Sore itu, aku harus berangkat ke stasiun, pergi ke Jakarta untuk mendatangi promo film pertama yang mana aku sebagai penulisnya. Aku mengajak Liya membersamaiku hingga stasiun.
Perjalanan sore itu begitu dingin. Langit mendung menggantung berat, hujan kecil menetes lembut di kaca depan mobilku. Di sampingku ada Liya, perempuan yang sejak 2 tahun lalu secara ajaib hadir dalam hidupku. Kami tidak banyak bicara sejak tadi. Hanya deru hujan dan suara pelan jazz musik klasik dari radio yang menjadi pengisi keheningan.
Liya menatap keluar jendela. Hujan menetes di kaca, membentuk pola-pola acak yang indah, seperti cerita-cerita kecil yang tak pernah selesai. Aku meliriknya sesaat. Wajahnya tenang, tapi ada sesuatu di sana, sesuatu yang tak bisa ku uraikan, tajam dan kosong.
Liya berusaha membuka percakapan, 'Aku suka hujan' ucapnya memecah keheningan.
Aku tersenyum kecil, 'Kenapa?' tanyaku.
'Entahlah' jawabnya, 'Mungkin karena hujan selalu membuat segalanya terasa lebih pelan, lebih tenang.'
Aku mengangguk pelan. Hujan memang memiliki cara aneh untuk menenangkan jiwa. Tiba-tiba tangannya menggenggam lengan jaketku, sementara tatapannya tetap kosong memandang jalan basah yang dipenuhi genangan, memecah keheningan lagi.
'Aku suka aroma hujan' katanya
Aku meliriknya sekilas, 'Aroma tanah basah?'
'Iya, tapi bukan itu saja,' ia tersenyum tipis, menatap jauh ke luar jendela lagi, 'Aromanya, seperti membawa cerita lama. Tapi sekarang, rasanya aku membenci aroma itu.'
Aku mengangguk kecil. Liya memang sering berbicara tentang hal-hal abstrak, kadang juga menjadi inspirasi kutipan di setiap tulisanku. Aku hanya bisa tersenyum kecil waktu itu. Entah, tidak ada opsi respons di otakku.
Lalu, tiba-tiba, sebuah pikiran melintas di benakku: bagaimana jika hidup ini sebenarnya adalah cerita yang sedang ditulis seseorang? Bagaimana jika setiap peristiwa, setiap keputusan, adalah bagian dari plot besar yang tak bisa kita pahami sepenuhnya?
Aku menatap Liya. Di matanya, aku melihat masa depan yang tidak pernah kubayangkan sebelumnya. Aku melihat kami berjalan di pantai sambil menggandeng tangan mungil seorang anak. Aku melihat kami menua bersama, saling merawat satu sama lain.
'Liya' panggilku.
'Hm?'
'Aku ingin menikah denganmu.'
Dia terdiam. Matanya melembut, tapi ada sesuatu yang samar di balik sorotannya, 'Kamu serius?'
'Serius' jawabku tanpa ragu.
Dia menghela nafas, menunduk sejenak, lalu mengangkat wajahnya, 'Aku takut' katanya pelan.
'Takut apa?'
'Takut kehilangan.'
Aku mengernyit, 'Aku tidak ke mana-mana. Aku akan selalu ada di sini.'
Dia tersenyum kecil, tapi air mata mulai menggenang di sudut matanya, 'Hidup itu tidak pasti. Bagaimana jika semua ini hanya sementara?' katanya, 'Bisakah kamu tidak naik kereta itu?'
'Kenapa?' jawabku.
'Aku masih ingin bersamamu, kita jalan jalan aja yuk.' aku menarik tangannya, dan refleks memeluknya dengan erat.
'Oke' kataku, 'Apapun yang kamu mau.'
Aku memutuskan tidak jadi berangkat. Kami keluar dari mobil, berjalan menyusuri stasiun sore itu, berdua, di bawah payung warna biru tua, payung dengan warna yang sama dengan waktu kita pertama bertemu.
Di seberang jalan. Aku melihat penjual balon, bentuknya macam-macam, salah satunya berbentuk hati.
'Liya,' kataku tiba-tiba, 'Aku ingin balon itu'
Dia tertawa kecil, 'Kamu bercanda?'
'Serius. Tunggu di sini.'
Aku berlari ke arah jalan, ke arah tukang balon itu. Saat itulah, waktu terasa melambat. Aku mendengar suara klakson mobil mendekat, disusul teriakan seseorang.
Aku menoleh, melihat Liya yang berdiri di tepi jalan, wajahnya dipenuhi ketakutan.
Tapi terlambat, suara benturan keras memecah keheningan, lebih keras dari kebiasaanku menekan tombol 'enter',
Di akhir sebuah cerita.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI