Jika tren ini berlanjut, Gorontalo terancam menjadi kota anonim: wajahnya modern, tetapi kehilangan jati diri. Generasi muda akan tumbuh di ruang kota yang serba baru, tapi kosong identitas, karena tak lagi bisa membaca jejak leluhur.
UNESCO melalui Historic Urban Landscape (HUL) menegaskan: pembangunan boleh berjalan, tapi jangan sampai memutus warisan sejarah. Kota tanpa memori ibarat manusia tanpa akar.
Dampak Nyata Kehilangan Warisan
Hilangnya bangunan bersejarah bukan hanya soal estetika. Dampaknya serius:
Wisata budaya merosot. Kota tua tanpa bangunan bersejarah ibarat taman tanpa bunga.
Label "kota tua" tinggal nama. Jakarta sempat mengalaminya sebelum revitalisasi kawasan Kota Tua.
Hilangnya arsip tiga dimensi sejarah. Narasi Kesultanan Gorontalo, kolonial Belanda, hingga awal republik terputus dari ruang nyata.
Banyak kota lain bisa jadi pelajaran: Manila kehilangan hampir seluruh Intramuros, Singapura berhasil menyelamatkan Chinatown, sementara Hanoi menjaga kota lamanya dengan dukungan UNESCO.
Potret Ketidakpedulian
Salah satu contoh nyata adalah eks Rumah Kepala Jawatan Pos dan Telegraaf Gorontalo peninggalan masa Hindia Belanda. Bangunan cagar budaya ini kini terbengkalai, atapnya runtuh, kayunya lapuk, dan dibiarkan menunggu musnah. Padahal, ia merupakan saksi awal sejarah komunikasi modern di Gorontalo.