Jika "perdamaian" hanya dijadikan alat politik tanpa penghormatan terhadap hak-hak rakyat Palestina, maka perjanjian apapun akan menjadi semu
Perkembangan terbaru dalam konflik Israel--Hamas menunjukkan paradoks mendalam: upaya diplomatik menuju perjanjian damai justru diiringi oleh peningkatan kekerasan dan pelanggaran kemanusiaan.Â
Tahun 2025 menjadi titik kritis di mana Israel, di tengah isolasi diplomatik yang kian nyata, diuji sendirian dalam mempertahankan legitimasi moral dan politiknya di hadapan dunia internasional.Â
Artikel ini mengkaji ketegangan Israel--Hamas melalui perspektif hubungan internasional, politik keamanan, serta etika global, dengan menyoroti fenomena inkonsistensi antara retorika perdamaian dan praktik militeristik Israel di Gaza.
Pendahuluan
Konflik Israel--Palestina merupakan salah satu konflik terpanjang dalam sejarah modern. Namun, pasca meningkatnya pengakuan negara-negara dunia terhadap kedaulatan Palestina pada 2025 --- termasuk Inggris, Kanada, dan Australia --- posisi Israel berubah drastis.Â
Alih-alih merespons dengan diplomasi damai, Israel meningkatkan operasi militernya di Gaza dan Tepi Barat, termasuk pemboman terhadap area sipil, rumah sakit, dan fasilitas kemanusiaan.
Ironinya, tindakan ini berlangsung bersamaan dengan wacana perjanjian damai baru yang diinisiasi oleh beberapa kekuatan global.Â
Israel tampak terjebak antara citra sebagai negara yang "membela diri" dan kenyataan sebagai kekuatan pendudukan yang menolak prinsip keadilan universal.
Metodologi
Penelitian ini menggunakan pendekatan analisis kualitatif-deskriptif dengan studi literatur terhadap: