Garis Kemiskinan yang Tidak Masuk Akal
BPS menetapkan garis kemiskinan nasional sebesar Rp609.160 per kapita per bulan, atau sekitar Rp2,9 juta untuk rumah tangga dengan rata-rata 4,72 anggota. Angka ini terdengar wajar di atas kertas, namun ketika dihadapkan dengan realitas biaya hidup, angka tersebut menjadi absurd.
Ambil contoh sederhana: biaya susu formula untuk bayi berkisar Rp500.000-Rp1 juta per bulan. Artinya, hampir sepertiga dari seluruh "anggaran" rumah tangga miskin habis hanya untuk susu formula satu bayi. Belum lagi biaya pendidikan anak (minimal Rp300.000 per anak), listrik, air, transportasi, dan kebutuhan dasar lainnya.
Direktur Kebijakan Publik CELIOS Media Wahyudi Askar menyatakan bahwa metodologi usang dari BPS berdampak langsung terhadap kebijakan anggaran, terutama perlindungan sosial. Menurut Media, dengan jumlah penduduk miskin yang kecil menurut data resmi, maka alokasi untuk bantuan sosial juga menjadi tidak memadai.
Kritik serupa datang dari Masyarakat Peduli Bencana Indonesia (MPBI) DIY yang menyinggung Instruksi Presiden Nomor 8 Tahun 2025 yang menunjuk BPS sebagai lembaga pengukur capaian pengentasan kemiskinan. "Kalau metodologinya tetap seperti sekarang, hasil akhirnya bisa bias atau dapat dipandang sebagai target politik, bukan kebutuhan rakyat," tambahnya.
Dampak Sistemik: Ketika Data Salah Menentukan Kebijakan
Konsekuensi dari data kemiskinan yang tidak akurat bukan sekadar masalah akademis, melainkan berdampak langsung pada kehidupan jutaan rakyat Indonesia. Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS) yang menjadi basis penyaluran bantuan sosial (bansos) menggunakan standar kemiskinan BPS sebagai acuan utama.
Hasilnya? Paradoks yang mencengangkan: program bantuan sosial pemerintah menjangkau lebih banyak orang daripada jumlah penduduk miskin versi BPS. Program Keluarga Harapan (PKH) mencakup 10 juta rumah tangga (sekitar 40 juta jiwa), bantuan sembako menjangkau 18,8 juta rumah tangga (75 juta jiwa), sementara BPS hanya mengakui 23,85 juta jiwa sebagai penduduk miskin.
Kontradiksi ini menunjukkan bahwa pemerintah sendiri tidak percaya sepenuhnya pada data BPS. Mereka tahu bahwa jumlah masyarakat yang membutuhkan bantuan jauh lebih besar dari yang tercatat secara resmi. Namun, untuk kepentingan narasi politik, data BPS tetap dipertahankan sebagai "bukti keberhasilan" pemerintah.
Ketika Angka Menjadi Alat Politik
Penurunan kemiskinan sebesar 0,1 poin persentase dari 8,57% menjadi 8,47% yang diklaim pemerintah sebagai "prestasi" sebenarnya adalah penurunan yang tidak signifikan secara statistik. Dengan margin of error yang biasa terjadi dalam survei nasional, perbedaan 0,1% ini bisa jadi hanya fluktuasi statistik biasa, bukan penurunan riil.