Mohon tunggu...
Kael Faid
Kael Faid Mohon Tunggu... Penulis Cerpen

Penulis cerita fiksi

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Payung Biru Tua

26 Juli 2025   13:58 Diperbarui: 26 Juli 2025   13:58 47
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

'Kamu tahu?' katanya sambil menyeruput americano manis 'kalau setan juga mungkin punya hari buruk?'
Selain ide ceritanya yang liar, ide makanan dan minumannya juga liar. Aku penasaran ketika dia memesan americano manis, mungkin terjadi perdebatan dulu sebelum akhirnya barista menyetujui. Jauh sebelum itu, dia juga pernah memesan steak crispy.
'Bayangin, mereka nakutin orang, tapi orangnya malah ketawa' lanjut Arif.
Aku tertawa 'Itu ide yang menarik, contohnya apa? Setan punya punchline komedi?'
'Bisa jadi' jawabnya sambil tertawa 'Atau mungkin setannya takut sama manusia. Jadi mereka cuma pura-pura serem biar nggak diketawain'.

Percakapan kamu terus berlanjut dengan ide-ide yang makin absurd. Kami membayangkan sebuah rumah berhantu dimana hantu-hantunya terobsesi dengan media sosial, atau pocong yang marah karena orang-orang terus memotret tanpa izin.
Setelah beberapa jam, aku pulang dengan kepala penuh ide. Namun, sebelum aku bisa menulis apapun, Liya menghubungiku, memintaku untuk datang. Dia selalu punya cara unik untuk selalu membuatku merasa lebih baik, bahkan di saat aku merasa terbebani.
Kebetulan, Liya punya pekerjaan yang terbilang cukup asing. Dia bekerja sebagai asisten manajer sebuah perusahaan inovator makanan hewan. Dia sering menceritakan kejadian-kejadian unik di tempat kerjanya. Karena dia tahu, aku selalu mencatat keunikan yang ada di sekitarku dengan satu kalimat di notes.

Aku mampir ke rumahnya, katanya, dia punya cerita lucu yang harus kudengarkan langsung.
'Percaya atau tidak,'' sambutnya tanpa basa-basi, sambil tersenyum, 'aku harus menciptakan rasa ayam panggang yang bisa membuat kucing merasa seperti bangsawan'.
Aku mengerutkan kening 'Itu tidak masuk akal'.
'Tapi itu yang diminta bosku' jawabnya sambil tertawa 'Jadi, si bos memintaku harus menciptakan rasa makanan yang tidak cuma sehat, tapi juga menggugah selera mereka. Dan masalahnya, aku tidak punya cara untuk bertanya ke kucing, 'Rasanya gimana, nih?'
Aku tertawa, 'Lalu gimana caranya?'
'Yah, aku harus mencicipinya sendiri' jawab Liya dengan nada santai.
'Serius?' aku hampir tersedak teh hangat yang kuminum malam itu.
'Serius. Dan bukan cuma aku. Kamu juga pernah bantu aku jadi taster, ingat?'
Aku langsung teringat pengalaman itu, ketika Liya menyerahkan semangkuk kecil pasta basah berwarna abu-abu. 'Coba ini, rasanya mirip tuna panggang belum?' katanya waktu itu.
'Kalau aku trauma, kamu tanggung jawab' balasku.

Pekerjaan Liya sebagai 'perancang rasa' untuk makanan hewan peliharaan selalu menjadi sumber tawa. Dia sering bercerita tentang eksperimen-eksperimen aneh, seperti menciptakan rasa durian untuk makanan hamster.
Malam itu, saat aku mulai menulis, ide-ide yang kubahas dengan Arif dan cerita-cerita aneh dari Liya mulai bercampur dalam kepalaku. Aku memutuskan untuk membuat cerita tentang sebuah desa kecil yang dihuni oleh hantu-hantu gagal, hantu-hantu yang tidak bisa menakut-nakuti siapapun. Sebaliknya, mereka justru selalu membuat manusia tertawa.
Misalnya, ada satu karakter pocong yang mencoba meloncat dengan anggun tapi selalu tersandung kainnya sendiri. Atau kuntilanak yang ketakutan saat melihat manusia membawa kipas angin, mengira itu senjata pemusnah hantu.
Saat aku menceritakan konsep itu ke Liya, dia tertawa terbahak-bahak, 'Kamu tahu, itu seperti versi horor dari hidupku. Kadang aku juga merasa seperti pocong yang tidak bisa meloncat'
Aku tertawa, 'Tapi kamu tetap berhasil membuat segalanya jadi lebih menyenangkan, sayang'
Liya tersipu malu, jarang sekali aku memanggilnya dengan 'sayang', 'Gombal ih' katanya, sambil memalingkan wajahnya, pipinya berwarna merah.

***

Setiap akhir pekan, kami masih menyempatkan diri meluangkan waktu bersama. Tergantung kondisi, terkadang kami hanya duduk di teras, berbicara apa saja, atau hanya menikmati keheningan.  Malam itu, lampu kuning menerangi halaman yang basah sisa hujan sore. Nyamuk mengitari gelas teh hangat di atas meja kecil. Liya duduk di depanku, jemarinya bermain dengan rambut yang tergerai ke bahunya.

Entah bagaimana, obrolan malam itu, membawa kami ke wilayah rahasia masing-masing. Aku mengaku pernah menghilangkan tupperware ibunya. Liya tertawa, lalu mengaku pernah menyembunyikan sandal baru milik kakaknya hanya karena iri.
'Tidak ada yang lebih rahasia lagi?,' kataku sambil nyengir, 'yang bisa bikin aku kaget.'
Liya terdiam. Ia menatapku sejenak, lalu memandang gelas teh miliknya. Setelah beberapa saat, ia berkata dengan suara pelan, 'Kalau aku bilang, kamu janji tidak akan menganggapku aneh kan?'
Aku mengangguk sambil tersenyum, 'Janji. Aku bahkan siap kalau ternyata kamu dulunya anggota geng motor.'
Liya mendengus, 'Bukan yang kayak gitu bambang. Ini serius.'
Raut wajahnya berubah. Aku jadi ikut serius.
'Aku bisa mencium bau kematian.' katanya tanpa basa basi.
'Aku mengernyit, 'Maksudnya?'
'Setiap ada orang yang meninggal, aku bisa mencium baunya. Baunya seperti tanah basah, tapi bercampur sesuatu yang manis, susah dijelaskan.'
Aku tertawa kecil, 'Kalau bercanda tuh yang logis.'
Liya diam. Aku menatapnya, mencoba mencari tanda-tanda ia bercanda. Tapi ekspresinya serius. Persis, seperti ekspresi saat pertama kali aku melihatnya, tajam dan kosong.
'Jadi, kalau kamu bilang sibuk sendiri di akhir pekan itu...'
'Iya,' Liya memotong ucapanku, 'Sama seperti perkataanmu pernah bertemu denganku di pemakaman. Bukan karena aku kenal, tapi karena bau tanah basah itu. Aku tidak tahu kenapa, tapi aku merasa harus ke sana.'
Jantungku sedikit berdebar. Aku mencoba mengolah kata-katanya, tapi di otakku, sulit menemukan opsi respons yang tepat. Padahal aku seorang penulis. Aku mengehela nafas panjang. Akhirnya aku memilih, 'Oke. Ini sulit dipercaya'
'Sekarang kamu tahu kan, jadi aku tidak perlu pura-pura ada kegiatan lagi' kata Liya.
Tentu saja, aku masih belum bisa percaya. Orang macam apa yang bisa mencium kematian. Namun, aku melihat dengan mata kepalaku sendiri, bagaimana Liya berusaha meyakinkanku.

***

Berbulan-bulan bergelut dengan tumpukan catatan dan layar monitor, akhirnya skenario film layar lebar pertamaku selesai. Judulnya Pocong Pergi Pesta, sebuah horor komedi tentang pocong yang dulunya seseorang yang tidak pernah diundang ke pesta. Dia selalu bergentayangan di pesta-pesta ulang tahun, dengan outfit serba putih, tentunya.

Saat film itu tayang dan menjadi box office, rasanya seperti mimpi. Orang-orang membicarakannya di media sosial, mengulasnya di blog, bahkan ada yang mengirimkan pesan tentang betapa film itu membuat mereka tertawa sekaligus merinding. Tapi di balik semua itu, ada kekosongan yang menggema. Aku, penulisnya, merasa tidak puas.

'Hebat ya, sekarang kamu menjadi penulis terkenal' kata Liya lewat pesan singkatnya.
Aku membacanya dan tersenyum, hanya sebentar. Di dalam hatiku, aku bertanya-tanya, apakah benar aku bahagia? Aku rindu menulis dengan kebebasan, tanpa tekanan ekspektasi.
'Ini berkat kamu yang selalu ada di sampingku' jawabku menyertakan emot senyum dengan hati berwarna merah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun