Dari balik jeruji itulah dunia justru melihat wajah asli kekuasaan kolonial modern: ketakutan terhadap kemanusiaan itu sendiri
Penahanan aktivis Global Sumud Flotilla (GSF) di penjara Kitz pada September 2025 menjadi momentum reflektif terhadap sistem penahanan Israel yang represif dan kolonialis.Â
Walau para aktivis tersebut hanya ditahan dalam waktu singkat, pengalaman mereka membuka tabir tentang kekerasan struktural yang selama ini dialami tahanan Palestina selama berdekade.Â
Tulisan ini menganalisis penahanan GSF menggunakan kerangka teori Michel Foucault tentang disiplin dan pengawasan, Frantz Fanon tentang dehumanisasi kolonial, dan Achille Mbembe tentang necropolitics---politik kematian.Â
Melalui kacamata ilmiah, peristiwa ini dipahami bukan sebagai "insiden keamanan," tetapi sebagai refleksi mikro dari penjara makro bernama Palestina.
Pendahuluan
Pada 3--5 September 2025, sejumlah aktivis kemanusiaan dari berbagai negara---tergabung dalam Global Sumud Flotilla---ditahan oleh otoritas Israel di pelabuhan Ashdod dan kemudian dipindahkan ke penjara Kitz.Â
Flotilla tersebut bertujuan mengirim bantuan medis dan pangan ke Gaza yang terblokade. Namun, Israel menuduh mereka "bekerja sama dengan Hamas" dan "mengancam keamanan nasional."
Menteri Keamanan Nasional Israel, Itamar Ben-Gvir, bahkan menyebut para aktivis "teroris terselubung" dan "pembunuh berdarah dingin"---retorika yang menegaskan bahwa Israel telah mengaburkan batas antara aktivis kemanusiaan dan kombatan bersenjata.
Ironisnya, tuduhan tersebut justru memperlihatkan mentalitas kolonial klasik: siapa pun yang menantang struktur kekuasaan dianggap ancaman.Â
Penahanan singkat GSF menjadi jendela kecil yang mengungkap penjara besar bernama Palestina.