung Pastor Henricus Christianus Verbraak S.J di Taman Maluku, Bandung, 2025. Foto: Pribadi.

Dalam pandangan masa kini, kisah Henricus Christianus Verbraak memang tidak bisa dipisahkan dari konteks sejarah kolonial yang melingkupinya. Ia hidup dan berkarya di bawah struktur kekuasaan Hindia Belanda, sebuah sistem yang pada dasarnya menindas dan mengeksploitasi rakyat pribumi. Posisi Verbraak sebagai pastor militer pun membuatnya menjadi bagian dari mesin kolonial, yang tentu membawa dilema moral dan politik tersendiri. Karena itu, wajar jika sosoknya menimbulkan perdebatan dan kontroversi di kalangan sejarawan maupun masyarakat modern.

Namun, di balik kerumitan itu, kisah pribadi Verbraak membuka ruang refleksi yang lebih dalam. Ia menunjukkan bahwa bahkan di tengah sistem yang keras dan tidak adil, masih ada individu yang berusaha mempertahankan kemanusiaan. Ia mungkin tidak dapat mengubah struktur kolonial yang besar, tetapi dalam lingkup kecil --- di rumah sakit, di parit perang, di gubuk sederhana tempat ia berdoa --- Verbraak menyalakan harapan dan kasih bagi orang-orang yang menderita. Dalam dunia yang diatur oleh kepentingan kekuasaan, ia memilih tetap menjadi manusia yang peduli.

Verbraak adalah contoh nyata dari ambiguitas sejarah --- seorang tokoh yang tidak dapat dipandang hanya dalam hitam dan putih. Ia adalah bagian dari kolonialisme, namun juga sosok yang menolak kehilangan hati nurani di dalamnya. Keberadaannya mengingatkan kita bahwa sejarah tidak selalu dipenuhi pahlawan atau penjahat, melainkan juga orang-orang biasa yang berjuang dengan moralitas di tengah situasi yang rumit.

Justru dari ketidaksempurnaannya itulah kita belajar tentang arti belas kasih yang sebenarnya. Verbraak menunjukkan bahwa kemanusiaan bisa tumbuh bahkan di tempat paling gelap; bahwa iman dan kasih tidak harus sempurna untuk menjadi bermakna. Dalam membaca kisahnya hari ini, kita tidak sekadar menilai, tetapi juga memahami --- bahwa di balik setiap masa sulit, selalu ada cahaya kecil yang berusaha tetap menyala, seperti yang pernah dilakukan oleh Henricus Christianus Verbraak.

Penutup: Cahaya Kecil dari Rotterdam

Henricus Christianus Verbraak meninggal dunia pada tahun 1918, jauh dari tanah Aceh yang pernah menjadi saksi bisu pengabdiannya. Namun, kisahnya tak pernah benar-benar padam. Ia tetap hidup dalam ingatan sejarah, arsitektur gereja, dan doa-doa umat yang mengenangnya bukan semata sebagai bagian dari masa kolonial, tetapi sebagai sosok yang membawa cahaya kemanusiaan di tengah kelamnya peperangan.

Dari Rotterdam hingga Banda Aceh, dari dentuman senjata hingga lantunan doa, perjalanan hidup Verbraak mencerminkan keteguhan iman yang melampaui batas bangsa dan waktu. Ia bukan pahlawan tanpa cela, tetapi seorang manusia yang berusaha tetap setia pada nurani, meski dunia di sekelilingnya dipenuhi kekacauan. Dalam kesunyian ladang perang dan luka kolonialisme, Verbraak menyalakan harapan --- kecil, tapi nyata.

Kini, lebih dari seabad setelah kepergiannya, sosok Verbraak mengingatkan kita bahwa kebaikan tidak selalu lahir dari tempat yang sempurna, dan kemanusiaan bisa tetap bersinar bahkan di tengah bayang-bayang penjajahan. Kisahnya menjadi jembatan antara masa lalu dan masa kini --- antara luka dan pengampunan, antara kekuasaan dan kasih.

Mungkin benar, jika suatu hari patung Verbraak itu tampak menunduk setiap kali lonceng gereja berdentang, itu bukan sekadar permainan cahaya atau angin. Melainkan karena jiwa Verbraak masih ikut berdoa, menundukkan kepala bagi semua jiwa yang pernah tersesat dalam perang, dan bagi mereka yang masih mencari damai di dunia yang sering kali tak memberinya ruang.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun