Mohon tunggu...
Faiza Nabila
Faiza Nabila Mohon Tunggu... Mahasiswa

people who like music and books

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

He

21 April 2024   20:44 Diperbarui: 21 April 2024   21:12 111
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Suasana malam yang dingin menyelimuti kamar ku dengan langit penuh ribuan bintang dan cahaya bulan yang menjadi penanda senyapnya malam. Aku, Nana, seorang perempuan introvert berzodiak Virgo, menikmati keindahan itu sambil terbaring rebahan, sibuk meresapi setiap halaman buku yang menjadi teman setia setelah makan malam. Hidupku yang sebelumnya monoton dan penuh kebosanan, berubah saat aku bertemu dengan seseorang yang mampu menghadirkan warna dalam hidupku yang sebelumnya abu-abu.

Panggilan telepon dari sahabatku, Dila, memecah kesunyian malam itu. Karena kami jarang bertemu sejak dia melanjutkan pendidikannya ke pesantren. Kami berbincang-bincang lama, membagi cerita dan tawa, hingga jam menunjukkan pukul 22.00 WIB. Kami sepakat bertemu esok hari di pantai, tempat biasa kami berbagi cerita dan kenangan.

***

Hari berikutnya, kami bertemu di pantai setelah sekian lama terpisah. Sore itu penuh kehangatan dan tawa. Waktu berlalu begitu cepat dan saat matahari hampir tenggelam, kami memutuskan untuk pulang. Di tempat parkir, Dila segera pulang, sementara aku tersandar pada pikiran-pikiran tentang kejadian tadi. Sementara aku berjalan menuju motor, tanpa sadar aku menginjak kaki seseorang yang terluka di belakangku. Meskipun aku meminta maaf, sosok itu hanya tersenyum tanpa berkata apa-apa. Saat terdengar samar-samar suara azan, aku buru-buru meninggalkan pertemuan singkat itu.

***

Pikiran ku melayang ke kejadian itu ketika aku berbaring di kasur, mengenang apakah sosok itu baik-baik saja? Apakah dia marah? Aku sedikit khawatir karena kakinya terluka.

Esoknya, aku membersihkan rumah dan menghabiskan waktu sendirian. Seminggu berlalu, dan temanku Dila kembali ke pondoknya. Sore itu, aku memutuskan pergi ke pantai lagi, berharap bisa bertemu dengan sosok misterius dan berharap bisa meminta maaf kembali. Namun, keinginanku tak terwujud, membuatku semakin penasaran.

Aku memutuskan untuk kembali ke pantai setelah beberapa hari. Kali ini, kehadirannya terlihat, sosok itu muncul, aku ragu-ragu untuk menyapa, tapi akhirnya aku memberanikan diri mengajaknya berbicara. Tapi, dia hanya diam tanpa sepatah kata. Suasana sepi dan canggung merayapi kami berdua, hanya suara ombak yang terdengar dikejauhan. Setelah beberapa detik, tanpa diduga, sosok itu memberikan jawaban dengan gerakan tubuhnya yang pelan. Aku kaget dan terdiam, terperangkap dalam kebingungan dan rasa bersalah semakin menghimpit. Aku tak tahu harus merespon apa, bagaimana memecahkan keheningan yang semakin tebal di antara kami. Tiba-tiba ia mengeluarkan pulpen dan buku kecil dari saku bajunya, aku melihat tulisan yang menggema di halaman-halaman kecil tersebut, "aku sudah memaafkan kamu sejak hari pertama bertemu."

Aku terdiam lagi, melontarkan pandangan yang mencerminkan kekagetan. Aku merasa lega, tetapi juga semakin merasa bersalah. Aku ingin berkata sesuatu, menjelaskan perasaanku, namun kata-kata itu tampaknya menolak keluar dari bibirku. Di tengah keheningan itu, dia menjulurkan buku kecilnya yang bertuliskan "ayo berteman". Perasaan senang dan bahagia tiba-tiba meliputi hatiku. Aku langsung mengangguk tanpa berpikir panjang. Entah mengapa, senyumannya memberikan kehangatan pada hatiku yang kian dingin oleh hembusan angin pantai yang sejuk. Aku ingin duduk bersamanya setiap hari, mengajaknya berbincang-bincang.

Kami duduk di tepi pantai, menyaksikan senja yang perlahan tenggelam, sambil mendengarkan ombak yang memberikan ketenangan dan kedamaian. Dalam keheningan itu, kami memilih untuk berbicara melalui buku kecil, menuangkan pemikiran dan perasaan kami. Aku merasa penasaran tentang satu hal yang selalu mengganjal pikiranku. Dengan sedikit keberanian, aku menuliskan pertanyaan, apakah kamu selalu duduk sendirian di sini? Dengan cepat jawabannya muncul.

Ia menjawab bahwa dia merasa nyaman duduk sendiri. Namun, jawabannya tidak hanya sekedar tentang kenyamanan fisik. Ia membagikan kisah pribadinya, menceritakan bahwa dia tidak memiliki pilihan selain duduk sendiri. Dia mengungkapkan bahwa dia kehilangan suara dan teman-temannya menjauhinya setelah kecelakaan traumatis saat masih sekolah. Kejadian tragis itu terjadi ketika dia jatuh dari tangga yang didorong oleh seorang teman.

Seiring senja yang semakin meredup, kami melanjutkan pembicaraan lewat tulisan, memahami keheningan yang seolah melibatkan kami dalam dunia sendiri adalah kekuatan untuk menemukan suara yang sejati, bahkan ketika dunia sekitar terdiam.

Kami mulai menjalin persahabatan lewat buku kecil yang dia bawa. Suara ombak dan senja menjadi saksi pertemuan kami setiap hari. Namun, tiba-tiba dia tidak muncul lagi. Aku terus menunggunya di pantai, tetapi kehadirannya tak lagi terasa. Kekecewaan dan kesedihan melanda. Aku berdiri dan menatap laut yang tenang, mencoba meresapi keheningan pantai yang dulunya penuh dengan cerita kami. Pertanyaan-pertanyaan memenuhi pikiranku. Mengapa dia tiba-tiba tidak muncul? Apakah ada sesuatu yang terjadi padanya? Rasa penasaran dan kekhawatiran membuncah dalam diriku. Tanpa memandang waktu, aku berjalan pulang dengan langkah yang berat.

Di hari-hari berikutnya, aku mencoba mencari tahu keberadaannya. Aku bertanya kepada orang-orang di sekitar pantai, namun tak ada yang tahu tentang sosok itu. Semakin lama, kehilangannya membuatku semakin terpuruk.

Suasana malam yang dingin dengan langit dipenuhi ribuan bintang dan sinar bulan tidak lagi memberikan ketenangan seperti dulu. Aku merasa kehilangan satu bagian dalam hidupku. Setiap buku yang kubaca, setiap senja yang kudatangi, selalu mengingatkanku pada sosok yang tiba-tiba menghilang. Aku terus hidup dengan pertanyaan tanpa jawaban. Apakah aku melakukan sesuatu yang salah? Apakah aku menyakiti perasaannya tanpa disadari? Rasa bersalah dan penyesalan mulai merayapi hatiku. Aku berharap masih ada kesempatan untuk menyelesaikan segala kebingungan ini.

Hidupku kembali ke dalam kebosanan dan kesendirian. Meskipun aku mencoba melupakan kehadirannya, namun sosok itu selalu membayangi pikiranku. Terkadang aku masih pergi ke pantai, hanya berharap bahwa dia akan muncul kembali seperti dulu.

Pada hari itu, aku memutuskan untuk menunggunya terakhir kali. Aku menanti lebih lama dari yang seharusnya. Jam terus berjalan, dan pukul 20.00 WIB tiba, namun dia masih belum kunjung datang. Dengan langkah berat, aku akhirnya beranjak pulang. Dengan penuh kekecewaan, aku meneriakkan kata-kata terakhir, "semoga aku dan kamu bahagia, dan suatu hari kita bisa bertemu lagi, kamu adalah teman yang selalu ingin aku temui tiap hari."

Tiga bulan telah berlalu, sejak aku terakhir mengunjungi pantai itu. Rindu itu terus menghantui, dan hari ini aku memutuskan untuk kembali. Duduk di tepi pantai, mataku terpaku pada langit senja. Angin pantai yang dingin mengusap wajahku, sementara hatiku masih berharap dapat bertemu dengan sosok itu lagi. Namun, kesia siaan memenuhi harapanku, karena dia sepertinya telah pergi jauh. Dengan hati berat, aku berdiri dan memutuskan untuk pulang. Di tempat parkir, kejutan baru menghampiri, aku tidak bisa menemukan kunci motor. Sial, pikirku. Dengan langkah gugup dan panic, aku mencari ke seluruh tempat yang telah kutempati sebelumnya, berjalan keliling mencari-cari. Akhirnya, dengan rasa lega, aku melihat kunci motor dari kejauhan dan berlari menuju tempat itu.

Namun, rasa lega itu tergantikan oleh keheranan saat seseorang berdiri di depanku. Aku melihatnya dari ujung kaki hingga kepalanya, dan keterkejutan memenuhi wajahku. Dia, sosok yang selalu kuharapkan, berdiri di hadapanku. Senyumannya membuat hatiku berdebar, dan dia meminta maaf karena membuatku menunggu. Mataku berkaca-kaca saat aku menyadari bahwa dia tidak lagi bisu. Dia sudah mendapatkan pengobatan di luar negeri, dan saat ini hadir dihadapanku.

Aku terkejut dan bersyukur. Dia tahu bahwa kepergiannya membuatku khawatir, namun dia senang melihatku lagi, dia menceritakan bahwa dia yakin aku telah melupakannya. Dalam pelukan hangatnya, kami berjanji untuk tidak pernah melupakan satu sama lain. Malam itu kami berdua berbicara banyak hal dan aku bersumpah untuk selalu berada di sisinya. Kini, setiap matahari terbenam di pantai, aku duduk di sampingnya, menikmati kehangatan persahabatan yang tak tergantikan. Aku bersyukur karena sosok itu masih ada dalam hidupku, menghadirkan warna baru dalam kisah abu-abu yang dulu pernah kukenang.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun