Mohon tunggu...
Fadzul Haka
Fadzul Haka Mohon Tunggu... Wiraswasta - Follow Thyself!

Wirausahawan yang menyamar jadi penulis. Di samping tulis-menulis dan berdagang, saya mengaktualisasikan gelar Sarjana psikologi dengan merintis riset mengenai dramatherapy dan poetry therapy secara otodidak. Nantikan tulisan saya lainnya: Cerpen dan Cerbung Jum'at; Puisi Sabtu; dan Esai Minggu. Saya senang jika ada kawan diskusi, jadi jangan sungkan-sungkan menghubungi saya: email: moch.fariz.dz13@gmail.com WA: 081572023014

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Sifr

15 Mei 2020   20:04 Diperbarui: 15 Mei 2020   20:05 129
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Semua suara dan sensasi-sensasi yang sebelumnya terasa merayap dalam diriku kini sudah tidak ada lagi. Sepi. Aku tidak berada di mana pun. Ternyata aku tidak bisa tinggal lagi bersama mereka, atau melihat mayatku sendiri. Siapa yang kutunggu, kuharap aku memiliki sebuah koin yang setidaknya dapat menebak apakah setan atau malaikat yang datang menjemputku.

Aku berharap memiliki jam tangan, jam pasir, bahkan si mesin berbunyi bip monoton yang terakhir menemaniku, asalkan ada semacam bunyi langkah-langkah jarum jam supaya kutahu berapa lama penantian ini. Kuharap aku bisa tidur, atau haruskah aku menyanyikan The Spirit Carries On, tetapi untuk siapa?

Tidak ada jiwa para atheis yang bisa kusindir, “That after we gone… spirit carries on… kalian dengar itu wahai atheis, spirit carries on!” Jadi kupikir alam ini bukanlah limbo atau semacamnya, bukan nirwana, mungkinkah alam kubur yang personal? Tidak, kurasa ini adalah keinginan terakhirku, ya, aku yakin sebelumnya aku menginginkan dua hal; setelah mati jiwa itu ada, terjawabnya pertanyaan “Where do we go when we die?”; ketiadaan sejati, sifr?

 Apakah penjahat yang yakin dirinya akan masuk surga, percaya pada adanya surga dan neraka, setelah mati Tuhan mengabulkan keinginan mereka? Bahwa dia akan masuk surga, pada akhirnya, tetapi terlebih dahulu ada neraka yang mesti dilalui. Satu hal yang pasti, menurutku, hampir semua orang menginginkan kesadaran mereka tetap ada, termasuk ketika aku menginginkan ketiadaan sejati yang seharusnya tidak bisa disadari sama sekali.

Barangkali kecemasan terhadap fananya keberadaan kita itulah yang mengantar pada keinginan dan keyakinan bahwa jiwa, kesadaran, dapat bertahan setelah kematian terjadi. Kini aku sadar, aku berada di dalam angka nol.

Kehampaan mengepung diriku yang tak bersosok, dalam dunia yang seakan-akan menginduksi klaustrofobia, di saat yang sama mustahil bagiku untuk mencapai ujung-ujungnya. Aku mencoba mengembara di alam kehampaan ini, benar-benar sendirian, mungkin seperti inilah jadinya bila kita mencoba menyelam di titik terdalam palung Mariana.

Sedih rasanya, bahwa tidak ada jiwa lain yang bisa kujumpai, bahkan aku tidak tahu bagaimana caranya berkomunikasi dengan Tuhan, di sini alam yang semestinya paling dekat dengan diri-Nya. Mungkin. Jangan-jangan perkiraanku salah, ya itu bisa saja, benar juga pasti begitu. 

Jangan-jangan ini adalah sebuah permainan yang disediakan Tuhan bagi semua manusia, bahwa mereka harus mencari sesamanya agar bisa kembali kepada-Nya. Bayangkan permainan ini seperti saat mata kita ditutup dan kita berusaha menemukan orang yang memanggil-manggil kita. 

Kurasa aku bisa menebak aturan mainnya, bahwa penjahat diberi gaya tarik magnetis yang membuat mereka cenderung menemukan sesama penjahat, sementara orang saleh lebih mungkin bertemu orang saleh lainnya.

Tetapi jika seseorang tidak berada di salah satu ekstrem tersebut, kurasa ini menjadi masalah keberuntungan semata, seperti diriku yang tidak merasakan gaya tarik magnetis tersebut. Namun, aku harus yakin, aku bisa menemukan jalan keluar dan di sanalah Tuhan sesungguhnya berada dan menanti kita.

“Sifr.” Kata itu bergema, entah dari dalam diriku atau dari kehampaan yang tidak terbatas. Aku yakin aku harus berkonsentrasi menemukan jiwa-jiwa lainnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun