Lebih problematik lagi, penurunan ini terjadi di tengah inflasi pangan yang tinggi, kenaikan harga BBM, dan berbagai tekanan ekonomi lainnya yang seharusnya membuat lebih banyak orang jatuh ke dalam kemiskinan. Fakta bahwa angka kemiskinan justru "turun" di tengah kondisi ekonomi yang tidak kondusif menimbulkan pertanyaan serius tentang validitas data tersebut.
Kemiskinan Indonesia adalah persoalan struktural. Oligarki ekonomi-politik menciptakan sistem di mana elite menguasai sumber daya vital, namun data BPS seolah-olah menyembunyikan realitas struktural ini dengan angka-angka yang "tampak baik."
Suara dari Lapangan: Ketika Statistik Bertabrakan dengan Realitas
Kritik terhadap data BPS tidak hanya datang dari akademisi dan peneliti, tetapi juga dari praktisi yang bekerja langsung dengan masyarakat miskin. Mereka melihat bagaimana keluarga-keluarga yang secara objektif membutuhkan bantuan tidak masuk dalam kategori "miskin" versi BPS.
Contoh konkret terjadi di Kampung Apung Jakarta Utara, di mana warga mengeluh tidak menerima bantuan selama bertahun-tahun meskipun kondisi ekonomi mereka jelas memerlukan dukungan. Ini menunjukkan bahwa garis kemiskinan BPS gagal menangkap kelompok-kelompok rentan yang sebenarnya membutuhkan perhatian pemerintah.
CELIOS dalam berbagai laporannya menyebutkan bahwa banyak masyarakat rentan tidak terdata sebagai miskin di DTKS karena standar BPS yang terlalu rendah. Akibatnya, mereka kehilangan akses terhadap program-program bantuan sosial yang seharusnya menjadi hak mereka.
Perbandingan Internasional: Indonesia Tertinggal dari Negara Serupa
Ketika negara-negara seperti Malaysia dan Filipina telah mengadopsi pendekatan multi-dimensi dalam mengukur kemiskinan---menggabungkan data pendapatan, pengeluaran, dan indikator kesejahteraan lainnya---Indonesia masih bertahan dengan metodologi sederhana yang hanya fokus pada pengeluaran.
Malaysia, misalnya, menggunakan Poverty Line Income (PLI) yang disesuaikan dengan biaya hidup riil di setiap negeri. Filipina mengadopsi Philippine Statistics Authority (PSA) method yang mempertimbangkan variasi regional dan pola konsumsi modern. Sementara Indonesia masih berpegang pada formula 1998 yang sudah tidak relevan.
Bank Dunia merekomendasikan agar Indonesia menaikkan garis kemiskinan ke US$3,65-$6,85 per hari untuk mencerminkan status sebagai negara berpendapatan menengah atas. Namun, rekomendasi ini sepertinya diabaikan karena akan "merusak" narasi keberhasilan pemerintah dalam mengurangi kemiskinan.
Mengapa BPS Enggan Berubah?