Imam di Antara Dua Dunia
Kehidupan Henricus Christianus Verbraak di Aceh tidak pernah berjalan mudah. Ia berada di persimpangan dua dunia yang saling bertentangan: dunia keimanan yang menuntut kasih dan pengampunan, serta dunia kolonial yang diwarnai peperangan, penaklukan, dan kekerasan. Sebagai pastor militer, ia menghadapi dilema moral yang nyaris tak terhindarkan --- bagaimana menjalankan panggilan suci untuk melayani Tuhan, sementara tugasnya membuatnya berada di bawah struktur kekuasaan penjajahan yang justru kerap menindas rakyat yang hendak ia layani. Dalam keseharian, ia harus berdiri di antara dua sisi: tentara yang memegang senjata dan penduduk lokal yang menjadi korban perang.
Meski berada dalam tekanan besar, Verbraak tidak kehilangan arah imannya. Ia memilih jalan kemanusiaan, sebuah jalan yang melampaui batas perintah militer maupun doktrin agama. Banyak kisah dan catatan yang menggambarkan betapa besar kasihnya kepada sesama, tanpa memandang latar belakang atau keyakinan. Salah satu kisah yang paling terkenal terjadi ketika seorang prajurit non-Katolik yang sekarat bertanya kepadanya dengan suara lemah, "Apakah Tuhan akan menerima aku yang bukan Katolik?" Pertanyaan sederhana itu menyentuh hati Verbraak, dan dengan suara lembut ia menjawab, "Anakku, di hadapan Tuhan, kita semua sama. Dia tidak akan menolakmu. Engkau telah berjuang dengan berani dan kini akan pulang kepada-Nya."
Jawaban itu bukan sekadar kata penghiburan; ia mencerminkan pandangan iman yang inklusif dan penuh kasih, jauh melampaui batas agama maupun politik. Dalam situasi perang di mana manusia mudah kehilangan nurani, Verbraak tetap memegang teguh keyakinan bahwa setiap jiwa berharga di mata Tuhan. Ia tidak hanya berdoa bagi prajurit yang seiman dengannya, tetapi juga bagi semua yang terluka, menderita, dan kehilangan harapan.
Melalui sikap dan tindakannya, Verbraak memperlihatkan bahwa iman sejati bukanlah soal dogma, melainkan kasih yang diwujudkan dalam tindakan nyata. Di tengah dunia yang terbelah antara penjajah dan terjajah, antara tentara dan rakyat, ia berdiri sebagai jembatan kemanusiaan --- seorang imam yang hidup di antara dua dunia, namun tetap berpihak pada nilai-nilai yang abadi: cinta kasih, pengampunan, dan kemanusiaan universal.
Legenda yang Hidup: Dari Aceh ke Bandung
Ketulusan dan pengabdian Henricus Christianus Verbraak menjadikannya sosok yang dihormati jauh melampaui tembok gereja. Selama puluhan tahun, ia mengabdikan hidupnya bagi kemanusiaan di tengah perang dan penderitaan, tanpa pernah mencari ketenaran atau kekuasaan. Setelah masa pelayanannya berakhir, Verbraak kembali ke Batavia (kini Jakarta), di mana ia menghabiskan tahun-tahun terakhir hidupnya dengan tenang hingga wafat pada tahun 1918. Namun, seperti banyak tokoh besar yang hidup dalam kesederhanaan, kisah Verbraak tidak berakhir dengan kematiannya.
Di Banda Aceh, tempat ia menanam benih iman di masa paling sulit, umat Katolik mengenang jasanya dengan mendirikan patung penghormatan. Patung itu berdiri sebagai simbol kasih, dedikasi, dan keteguhan seorang imam yang melayani tanpa pamrih. Sayangnya, saat pendudukan Jepang pada tahun 1942, patung tersebut dihancurkan karena dianggap sebagai lambang kolonialisme Belanda. Meskipun demikian, semangat dan teladan Verbraak tidak ikut hancur. Warisan rohaninya tetap hidup dalam ingatan umat dan masyarakat yang mengenal kebaikannya.
Secara tak terduga, jejak spiritual Verbraak muncul kembali --- kali ini di Bandung, ratusan kilometer dari tempat ia dahulu berjuang. Di Taman Maluku, berdiri patung perunggu Verbraak mengenakan jubah imam, memegang Alkitab, dan menatap tenang ke arah barat, seolah sedang memandang dunia yang dulu ia layani. Patung ini merupakan karya pematung asal Belanda, Gra Rueb, yang dibuat pada awal abad ke-20 dan dikirim ke Hindia Belanda sebagai bentuk penghormatan atas jasa Verbraak. Seiring waktu, patung ini menjadi bagian dari identitas budaya dan spiritual kota Bandung.