Mohon tunggu...
Muhammad Aiyub
Muhammad Aiyub Mohon Tunggu... Profesional Muda

Profesional Muda dalam bidang Inovasi dan Teknologi

Selanjutnya

Tutup

Financial

Membongka Ilusi Statistik BPS di Balik Data 8.47%

3 Agustus 2025   12:33 Diperbarui: 3 Agustus 2025   12:41 83
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Finansial. Sumber ilustrasi: PEXELS/Stevepb

Lebih problematik lagi, penurunan ini terjadi di tengah inflasi pangan yang tinggi, kenaikan harga BBM, dan berbagai tekanan ekonomi lainnya yang seharusnya membuat lebih banyak orang jatuh ke dalam kemiskinan. Fakta bahwa angka kemiskinan justru "turun" di tengah kondisi ekonomi yang tidak kondusif menimbulkan pertanyaan serius tentang validitas data tersebut.

Kemiskinan Indonesia adalah persoalan struktural. Oligarki ekonomi-politik menciptakan sistem di mana elite menguasai sumber daya vital, namun data BPS seolah-olah menyembunyikan realitas struktural ini dengan angka-angka yang "tampak baik."


Suara dari Lapangan: Ketika Statistik Bertabrakan dengan Realitas

Kritik terhadap data BPS tidak hanya datang dari akademisi dan peneliti, tetapi juga dari praktisi yang bekerja langsung dengan masyarakat miskin. Mereka melihat bagaimana keluarga-keluarga yang secara objektif membutuhkan bantuan tidak masuk dalam kategori "miskin" versi BPS.

Contoh konkret terjadi di Kampung Apung Jakarta Utara, di mana warga mengeluh tidak menerima bantuan selama bertahun-tahun meskipun kondisi ekonomi mereka jelas memerlukan dukungan. Ini menunjukkan bahwa garis kemiskinan BPS gagal menangkap kelompok-kelompok rentan yang sebenarnya membutuhkan perhatian pemerintah.

CELIOS dalam berbagai laporannya menyebutkan bahwa banyak masyarakat rentan tidak terdata sebagai miskin di DTKS karena standar BPS yang terlalu rendah. Akibatnya, mereka kehilangan akses terhadap program-program bantuan sosial yang seharusnya menjadi hak mereka.


Perbandingan Internasional: Indonesia Tertinggal dari Negara Serupa

Ketika negara-negara seperti Malaysia dan Filipina telah mengadopsi pendekatan multi-dimensi dalam mengukur kemiskinan---menggabungkan data pendapatan, pengeluaran, dan indikator kesejahteraan lainnya---Indonesia masih bertahan dengan metodologi sederhana yang hanya fokus pada pengeluaran.

Malaysia, misalnya, menggunakan Poverty Line Income (PLI) yang disesuaikan dengan biaya hidup riil di setiap negeri. Filipina mengadopsi Philippine Statistics Authority (PSA) method yang mempertimbangkan variasi regional dan pola konsumsi modern. Sementara Indonesia masih berpegang pada formula 1998 yang sudah tidak relevan.

Bank Dunia merekomendasikan agar Indonesia menaikkan garis kemiskinan ke US$3,65-$6,85 per hari untuk mencerminkan status sebagai negara berpendapatan menengah atas. Namun, rekomendasi ini sepertinya diabaikan karena akan "merusak" narasi keberhasilan pemerintah dalam mengurangi kemiskinan.

Mengapa BPS Enggan Berubah?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Financial Selengkapnya
Lihat Financial Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun