Mohon tunggu...
Fahrurozi Umi
Fahrurozi Umi Mohon Tunggu... Penulis - Alumni Fakultas Ushuluddin, Jurusan Tafsir, Universitas al-Azhar, Kairo, Mesir.

Penulis pernah menempuh pendidikan Sekolah Dasar di MI al-Khairiyyah, Panecekan. Dan melanjutkan ke tingkat Sekolah Menengah Pertama di Mts al-Khairiyyah, Panecekan. Kemudian meneruskan jenjang studi di Pondok Pesantren Modern Assa'adah, Cikeusal. Dan penulis lulus dari Universitas al-Azhar, Kairo pada tahun 2022.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Nikah Beda Agama, antara Tren dan Syariat

20 Januari 2020   05:21 Diperbarui: 20 Januari 2020   05:38 551
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pendapat itulah yang saya (Ibnu Katsir) pilih. Tidak boleh lelaki muslim kawin dengan wanita yang menyerahkan kendalinya kepada sembarang laki-laki. Bahkan wanita yang hendak dikawini itu waiib yang lurus, bersih, dan jauh dari kesamaran (syubhat) . "

Demikianlah pendapat yang dipilih Ibnu Katsir, dan beliau sebutkan bahwa itu adalah pendapat Jumhur, seraya berkata, "Inilah yang lebih cocok, agar tidak tejadi kesamaran pada dirinya, di satu sisi ia sebagai wanita dzimmi dan pada sisi lain sebagai wanita yang tidak menjaga kehormatannya, sehingga rusaklah keadaannya secara keseluruhan, dan si suami keadaannya seperti kata peribahasa: mendapat kurma yang jelek dan takaran yang buruk (mendapatkan dua kejelekan sekaligus)." (Lihat: Tafsir al-Qur'an al-Azhim. Jilid: 2. Hlm: 20).

Imam Hasan al-Bashri pernah ditanya seseorang, "Bolehkah seorang lelaki muslim kawin dengan wanita Ahli Kitab ?" Beliau menjawab, "Ada apa antara dia dan Ahli Kitab, padahal Allah telah memperbanyak jumlah wanita muslimah ? Kalau ia tidak dapat menghindar, maka carilah yang menjaga kehormatannya, bukan pezina/musafihah." Lelaki itu lantas bertanya, "Apakah musafihah itu ?" Beliau menjawab, "yaitu wanita yang apabila ada laki-laki yang mengedipkan matanya (baca: berisyarat) dia lantas mengikutinya."

Tak diragukan lagi bahwa wanita yang menjaga kehormatannya ini di negara-negara Barat sekarang jarang sekali didapatkan, bahkan dianggap ganjil, sebagaimana dikemukakan dalam tulisan-tulisan dan pengakuan-pengakuan orang-orang Barat sendiri.

Apa yang kita namakan dengan keperawanan, kesopanan, peniagaan diri, kehormatan, dan sebagainya tidak ada nilainya sama sekali dalam pandangan masyarakat Barat. Wanita yang tidak mempunyai teman kencan laki-laki akan dicela oleh anak-anak sebayanya, bahkan oleh keluarga dan orang-orang yang dekat dengannya.

3. Wanita tersebut bukan dari kalangan kaum yang memusuhi dan memerangi umat Islam. Sehubungan dengan ini, segolongan pakar Fikih membedakan antara wanita dzimmiyah dan harbiyyah. Terhadap wanita Ahli Kitab dzimmiyah (yang tunduk dan tidak memerangi kaum muslimin) para pakar Fikih memperbolehkan mengawininya, sedang terhadap wanita harbiyah (kalangan yang memusuhi dan memerangi kaum muslim) mereka tidak memperbolehkan mengawininya. Pendapat ini dikemukakan oleh Ibnu Abbas, tuturnya, "Di antara wanita Ahli Kitab ada yang halal bagi kita untuk mengawininya dan ada yang tidak halal. Kemudian beliau membaca ayat:

"Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan tidak pula kepada hari kemudian dan mereka tidah mengharamkan apa yang telah diharamkan oleh Allah dan Rasul-Nya dan tidak beragama dengan agama yang benar (agama Allah), yaitu orang-orang yang diberikan al-Kitab kepda mereka, rehingga mereka membayar jizyah dengan patuh sedang mereka dalam keadaan tunduk." (QS. At-Taubah: 29)

Demikianlah, barangsiapa yang mau membayar jizyah, halal bagi kita untuk mengawini wanita-wanitanya; dan barangsiapa yang tidak mau membayar Jizyah, maka tidak halal bagi kita mengawini mereka.

Pendapat lbnu Abbas ini pernah disampalkan kepada Ibrahim An-Nakha'i, salah seorang ahli Fikih dan Imam Kufah, lalu beliau tertarik kepadanya. (Lihat: Tafsir ath-Thabari, Jilid: 9. Hlm: 788. Tahkik: Muhammad Syakir, Cet: Dar al-Ma'arif, Kairo).

Diriwayatkan oleh Abdur Razzaq dalam Mushannaf-nya dari Qatadah, beliau berkata, "Tidak boleh dinikahi wanita ahli Kitab melainkan yang ada perjanjian damai dengan kaum muslimin."

Pendapat seperti ini diriwayatkan pula dari Ali r.a. Dan diriwayatkan juga dari Ibnu Juraij, beliau berkata, "Telah sampai kabar kepadaku bahwa tidak boleh dinikahi wanita Ahli Kitab kecuali yang ada perjanjian damai dengan umat Islam."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun