Mohon tunggu...
Fais Rokmawar Dani
Fais Rokmawar Dani Mohon Tunggu... Mahasiswa - Sastra Indonesia Universitas Negeri Semarang

Menyukai hal-hal seputar tulisan, broadcasting, traveling, dan kuliner.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Kangen

4 Desember 2022   16:05 Diperbarui: 4 Desember 2022   16:08 254
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi (freepik.com)


Bisa-bisanya seseorang tetap mengirim kangen dalam keadaan sesulit apapun. Dalam segala keterbatasan. Dalam segala perbedaan. Dalam segala hal yang hanya tinggal nama. Kamu, Ji. Kenapa kamu tetap mengirim kangen itu? Lewat angin yang keluar dari celah duniamu. Lalu membaur menjelma angin di duniaku. Dan, sampai. Kangen dalam wujud angin itu sampai di depan rumahku. Saat itu aku sedang berada di kamar. Malas sekali saat mendengar pintu rumah diketuk. Karena aku tahu, itu adalah ulah kangen yang kamu kirimkan.

Aku biarkan suara ketukan yang lama-lama semakin keras. Aku tak ingin kangenmu itu membuatku kembali gila. Kamu tahu, bukan? Kangen itu perlu obat. Kangen itu perlu bertemu. Yang meski setelahnya kangen makin tak tahu diri. Makin menggebu. Makin membuat kita ingin bersatu.

Ji, sudahlah! Tidakkah cukup tiap sudut kota, taman bunga, baju yang kau hadiahkan, sampai warung bakso mi ayam favoritmu itu membuatku kacau. Tidakkah cukup kenangan bersamamu itu membuatku takut. Membuatku tak bisa menerima orang lain selain dirimu. Membuatku tak bisa menatap mata orang lain selain matamu. Kenyataan kita pernah bersama memang sangat membahagiakan. Tapi kamu juga harus terima, kita telah usai. Aku tak sudi ada hubungan lagi denganmu. Aku tak ingin merasa kangen dengan orang yang tak bisa kusentuh. Tak bisa kuharap. Tak bisa kutatap. Makanya, jangan terus-terusan kau kirim kangenmu itu. Memangnya kalau aku gila, kamu mau tanggung jawab?

Mau tanggung jawab pun, kamu tak akan bisa. Kita sangat berbeda sekarang. Jadi, meski sekarang kangenmu sedang berlutut sekalipun, aku tak akan membukakan pintu. Tak akan kubiarkan lagi ia masuk. Tak akan lagi ia membuatku kalut dengan segala rencana-rencana kita, dulu.

Sembilan tahun lagi kita bakal nikah deh kayaknya.

Lah, aku kan mau kuliah dulu.

Ya enggakpapa dong, nikah sambil kuliah, aku biayain kok.

Kamu tertawa. Merangkul pundakku. Saat itu kita duduk-duduk di taman bunga. Kamu sangat cerewet. Kebanyakan ceramah. Aku kurang perhatianlah. Kurang sayang sama kamulah. Padahal sampai sekarang, saat kamu sudah pergi pun, aku tidak lagi melihat lelaki lain. Aku masih setia menunggu kamu. Tidakkah ini sudah cukup membuatmu mengerti sebesar apa rasa sayangku ini?

Ya...jangan menyesal karena meninggalkanku. Aku pun tak marah saat kau acuh tak acuh padaku. Saat kau pergi tanpa berpamitan. Saat di rumah sakit itu. Saat selang-selang itu melilit tubuhmu. Saat matamu menghindariku. Aku sudah mendapat jawabannya. Aku sudah tahu nasib hubungan kita tidak akan mujur. Aku tahu aku akan gila. Akan selalu kangen pada orang yang tak bisa lagi kudapati keberadaannya. Ya, aku tahu.

Tapi kenapa kamu tak kunjung mengerti juga? Kita sudah tamat. Tidak bisa bertatap. Untuk apa kamu selalu kirimkan rindu. Kangen itu, untuk apa? Tidakkah kamu tahu, aku sudah cukup menderita. Aku akan ingat. Aku akan selalu ingat kamu meski tak kau kirimkan kangen tiap waktu.

Pikir saja. Bagaimana bisa seseorang melupakan obat sekaligus racun dalam hidupnya. Tanpa kangen pun, kamu memang pantas diingat. Meski ingatan tentangmu kadang membuatku luka. Tak apa. Jadi tolong mengertilah! Lukaku karena racunmu itu sudah banyak. Jangan kau tambahi dengan kangen-kangen yang makin hari makin tak tau diri itu. Jangan!

Ketukan kangenmu itu makin berisik. Aku semakin berniat untuk mengusirnya. Kuintip lewat jendela, tak ada siapa-siapa. Tapi ketukan itu terus ada. Kangenmu yang menjelma angin itu masih ada.

Pergi sana! Bilang ke Tuanmu, hubungannya denganku telah tamat. Tak perlu lagi kau datang. Pergi! Bilang ke Tuanmu, sadar dirilah, dunianya denganku telah berbeda. Jangan mengirimiku kangen tiap waktu kalau ia tak bisa datang bertanggung jawab!

Ketukan pintu berhenti. Dari belakang jendela tempatku berdiri, tanaman di depan rumah terlihat terhembus angin. Agak kencang. Sepertinya kangen itu telah pergi dengan segala kejengkelannya terhadap perkataanku. Ya, semoga dengan begitu ia tak akan datang lagi. Tuannya semoga tahu diri.

Tapi dasar sialan! Kangen itu bukannya pergi malah masuk ke kamar. Aku lupa tak menutup jendela. Saat kubuka laci meja, kangen itu tertawa. Aku sontak menutup kasar. Tak jadi mengambil barang-barang kenangan denganmu.

Jangan bakar, Is!  Suara kangenmu itu sangat mirip denganmu. Tapi tahu dari mana dia kalau aku hendak membakar barang kita. Tahu dari mana kalau sudah kusiapkan korek api, minyak tanah, tong alumunium besar, masker penghalang debu.

Kamu bakar pun akan sia-sia. Jadi jangan! Aku tak mempedulikan omongannya. Kuangkat kardus dalam laci. Kardus barang-barang kenangan kita. Kumasukkan kardus itu dalam tong yang sudah kusiapkan di belakang rumah. Masker sudah terpasang, korek sudah ditangan. Pada hitungan ketiga akan kumasukkan minyak tanah dan korek ke dalam tong. Is, jangan! Kangenmu itu terdengar memelas. Tong itu sudah penuh api. Kardus barang-barang kenangan dengamu sudah jadi debu. Dan, tiba-tiba gantungan baju berjatuhan. Aku tahu, kangenmu pergi dan sengaja menabraknya. Kangenmu itu kecewa, Ji. Kuharap kamu juga begitu.

Kuharap juga aku akan lega. Tapi entah, rasanya sama saja. Tak ada barang-barang kenangan. Tak ada kangenmu yang berisik membuat ketukan. Yang ada hanya sesak yang sama saat kangenmu datang. Ingatan yang sama. Kenangan yang sama. Dan kamu yang masih Aji. Tak ada yang berbeda setelah barang-barang kenangan itu lenyap. Aku masih dihujam sesak. Bayang-bayangmu menertawakan kebingunganku. Aku tak mengerti. Yang aku rasa, sekarang aku sedang kangen kamu saja. Sedang ingat. Sangat ingat.

Apa ini maksud dari kesia-siaan? Ucapan kangenmu ternyata benar, Ji. Sia-sia saja aku membakar barang-barang kenangan kita. Sia-sia saja mengusir kangenmu dan membuatnya kecewa. Karena tanpa mereka. Tanpa kangenmu yang menjelma jadi angin itu. Tanpa barang-barang kenangan yang sekarang sudah jadi debu. Aku tetap kangen kamu.

Barang kenangan sudah dibakar pun, kangen itu tetap abadi. Kangen yang kamu kirimkan ternyata abadi, Ji. Dan luka-lukaku karenanya juga akan sama--mereka akan tetap abadi.

           

 

           

           

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun