Mohon tunggu...
Fahrurozi Umi
Fahrurozi Umi Mohon Tunggu... Penulis - Alumni Fakultas Ushuluddin, Jurusan Tafsir, Universitas al-Azhar, Kairo, Mesir.

Penulis pernah menempuh pendidikan Sekolah Dasar di MI al-Khairiyyah, Panecekan. Dan melanjutkan ke tingkat Sekolah Menengah Pertama di Mts al-Khairiyyah, Panecekan. Kemudian meneruskan jenjang studi di Pondok Pesantren Modern Assa'adah, Cikeusal. Dan penulis lulus dari Universitas al-Azhar, Kairo pada tahun 2022.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Nikah Beda Agama, antara Tren dan Syariat

20 Januari 2020   05:21 Diperbarui: 20 Januari 2020   05:38 551
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Disebutkan dalam Majmu' Imam Zaid dari Ali bahwa beliau membenci perkawinan dengan wanita harbiyyah. Pensyarah kitab tersebut dalam Ar-Raudh an-Nadhir berkata, "Yang dimaksud dengan al-karahah (kemakruhan/kebencian) di sini ialah haram, karena mereka tidak termasuk ahli dzimmah yang tunduk kepada umat lslam. Dan suatu kaum mengatakan makruh dan tidak mengharamkannya berdasarkan keumuman ayat:

"... dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan dan orang-orang yang diberi al-kitab sebelum kamu."

Jadi, mereka lebih mengutamakan bunyi teks Al-Qur'an dari pada negeri yakni negeri Islam." (Lihat: ar-Raudh an-Nadhir. Jilid: 4, Hlm: 270-274).

Ahli Kitab yang menjadi penduduk negeri lslam berbeda dengan yang bukan penduduk Darul Islam/negeri Islam. Orang yang mau berpikir dan merenungkan niscaya ia akan melihat bahwa pendapat Ibnu Abbas ini merupakan pendapat yang cemerlang dan kuat, karena Allah telah menjadikan persemendaan/peratalian keluarga karena kawin dengan anggota suatu kaum. ini sebagai hubungan paling kuat di antara manusia, karena akan melahirkan hubungan nasab dan darah. Oleh karena itu, Allah berfirman:

"Dan Dia pula yang menciptakan manusia dari air, lalu Dia jadikan manusia itu punya keturunan dan Mushaharah..." (QS. al-Furqan : 54).

Mushaharah artinya hubungan kekeluargaan yang berasal dari perkawinan seperti menantu, ipar, dan sebagainya.

Karena itu, bagaimana mungkin hubungan ini atan terjadi antara umat Islam dengan orang-orang yang menentang dan memerangi mereka bagimana mungkin akan diperbolehkan orang muslim bersemenda dengan mereka yang kemudian dari persemendaan ini akan lahir anak dan cucu, paman dan bibi ? Apalagi yang menjadi isteri, pengatur rumah tangga, dan ibu anak-anaknya itu dari golongan yang memerangi kaum muslimin itu ? Bagaimana mungkin akan dijamin aman bahwa ia tidak mencari-cari kekurangan umat Islam dan rahasia mereka lalu menginformasikannya kepada kaumnya ?.

Maka tidaklah mengherankan bila kita lihat al-Allamah Abu Bakar ar-Razi al-Hanafi cenderung menguatkan pendapat Ibnu Abbas, dengan mengemukakan alasan firman Allah:

"Kamu tidak akan mendapti suatu kaum yang beriman kepada Allah dan hari akhir saling berkasih sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya..." (QS. al-Mujadalah: 22).

Bukankah dalam perkawinan kita dituntut untuk saling memberi kasih sayang ?. Allah berfirman:

"Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri: dari jenismu sendiri supaya kamu cenderung dan merasa tentram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih sayang..." (QS. ar-Rum: 21).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun