Mohon tunggu...
Kael Faid
Kael Faid Mohon Tunggu... Penulis Cerpen

Penulis cerita fiksi

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Payung Biru Tua

26 Juli 2025   13:58 Diperbarui: 26 Juli 2025   13:58 48
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Awalnya aku memang penasaran dengan misteri kebetulan Liya. Tapi aku sudah lupa, kita malah semakin sering bertukar cerita di balon percakapan Instagram. Keluarga, keseharian, hobi, menjadi topik pembicaraan yang tidak ada habisnya. Untungnya misteri itu masih belum terungkap, jika sudah, cerita ini yang akan habis.

Ternyata, kami punya banyak kesamaan. Seperti menonton youtube dengan resolusi 144p, suka ngemil timun, dua puluh empat jam terasa lambat jika kita sudah membahas itu. Liya adalah perempuan yang selalu membawa aroma segar hujan, entah dari mana asalnya. Kami mulai sering berbicara, saling berbagi cerita, dan aku mulai menyadari bahwa dia adalah inspirasi yang tak pernah kucari tapi selalu kubutuhkan.

Waktu itu, aku masih belum punya pekerjaan tetap. Meskipun sudah pernah menerbitkan dua novel, tapi komisi yang ku dapat tidak seberapa. Hanya sepuluh persen dari setiap satu buku yang terjual. 'Molen Merah', judul novelku yang pertama, menceritakan tokoh utama bernama Molen yang menjadi pemarah setelah dibully teman-temannya akibat suka pakai daleman gambar spongebob hingga dia kuliah.

Hidupku masih bergantung pada orang tua dan sedikit tabunganku. Ketika weekend, pemeran utama dunia ini adalah Aku dan Liya. Dia selalu punya ide cute date yang disimpannya setiap scroll TikTok.
'Makan di sini enak kali ya?' tanya Liya, mengirim link video.
'Boleh' jawabku spontan tanpa pikir panjang.
Semua cute date sudah kami lakukan. Seperti makan es krim, yang rasanya asin, menonton bioskop, menonton pertunjukan komedi, dan lainnya.
'Siapa komika yang tampil hari ini?' tanyaku basa-basi, sebenarnya aku sudah tahu.
Membuka jadwal di handphone 'Dani teler' jawabnya.

Terkadang, kami juga hanya nongkrong di cafe. Liya keracunan membaca novel. Dia menyelami perasaan sambil memegang novel di tangannya, setia menemaniku yang sedang menggebu-gebu untuk menulis. Sesekali, aku berdiri dan pergi ke toilet cafe, saat pikiranku sedang bertengkar dengan kebingungannya. Itu bisa sedikit membantuku.

Liya selalu menjadi teman curhatku. Brainstorming, membaca note-note di hpku, dia sering memberikan ide menulis untukku. Saat hari sedang berpihak padaku, dua cerita bisa kutulis sekaligus. Saat hari buruk, tidak ada ide cerita sama sekali. Meski begitu, aku tidak merasa rugi, bisa menghabiskan waktu bersama Liya.

Aku pernah memperlihatkan kebiasaanku, setiap kali selesai menulis cerita, tepat akhir cerita tersebut. Aku memencet tombol 'enter' sekeras mungkin hingga terdengar pengunjung lainnya.
'Kenapa harus sekeras itu?' tanya Liya.
'Biar puas aja,' kataku, nyengir lebar.
'Aneh' kata Liya.
'Itulah penulis,' kataku.

Sudah 9 bulan, aku dan Liya saling mengenal. Cinta muncul tanpa rambu-rambu. Udara sore itu terasa hujan akan turun. Kami yang sedang duduk manis di cafe, segera berdiri, beranjak pulang. Benar saja, belum ada seratus meter dari cafe, hujan turun, gerimis, tapi lebat. Kami berteduh di warung bambu pinggir jalan yang sudah tutup sore itu. Baju kami basah, tapi anehnya, kami merasa hangat. Disaat inilah, cinta turun di bawah rintik hujan.
'Aku sayang kamu' kataku.
'Aku juga' jawabnya.

***

Seperti video youtube dengan resolusi 144p, awalnya hidupku terasa buram. Tidak punya teman, apalagi sahabat. Tapi jika ditonton sambil tidur, semua keburaman itu tidak akan terasa. Tiba-tiba sudah setahun aja, kami menjalani hubungan. Yang awalnya terasa 144p, sekarang terasa 4k, karena semua masa depanku terlihat lebih nyata.

Pada saat yang sama, aku terbangun di suatu pagi dengan ponsel berdering, sebuah pesan dari production house. Mereka ingin aku menulis skenario film layar lebar dengan genre horor komedi, karena memang genre itu yang sedang laku. Bahagia? Tentu saja. Tapi segera setelah itu, rasa bingung menyergap. Aku belum pernah menulis cerita dengan genre horor sebelumnya. Apalagi horor komedi, itu seperti memadukan ketakutan dengan tawa dalam satu piring, dan aku tidak tahu apakah aku punya bumbu yang tepat untuk itu.
Sore itu, aku mengajak Arif, teman lamaku di komunitas menulis, dia yang selalu punya ide-ide liar. Aku mengajaknya brainstorming di sebuah cafe yang biasa aku tempati saat ngedate bersama Liya. Arif adalah tipe orang yang bisa membuat hal paling menakutkan terdengar lucu, jadi kupikir dia adalah partner yang sempurna untuk diskusi ini.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun