Mohon tunggu...
Kael Faid
Kael Faid Mohon Tunggu... Penulis Cerpen

Penulis cerita fiksi

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Payung Biru Tua

26 Juli 2025   13:58 Diperbarui: 26 Juli 2025   13:58 48
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Aku masih ingat jelas hari itu hujan turun tipis, meninggalkan jejak basah di jalanan aspal yang sudah mulai retak. Di sebuah pemakaman kecil di ujung kota, aku melihat perempuan itu untuk pertama kalinya. Ia berdiri di bawah payung biru tua, mengenakan pakaian hitam sederhana, dengan rambut panjang tergerai basah oleh kelembapan udara. Sorot matanya kosong, tapi ada ketenangan yang ganjil. Dia tampak seperti lukisan hidup yang diwarnai suram oleh suasana duka. Kesan pertamaku adalah cantik.

Aku tidak mengenalnya, tapi anehnya, aku merasa dia seolah memanggilku untuk memperhatikan. Aku berdiri di barisan pelayat, mendengarkan doa yang dipimpin seorang ustadz, sementara pikiranku melayang pada sosok perempuan itu. Dia berdiri agak jauh dari kerumunan, di dekat saluran air, seperti pengamat yang asing. Saat upacara selesai, aku melihat dia pergi tanpa sepatah kata pun kepada siapa pun. Seakan-akan dia hanya datang untuk memastikan sesuatu, bukan untuk merasakan kehilangan.

Dia sering kali menunjukkan gelagat aneh. Seperti sedang mengambil nafas panjang. Aneh, mengingat dia berdiri di dekat saluran air.

Sebagai penulis, aku selalu punya kebiasaan mencatat hal-hal kecil yang menarik perhatianku. Dalam notes di ponselku, aku menulis, 'Perempuan misterius di pemakaman. Payung biru tua. Sorot mata kosong.' Tidak lebih dari itu. Aku tidak berharap akan bertemu dengannya lagi.

Namun, hidup sering kali menyelipkan kebetulan yang tak terduga. Dua tahun setelah pemakaman itu, aku melihatnya lagi. Kali ini di sebuah taman kota, di dekat kolam ikan yang penuh daun kering. Ia duduk di bangku kayu yang menghadap air, tampak larut dalam pikirannya sendiri. Meski tanpa pakaian hitam, detail-detail kecil yang langsung menarik ingatanku: warna payung biru tuanya dan sorot mata kosong yang entah kenapa terasa begitu familiar. Aura yang sama, ketenangan yang hampir menakutkan.

Aku ragu untuk mendekat. Tapi, rasa ingin tahuku lebih kuat. Aku duduk di bangku yang sama, menjaga jarak yang sopan.
'Hai,' sapaku, mencoba terdengar santai.
Dia menoleh, sedikit terkejut, tapi tidak tampak terganggu. 'Hai,' balasnya singkat.
Aku mengulurkan tangan. 'Pras.'
'Liya,' katanya, menjabat tanganku dengan ragu. Sentuhannya dingin, seperti udara di sekitar kami.

Aku sebenarnya ingin langsung bertanya apakah dia ingat pemakaman itu, tapi sesuatu dalam sikapnya membuatku menahan diri. Aku memilih memulai obrolan dengan hal-hal ringan: cuaca, taman, ikan-ikan yang tampak malas bergerak di kolam. Dia merespons dengan jawaban singkat, tapi perlahan aku merasa dia mulai lebih terbuka. Wajahnya, yang awalnya tampak kaku, mulai menunjukkan sedikit ekspresi.
'Aku pernah melihatmu sebelumnya,' kataku akhirnya, tidak tahan lagi.
Dia mengernyit. 'Di mana?'
'Pemakaman, dua tahun lalu. Kamu berdiri di bawah payung biru tua.'

Liya diam sejenak, matanya mengamati wajahku seolah mencari kebenaran dalam ingatanku. Kemudian, dia tersenyum tipis, sebuah senyum yang sulit ditafsirkan. 'Kamu ingat detail yang aneh.'
'Mungkin karena aku penulis. Aku terbiasa memperhatikan hal-hal seperti itu.'
'Penulis?' Matanya sedikit menyala. 'Apa yang kamu tulis?'
'Cerita. Tentang manusia, tentang perasaan, tentang hal-hal kecil yang kadang tidak diperhatikan orang lain. Seperti...' Aku berhenti, merasa terlalu terbuka.
'Seperti apa?' desaknya.
Aku tersenyum malu. 'Seperti perempuan misterius di pemakaman.'

Liya tertawa kecil, dan untuk pertama kalinya, aku melihatnya tampak benar-benar hidup. 'Itu menarik,' katanya. 'Tapi aku bukan perempuan misterius. Aku hanya... suka berada di tempat seperti itu.'
'Pemakaman?' timpalku.
Dia mengangguk. 'Ada sesuatu yang menenangkan di sana. Mungkin aneh, tapi aku merasa lebih terhubung dengan diriku sendiri ketika aku berada di dekat kematian.'
Aku tidak tahu harus menjawab apa. Kata-katanya terasa begitu jujur, tapi juga menyimpan rahasia yang lebih dalam.
'Apa yang kamu cari di sana?' tanyaku akhirnya.
Dia menatap ke arah kolam, seperti mencari jawaban di antara riak air. 'Sepertinya ini bukan obrolan yang biasa, bagi dua orang yang baru saja kenal' jawabnya.

Aku terdiam, mencoba mencerna apa yang baru saja dia katakan. Sepertinya Liya bukan sekadar perempuan biasa. Ada lapisan-lapisan di dalam dirinya yang belum tersingkap. Dan entah kenapa, aku merasa ingin menggali lebih dalam.
Hari itu, kami berbicara cukup lama. Tentang kehidupan, kehilangan, dan hal-hal kecil yang sering diabaikan. Ketika matahari mulai terbenam, dia berdiri dan berkata, 'Aku harus pergi.' ucapan terakhir setelah kami saling me-follow akun instagram.
Liya pergi, meninggalkan aku dengan lebih banyak pertanyaan dari pada jawaban. Tapi aku tahu satu hal: aku ingin menulis ceritanya. Atau mungkin, kami akan menulis cerita ini bersama-sama.

***

Awalnya aku memang penasaran dengan misteri kebetulan Liya. Tapi aku sudah lupa, kita malah semakin sering bertukar cerita di balon percakapan Instagram. Keluarga, keseharian, hobi, menjadi topik pembicaraan yang tidak ada habisnya. Untungnya misteri itu masih belum terungkap, jika sudah, cerita ini yang akan habis.

Ternyata, kami punya banyak kesamaan. Seperti menonton youtube dengan resolusi 144p, suka ngemil timun, dua puluh empat jam terasa lambat jika kita sudah membahas itu. Liya adalah perempuan yang selalu membawa aroma segar hujan, entah dari mana asalnya. Kami mulai sering berbicara, saling berbagi cerita, dan aku mulai menyadari bahwa dia adalah inspirasi yang tak pernah kucari tapi selalu kubutuhkan.

Waktu itu, aku masih belum punya pekerjaan tetap. Meskipun sudah pernah menerbitkan dua novel, tapi komisi yang ku dapat tidak seberapa. Hanya sepuluh persen dari setiap satu buku yang terjual. 'Molen Merah', judul novelku yang pertama, menceritakan tokoh utama bernama Molen yang menjadi pemarah setelah dibully teman-temannya akibat suka pakai daleman gambar spongebob hingga dia kuliah.

Hidupku masih bergantung pada orang tua dan sedikit tabunganku. Ketika weekend, pemeran utama dunia ini adalah Aku dan Liya. Dia selalu punya ide cute date yang disimpannya setiap scroll TikTok.
'Makan di sini enak kali ya?' tanya Liya, mengirim link video.
'Boleh' jawabku spontan tanpa pikir panjang.
Semua cute date sudah kami lakukan. Seperti makan es krim, yang rasanya asin, menonton bioskop, menonton pertunjukan komedi, dan lainnya.
'Siapa komika yang tampil hari ini?' tanyaku basa-basi, sebenarnya aku sudah tahu.
Membuka jadwal di handphone 'Dani teler' jawabnya.

Terkadang, kami juga hanya nongkrong di cafe. Liya keracunan membaca novel. Dia menyelami perasaan sambil memegang novel di tangannya, setia menemaniku yang sedang menggebu-gebu untuk menulis. Sesekali, aku berdiri dan pergi ke toilet cafe, saat pikiranku sedang bertengkar dengan kebingungannya. Itu bisa sedikit membantuku.

Liya selalu menjadi teman curhatku. Brainstorming, membaca note-note di hpku, dia sering memberikan ide menulis untukku. Saat hari sedang berpihak padaku, dua cerita bisa kutulis sekaligus. Saat hari buruk, tidak ada ide cerita sama sekali. Meski begitu, aku tidak merasa rugi, bisa menghabiskan waktu bersama Liya.

Aku pernah memperlihatkan kebiasaanku, setiap kali selesai menulis cerita, tepat akhir cerita tersebut. Aku memencet tombol 'enter' sekeras mungkin hingga terdengar pengunjung lainnya.
'Kenapa harus sekeras itu?' tanya Liya.
'Biar puas aja,' kataku, nyengir lebar.
'Aneh' kata Liya.
'Itulah penulis,' kataku.

Sudah 9 bulan, aku dan Liya saling mengenal. Cinta muncul tanpa rambu-rambu. Udara sore itu terasa hujan akan turun. Kami yang sedang duduk manis di cafe, segera berdiri, beranjak pulang. Benar saja, belum ada seratus meter dari cafe, hujan turun, gerimis, tapi lebat. Kami berteduh di warung bambu pinggir jalan yang sudah tutup sore itu. Baju kami basah, tapi anehnya, kami merasa hangat. Disaat inilah, cinta turun di bawah rintik hujan.
'Aku sayang kamu' kataku.
'Aku juga' jawabnya.

***

Seperti video youtube dengan resolusi 144p, awalnya hidupku terasa buram. Tidak punya teman, apalagi sahabat. Tapi jika ditonton sambil tidur, semua keburaman itu tidak akan terasa. Tiba-tiba sudah setahun aja, kami menjalani hubungan. Yang awalnya terasa 144p, sekarang terasa 4k, karena semua masa depanku terlihat lebih nyata.

Pada saat yang sama, aku terbangun di suatu pagi dengan ponsel berdering, sebuah pesan dari production house. Mereka ingin aku menulis skenario film layar lebar dengan genre horor komedi, karena memang genre itu yang sedang laku. Bahagia? Tentu saja. Tapi segera setelah itu, rasa bingung menyergap. Aku belum pernah menulis cerita dengan genre horor sebelumnya. Apalagi horor komedi, itu seperti memadukan ketakutan dengan tawa dalam satu piring, dan aku tidak tahu apakah aku punya bumbu yang tepat untuk itu.
Sore itu, aku mengajak Arif, teman lamaku di komunitas menulis, dia yang selalu punya ide-ide liar. Aku mengajaknya brainstorming di sebuah cafe yang biasa aku tempati saat ngedate bersama Liya. Arif adalah tipe orang yang bisa membuat hal paling menakutkan terdengar lucu, jadi kupikir dia adalah partner yang sempurna untuk diskusi ini.

'Kamu tahu?' katanya sambil menyeruput americano manis 'kalau setan juga mungkin punya hari buruk?'
Selain ide ceritanya yang liar, ide makanan dan minumannya juga liar. Aku penasaran ketika dia memesan americano manis, mungkin terjadi perdebatan dulu sebelum akhirnya barista menyetujui. Jauh sebelum itu, dia juga pernah memesan steak crispy.
'Bayangin, mereka nakutin orang, tapi orangnya malah ketawa' lanjut Arif.
Aku tertawa 'Itu ide yang menarik, contohnya apa? Setan punya punchline komedi?'
'Bisa jadi' jawabnya sambil tertawa 'Atau mungkin setannya takut sama manusia. Jadi mereka cuma pura-pura serem biar nggak diketawain'.

Percakapan kamu terus berlanjut dengan ide-ide yang makin absurd. Kami membayangkan sebuah rumah berhantu dimana hantu-hantunya terobsesi dengan media sosial, atau pocong yang marah karena orang-orang terus memotret tanpa izin.
Setelah beberapa jam, aku pulang dengan kepala penuh ide. Namun, sebelum aku bisa menulis apapun, Liya menghubungiku, memintaku untuk datang. Dia selalu punya cara unik untuk selalu membuatku merasa lebih baik, bahkan di saat aku merasa terbebani.
Kebetulan, Liya punya pekerjaan yang terbilang cukup asing. Dia bekerja sebagai asisten manajer sebuah perusahaan inovator makanan hewan. Dia sering menceritakan kejadian-kejadian unik di tempat kerjanya. Karena dia tahu, aku selalu mencatat keunikan yang ada di sekitarku dengan satu kalimat di notes.

Aku mampir ke rumahnya, katanya, dia punya cerita lucu yang harus kudengarkan langsung.
'Percaya atau tidak,'' sambutnya tanpa basa-basi, sambil tersenyum, 'aku harus menciptakan rasa ayam panggang yang bisa membuat kucing merasa seperti bangsawan'.
Aku mengerutkan kening 'Itu tidak masuk akal'.
'Tapi itu yang diminta bosku' jawabnya sambil tertawa 'Jadi, si bos memintaku harus menciptakan rasa makanan yang tidak cuma sehat, tapi juga menggugah selera mereka. Dan masalahnya, aku tidak punya cara untuk bertanya ke kucing, 'Rasanya gimana, nih?'
Aku tertawa, 'Lalu gimana caranya?'
'Yah, aku harus mencicipinya sendiri' jawab Liya dengan nada santai.
'Serius?' aku hampir tersedak teh hangat yang kuminum malam itu.
'Serius. Dan bukan cuma aku. Kamu juga pernah bantu aku jadi taster, ingat?'
Aku langsung teringat pengalaman itu, ketika Liya menyerahkan semangkuk kecil pasta basah berwarna abu-abu. 'Coba ini, rasanya mirip tuna panggang belum?' katanya waktu itu.
'Kalau aku trauma, kamu tanggung jawab' balasku.

Pekerjaan Liya sebagai 'perancang rasa' untuk makanan hewan peliharaan selalu menjadi sumber tawa. Dia sering bercerita tentang eksperimen-eksperimen aneh, seperti menciptakan rasa durian untuk makanan hamster.
Malam itu, saat aku mulai menulis, ide-ide yang kubahas dengan Arif dan cerita-cerita aneh dari Liya mulai bercampur dalam kepalaku. Aku memutuskan untuk membuat cerita tentang sebuah desa kecil yang dihuni oleh hantu-hantu gagal, hantu-hantu yang tidak bisa menakut-nakuti siapapun. Sebaliknya, mereka justru selalu membuat manusia tertawa.
Misalnya, ada satu karakter pocong yang mencoba meloncat dengan anggun tapi selalu tersandung kainnya sendiri. Atau kuntilanak yang ketakutan saat melihat manusia membawa kipas angin, mengira itu senjata pemusnah hantu.
Saat aku menceritakan konsep itu ke Liya, dia tertawa terbahak-bahak, 'Kamu tahu, itu seperti versi horor dari hidupku. Kadang aku juga merasa seperti pocong yang tidak bisa meloncat'
Aku tertawa, 'Tapi kamu tetap berhasil membuat segalanya jadi lebih menyenangkan, sayang'
Liya tersipu malu, jarang sekali aku memanggilnya dengan 'sayang', 'Gombal ih' katanya, sambil memalingkan wajahnya, pipinya berwarna merah.

***

Setiap akhir pekan, kami masih menyempatkan diri meluangkan waktu bersama. Tergantung kondisi, terkadang kami hanya duduk di teras, berbicara apa saja, atau hanya menikmati keheningan.  Malam itu, lampu kuning menerangi halaman yang basah sisa hujan sore. Nyamuk mengitari gelas teh hangat di atas meja kecil. Liya duduk di depanku, jemarinya bermain dengan rambut yang tergerai ke bahunya.

Entah bagaimana, obrolan malam itu, membawa kami ke wilayah rahasia masing-masing. Aku mengaku pernah menghilangkan tupperware ibunya. Liya tertawa, lalu mengaku pernah menyembunyikan sandal baru milik kakaknya hanya karena iri.
'Tidak ada yang lebih rahasia lagi?,' kataku sambil nyengir, 'yang bisa bikin aku kaget.'
Liya terdiam. Ia menatapku sejenak, lalu memandang gelas teh miliknya. Setelah beberapa saat, ia berkata dengan suara pelan, 'Kalau aku bilang, kamu janji tidak akan menganggapku aneh kan?'
Aku mengangguk sambil tersenyum, 'Janji. Aku bahkan siap kalau ternyata kamu dulunya anggota geng motor.'
Liya mendengus, 'Bukan yang kayak gitu bambang. Ini serius.'
Raut wajahnya berubah. Aku jadi ikut serius.
'Aku bisa mencium bau kematian.' katanya tanpa basa basi.
'Aku mengernyit, 'Maksudnya?'
'Setiap ada orang yang meninggal, aku bisa mencium baunya. Baunya seperti tanah basah, tapi bercampur sesuatu yang manis, susah dijelaskan.'
Aku tertawa kecil, 'Kalau bercanda tuh yang logis.'
Liya diam. Aku menatapnya, mencoba mencari tanda-tanda ia bercanda. Tapi ekspresinya serius. Persis, seperti ekspresi saat pertama kali aku melihatnya, tajam dan kosong.
'Jadi, kalau kamu bilang sibuk sendiri di akhir pekan itu...'
'Iya,' Liya memotong ucapanku, 'Sama seperti perkataanmu pernah bertemu denganku di pemakaman. Bukan karena aku kenal, tapi karena bau tanah basah itu. Aku tidak tahu kenapa, tapi aku merasa harus ke sana.'
Jantungku sedikit berdebar. Aku mencoba mengolah kata-katanya, tapi di otakku, sulit menemukan opsi respons yang tepat. Padahal aku seorang penulis. Aku mengehela nafas panjang. Akhirnya aku memilih, 'Oke. Ini sulit dipercaya'
'Sekarang kamu tahu kan, jadi aku tidak perlu pura-pura ada kegiatan lagi' kata Liya.
Tentu saja, aku masih belum bisa percaya. Orang macam apa yang bisa mencium kematian. Namun, aku melihat dengan mata kepalaku sendiri, bagaimana Liya berusaha meyakinkanku.

***

Berbulan-bulan bergelut dengan tumpukan catatan dan layar monitor, akhirnya skenario film layar lebar pertamaku selesai. Judulnya Pocong Pergi Pesta, sebuah horor komedi tentang pocong yang dulunya seseorang yang tidak pernah diundang ke pesta. Dia selalu bergentayangan di pesta-pesta ulang tahun, dengan outfit serba putih, tentunya.

Saat film itu tayang dan menjadi box office, rasanya seperti mimpi. Orang-orang membicarakannya di media sosial, mengulasnya di blog, bahkan ada yang mengirimkan pesan tentang betapa film itu membuat mereka tertawa sekaligus merinding. Tapi di balik semua itu, ada kekosongan yang menggema. Aku, penulisnya, merasa tidak puas.

'Hebat ya, sekarang kamu menjadi penulis terkenal' kata Liya lewat pesan singkatnya.
Aku membacanya dan tersenyum, hanya sebentar. Di dalam hatiku, aku bertanya-tanya, apakah benar aku bahagia? Aku rindu menulis dengan kebebasan, tanpa tekanan ekspektasi.
'Ini berkat kamu yang selalu ada di sampingku' jawabku menyertakan emot senyum dengan hati berwarna merah.

Sore itu, aku harus berangkat ke stasiun, pergi ke Jakarta untuk mendatangi promo film pertama yang mana aku sebagai penulisnya. Aku mengajak Liya membersamaiku hingga stasiun.

Perjalanan sore itu begitu dingin. Langit mendung menggantung berat, hujan kecil menetes lembut di kaca depan mobilku. Di sampingku ada Liya, perempuan yang sejak 2 tahun lalu secara ajaib hadir dalam hidupku. Kami tidak banyak bicara sejak tadi. Hanya deru hujan dan suara pelan jazz musik klasik dari radio yang menjadi pengisi keheningan.

Liya menatap keluar jendela. Hujan menetes di kaca, membentuk pola-pola acak yang indah, seperti cerita-cerita kecil yang tak pernah selesai. Aku meliriknya sesaat. Wajahnya tenang, tapi ada sesuatu di sana, sesuatu yang tak bisa ku uraikan, tajam dan kosong.
Liya berusaha membuka percakapan, 'Aku suka hujan' ucapnya memecah keheningan.
Aku tersenyum kecil, 'Kenapa?' tanyaku.
'Entahlah' jawabnya, 'Mungkin karena hujan selalu membuat segalanya terasa lebih pelan, lebih tenang.'
Aku mengangguk pelan. Hujan memang memiliki cara aneh untuk menenangkan jiwa. Tiba-tiba tangannya menggenggam lengan jaketku, sementara tatapannya tetap kosong memandang jalan basah yang dipenuhi genangan, memecah keheningan lagi.
'Aku suka aroma hujan' katanya
Aku meliriknya sekilas, 'Aroma tanah basah?'
'Iya, tapi bukan itu saja,' ia tersenyum tipis, menatap jauh ke luar jendela lagi, 'Aromanya, seperti membawa cerita lama. Tapi sekarang, rasanya aku membenci aroma itu.'

Aku mengangguk kecil. Liya memang sering berbicara tentang hal-hal abstrak, kadang juga menjadi inspirasi kutipan di setiap tulisanku. Aku hanya bisa tersenyum kecil waktu itu. Entah, tidak ada opsi respons di otakku.

Lalu, tiba-tiba, sebuah pikiran melintas di benakku: bagaimana jika hidup ini sebenarnya adalah cerita yang sedang ditulis seseorang? Bagaimana jika setiap peristiwa, setiap keputusan, adalah bagian dari plot besar yang tak bisa kita pahami sepenuhnya?
Aku menatap Liya. Di matanya, aku melihat masa depan yang tidak pernah kubayangkan sebelumnya. Aku melihat kami berjalan di pantai sambil menggandeng tangan mungil seorang anak. Aku melihat kami menua bersama, saling merawat satu sama lain.
'Liya' panggilku.
'Hm?'
'Aku ingin menikah denganmu.'
Dia terdiam. Matanya melembut, tapi ada sesuatu yang samar di balik sorotannya, 'Kamu serius?'
'Serius' jawabku tanpa ragu.
Dia menghela nafas, menunduk sejenak, lalu mengangkat wajahnya, 'Aku takut' katanya pelan.
'Takut apa?'
'Takut kehilangan.'
Aku mengernyit, 'Aku tidak ke mana-mana. Aku akan selalu ada di sini.'
Dia tersenyum kecil, tapi air mata mulai menggenang di sudut matanya, 'Hidup itu tidak pasti. Bagaimana jika semua ini hanya sementara?' katanya, 'Bisakah kamu tidak naik kereta itu?'
'Kenapa?' jawabku.
'Aku masih ingin bersamamu, kita jalan jalan aja yuk.' aku menarik tangannya, dan refleks memeluknya dengan erat.
'Oke' kataku, 'Apapun yang kamu mau.'

Aku memutuskan tidak jadi berangkat. Kami keluar dari mobil, berjalan menyusuri stasiun sore itu, berdua, di bawah payung warna biru tua, payung dengan warna yang sama dengan waktu kita pertama bertemu.
Di seberang jalan. Aku melihat penjual balon, bentuknya macam-macam, salah satunya berbentuk hati.
'Liya,' kataku tiba-tiba, 'Aku ingin balon itu'
Dia tertawa kecil, 'Kamu bercanda?'
'Serius. Tunggu di sini.'

Aku berlari ke arah jalan, ke arah tukang balon itu. Saat itulah, waktu terasa melambat. Aku mendengar suara klakson mobil mendekat, disusul teriakan seseorang.
Aku menoleh, melihat Liya yang berdiri di tepi jalan, wajahnya dipenuhi ketakutan.
Tapi terlambat, suara benturan keras memecah keheningan, lebih keras dari kebiasaanku menekan tombol 'enter',
Di akhir sebuah cerita.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun