Mohon tunggu...
Fadzul Haka
Fadzul Haka Mohon Tunggu... Wiraswasta - Follow Thyself!

Wirausahawan yang menyamar jadi penulis. Di samping tulis-menulis dan berdagang, saya mengaktualisasikan gelar Sarjana psikologi dengan merintis riset mengenai dramatherapy dan poetry therapy secara otodidak. Nantikan tulisan saya lainnya: Cerpen dan Cerbung Jum'at; Puisi Sabtu; dan Esai Minggu. Saya senang jika ada kawan diskusi, jadi jangan sungkan-sungkan menghubungi saya: email: moch.fariz.dz13@gmail.com WA: 081572023014

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Sifr

15 Mei 2020   20:04 Diperbarui: 15 Mei 2020   20:05 129
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Di sinilah aku terbaring menanti akhir dunia. Kuharap saat ini aku bisa mendengarkan lagu The Spirit Carries On daripada bunyi bip-bip-bip monoton yang menghitung mundur sisa hidupku. Aku kalah bertarung melawan penyakit dan penuaan, sesuatu yang tidak heroik menurutku bila mengingat kembali masa-masa muda. Dulu aku berjuang untuk mencari ‘harta karun’ bernama raison de l'être dengan menyelami misteri atas keberadaanku sendiri.

Seperti yang dinyanyikan oleh James LaBrie, “Where did we come from? Why are we here? Where do we go when we die?”

Kini adalah waktuku untuk mengetahui pertanyaan yang terakhir itu. Masalahnya, apakah jiwa itu benar-benar ada, sebab ilmu pengetahuan kita belum punya jawaban yang konklusif atas eksistensi jiwa. Seandainya bila engkau yang terbaring di sini, bisakah kau dengar desis seperti es di sekujur tubuhmu? Coba dengarkan baik-baik, bagaimana kecemasan akan mortalitas memanggil kita.

Tiba-tiba aku merasa lucu, membayangkan apakah nanti jiwaku akan melayang keluar kemudian melihat mayatku sendiri yang letih dan pucat seperti manekin porselen.

Lalu bagaimana aku bisa tahu ke mana harus pergi, apakah nanti aku akan mengikuti orang-orang yang akan mengebumikan jenazahku sebagai hantu? Haruskah aku ikut menangis atau apa, maksudku aku jika benar begitu, aku masih bersama mereka hanya saja terhalang oleh tabir dimensi.

Atau jangan-jangan jiwa kita langsung tiba di dunianya setan dan malaikat, yang mana salah satu entitas tersebut berlomba-lomba untuk menemui kita, mereka adalah tour guide sekaligus calo pemberi tiket ke surga atau neraka.

Jujur saja, untuk saat ini, aku ingin meyakini kemungkinan yang pertama, aku tetap bagian dari dunia ini hanya saja berada di ‘balik cermin’. Seperti keyakinan Buddhisme Jepang zaman kuno, segala yang terlihat ini tak lain tak bukan adalah Buddha, bahkan menurut mereka ranjang yang kutempati ini, cairan infus, sampai mesin pemeriksa denyut nadi yang membosankan itu, dihuni oleh Buddha.

Tetapi apapun keyakinanmu tentang alam setelah kematian, terlepas mana yang merupakan kebenaran, sekarang ini tidak lebih daripada plasebo. Sekedar keyakinan untuk meringankan kecemasan yang menggetarkan dari akar saraf hingga pucuk bulu kuduk.

Ngomong-ngomong, sampai detik ini ada satu pemikiran tentang alam setelah kematian yang paling menggodaku: ketiadaan sejati. Jam dan kalender dalam benakku berjalan mundur, kembali ke hari-hari di mana teori itu tercatat dalam kepustakaan wawasanku.

Percaya atau tidak, teori yang menyentuh batinku itu kudapatkan bukan dari alam pikiran kaum Buddhis, bukan pula dari seorang petapa yang ‘tercerahkan’, atau sufi dan mistikus semacamnya. Orang-orang gilalah yang mengajariku teori tersebut, semua ini dimulai dengan keisengan untuk menanyai orang gila di jalan.

“Tuhan itu apa?” Tanyaku pada seorang pria paruh baya yang bertelanjang dada, kotoran yang melapisi kulitnya nyaris seperti oli bekas, sementara rambut gimbalnya yang agak beruban dan acak-acakan mengingatkanku pada sarang burung walet.

Orang gila ini belum menjawab, dia duduk bersandar pada sebuah tiang listrik dengan kepala yang didongakan ke arah matahari. Mungkin dia melihat Apollo atau Ra sedang berbicara padanya lewat sinar siang menjelang petang. Lama-kelamaan bagiku dia terlihat seperti Diogenes.

“Katanya tulang tahu dia Tuhan, juga tong tahu Tuhan itu… Dua-duanya benar.” Begitulah katanya seingatku, sebab dia berbicara dengan cepat kemudian kembali melamun seolah-olah cuma ada dirinya dan Apollo atau mungkin Ra yang mengintip dari matahari.

Keisenganku tiba-tiba surut, aku tidak tertarik lagi untuk mengganggu semedinya. Namun sebersit intuisi menoros ke dalam benakku demi mengantarkan sebuah makna untuk kata-kata gila tadi.

Mungkin yang dia maksud bukan benda tulang, tetapi seperti tong yang hanya mengenal kosong atau isi. Bukankah di dalam tulang keduanya, baik kosong dan isi, ada dan tiada saling berdampingan, menjadi kesatuan yang kita nyatakan sebagai ‘rongga’?

Mungkin dalam pikiran gilanya, orang itu dibawa masuk ke dalam tulang, tumbuh menjadi jaringan dalam tulang yang tak mungkin mengisi tulang sepenuhnya. Dia menyaksikan peristiwa penciptaan, dari tiada menjadi ada. Dengan demikian, kupikir Tuhan itu bisa isi, bisa juga kosong, bisa juga bukan keduanya.... sekaligus keduanya?

Tak dinyana suara tawa mania tiba-tiba membawaku kembali ke kenyataan, rupanya aku sudah berjalan cukup jauh selama berpikir, ketika kutengok dari mana asalnya suara tawa tersebut tidak ada kepastian. Orang gila itu sudah tak ada di tempatnya, mungkin dia pergi ke suatu gang, atau menyebrang, atau bersembunyi di suatu tempat. Yang pasti dia akan selalu ada di dalam pikiranku.

Nyatanya, sampai sekarang dia memang tinggal dalam kepalaku, menjengukku bersama orang-orang gila lainnya yang pernah kuwawancarai dengan pertanyaan serupa. Tuhan itu apa? Mereka semua berbagi jawaban serupa, “Tuhan itu ruangan… Tuhan itu kosong.”

 Namun di antara mereka yang menyadarkanku pada kesimpulan itu tersebut adalah wanita gila yang dijuluki ‘wewe gombel’ oleh warga sekitar, tentunya karena dia memiliki payudara seperti buah pepaya, belum lagi dia selalu wara-wiri di sekitar area pemakaman. Oh, nyai Wewe Gombel, mudah-mudahan kau berziarah ke makamku nanti.

Tidak seperti orang gila lain yang menjawab dengan melantur dan teka-teki yang obscure, nyai Wewe Gombel menjawab sambil menangguk-anggukan kepalanya dengan gerakan ritmis, nyaris seperti sedang berdzikir. Saat dia melakukannya, aku bisa mendengar bisikannya yang dilakukan berulang-ulang, “Shofer… shofer… shofer… shofer…”

Waktu pertama aku sempat kebingungan, aku mengira dia mengindahkan pertanyaanku dan malah tenggelam di dunianya sendiri. Tetapi pada kesempatan lain saat kutanyakan kembali dia melakukan hal yang sama, “Shofer… shofer… shofer…”

Dia selalu menjawab tanyaku dengan cara itu. Setelah beberapa lama, kata tersebut, ‘shofer’, mulai bergema dalam kepalaku, kata yang entah bermakna atau tidak, namun akhirnya menjelma tetesan air yang semakin mengisi kolam pikiranku – sungguh menyiksa.

Setiap kali kata itu menetes dan menggemakan suaranya, ada riak-riak yang perlahan membentuk sebuah citra dalam cakrawala imajinasiku. Semua gambaran yang muncul tak bisa kutentukan, terjadi dengan spontan, sebuah lalu lintas mimpi dalam sekejap mata.

Asap tersapu. Cahaya berpendar-pendar. Orang berdoa. Kekhusyuan patung. Kilauan mutiara. Bambu terbelah. Mata terbuka. Muka berteriak. Pohon dan hutan berlari. Awan meleleh. Hingga akhirnya lenyap, tak ada lagi kata ‘shofer’, juga imaji itu, hanya kekosongan.

Sesudah itu, aku seperti menemukan mata air yang jernih sampai aku bisa melihat batu, daun, ranting, dan kerang-kerangan di dasarnya. Rasanya aku bagai orang buta yang bisa melihat kembali.

Ketika kulihat langit, orang-orang dan kendaraan yang lalu lalang, gedung-gedung dengan jendela yang berbaris, pohon, tiang listik yang mengestafetkan kabel-kabel, genangan air bercampur minyak, sampai ubin-ubin yang terkikis dan rusak susunannya, memiliki semacam kilauan yang bisa kau temukan pada lengkungan embun pagi atau juga pada permukaan air yang disiram oleh sinar matahari.

Kilauan-kilauan itu bergerak seperti gelombang, menyebar dari satu benda ke benda lainnya. Saat kuamati dengan seksama, pada gelombang tersebut terdapat sulur bergelombang yang menumbuhkan sulur lain yang identik dengannya, dan begitu seterusnya – sebuah fraktal.

Tetapi tak satupun dari semua itu yang menjelaskan arti dan makna kata shofer. Jauh setelah kejadian itu, barulah kutahu kalau kata tersebut adalah pengucapan dari ‘sifr’, kata dalam bahasa Arab yang berarti ‘nol’.

Terkadang, tidak banyak tahu itu lebih membantu daripada tahu lebih banyak, sebab arti yang kutemukan tersebut telah meruntuhkan keajaiban dan keindahan fenomena itu. Kekosongan yang terselubung menjadi kelihatan, tetapi objek kehilangan bentuknya, bukan bentuk atau wujud yang menempati ruangan, wujud itu sementara, yang abadi adalah panta rhei.

Kembali ke kenyataan suram yang menghukumku, kini giliranku untuk merasakan kesementaraan wujud ketika kurasakan maut mulai mengusir kehangatan dari telapak kakiku. Pernahkah engkau tidak tidur selama tiga hari atau lebih, menanggung kelelahan dan keletihan?

Begitulah yang kurasakan, bukan rasa sakit yang menyerbu semua saraf secara simultan. Aku tenggelam dalam kelelahan yang dasyat dan aku tahu tidak perlu melawan, hal itu hanya akan membuatku semakin tersiksa. Kelelahan ini semakin intens saja, terasa sangat mencecikku seperti jaket kekang yang paling erat ikatannya.

“Sifr.. sifr… sifr…” Aku bisa mendengarkan semua suara sejelas-jelasnya, para perawat sibuk memanggil orang terdekatku, semua tahu ini sudah waktunya dan mereka menangis, juga ada berbagai bunyi lain yang nyaring, memekik, getaran, desiran, dan desisan es yang meleleh. “Sif… sif… sif…” Hanya ada satu sumber cahaya nun jauh di ujung lorong, bukan tetapi di atas sana seolah kulihat dari dasar sumur. “Si… si… s… s…” Aku tersedot sama halnya air dalam ember bocor.

Semua suara dan sensasi-sensasi yang sebelumnya terasa merayap dalam diriku kini sudah tidak ada lagi. Sepi. Aku tidak berada di mana pun. Ternyata aku tidak bisa tinggal lagi bersama mereka, atau melihat mayatku sendiri. Siapa yang kutunggu, kuharap aku memiliki sebuah koin yang setidaknya dapat menebak apakah setan atau malaikat yang datang menjemputku.

Aku berharap memiliki jam tangan, jam pasir, bahkan si mesin berbunyi bip monoton yang terakhir menemaniku, asalkan ada semacam bunyi langkah-langkah jarum jam supaya kutahu berapa lama penantian ini. Kuharap aku bisa tidur, atau haruskah aku menyanyikan The Spirit Carries On, tetapi untuk siapa?

Tidak ada jiwa para atheis yang bisa kusindir, “That after we gone… spirit carries on… kalian dengar itu wahai atheis, spirit carries on!” Jadi kupikir alam ini bukanlah limbo atau semacamnya, bukan nirwana, mungkinkah alam kubur yang personal? Tidak, kurasa ini adalah keinginan terakhirku, ya, aku yakin sebelumnya aku menginginkan dua hal; setelah mati jiwa itu ada, terjawabnya pertanyaan “Where do we go when we die?”; ketiadaan sejati, sifr?

 Apakah penjahat yang yakin dirinya akan masuk surga, percaya pada adanya surga dan neraka, setelah mati Tuhan mengabulkan keinginan mereka? Bahwa dia akan masuk surga, pada akhirnya, tetapi terlebih dahulu ada neraka yang mesti dilalui. Satu hal yang pasti, menurutku, hampir semua orang menginginkan kesadaran mereka tetap ada, termasuk ketika aku menginginkan ketiadaan sejati yang seharusnya tidak bisa disadari sama sekali.

Barangkali kecemasan terhadap fananya keberadaan kita itulah yang mengantar pada keinginan dan keyakinan bahwa jiwa, kesadaran, dapat bertahan setelah kematian terjadi. Kini aku sadar, aku berada di dalam angka nol.

Kehampaan mengepung diriku yang tak bersosok, dalam dunia yang seakan-akan menginduksi klaustrofobia, di saat yang sama mustahil bagiku untuk mencapai ujung-ujungnya. Aku mencoba mengembara di alam kehampaan ini, benar-benar sendirian, mungkin seperti inilah jadinya bila kita mencoba menyelam di titik terdalam palung Mariana.

Sedih rasanya, bahwa tidak ada jiwa lain yang bisa kujumpai, bahkan aku tidak tahu bagaimana caranya berkomunikasi dengan Tuhan, di sini alam yang semestinya paling dekat dengan diri-Nya. Mungkin. Jangan-jangan perkiraanku salah, ya itu bisa saja, benar juga pasti begitu. 

Jangan-jangan ini adalah sebuah permainan yang disediakan Tuhan bagi semua manusia, bahwa mereka harus mencari sesamanya agar bisa kembali kepada-Nya. Bayangkan permainan ini seperti saat mata kita ditutup dan kita berusaha menemukan orang yang memanggil-manggil kita. 

Kurasa aku bisa menebak aturan mainnya, bahwa penjahat diberi gaya tarik magnetis yang membuat mereka cenderung menemukan sesama penjahat, sementara orang saleh lebih mungkin bertemu orang saleh lainnya.

Tetapi jika seseorang tidak berada di salah satu ekstrem tersebut, kurasa ini menjadi masalah keberuntungan semata, seperti diriku yang tidak merasakan gaya tarik magnetis tersebut. Namun, aku harus yakin, aku bisa menemukan jalan keluar dan di sanalah Tuhan sesungguhnya berada dan menanti kita.

“Sifr.” Kata itu bergema, entah dari dalam diriku atau dari kehampaan yang tidak terbatas. Aku yakin aku harus berkonsentrasi menemukan jiwa-jiwa lainnya.

“Sifr.” Kehampaan ini membuatku tidak tahu apakah aku berjalan lurus, memutar, menukik atau menanjak, atau jangan-jangan aku hanya melayang-layang di tempat sementara kehampaan mengalir menjauhiku.

“Sifr.” Kini aku benar-benar takut, aku tak pernah merasa setakut ini, padahal ini bukan di neraka. Tetapi siapa yang tahu, bagaimana seandainya kalau inilah neraka itu? Bukan, bagaimana kalau ini sebenarnya adalah limbo? Tidak juga, bagaimana kalau ini adalah purgatori? Kurasa aku keliru, kurasa jawaban sebenarnya adalah nirwana, tetapi untuk membuktikannya aku harus bersemedi.

“Sifr!” Aku tidak menyangka, ternyata aku bisa mengingat kembali semua episode kehidupanku, bahkan sejak aku masih berupa zigot! Aku ingat percakapan orang tuaku di luar sana. Aku ingat tendangan pertamaku pada dinding rahim ibu. Aku ingat bagaimana tangisan pertamaku.

Dalam kesadaran kusaksikan film dokumenter diriku, sangat detil, dari rahasia yang kusembunyikan dalam ruang privat sampai berbagai pengalaman yang kualami bersama orang-orang terekam dengan jelas. Sampai akhirnya, aku melihat lagi tayangan ulang sebelum maut menjemput, lengkap dengan imajinasiku tentang kenangan bersama orang-orang gila. Lalu aku kembali ke sini, ke kehampaan ini.

Sekali lagi kucoba untuk melihat kembali rekaman hidupku. Ada yang ganjil, rekaman kali ini diputar secara mundur. Suara-suara di kamar rawat bermunculan kembali, kemudian imajinasi tentang panta rhei, lalu fraktal gelombang yang perlahan-lahan menyusut menjadi wujud benda-benda: langit dan cakrawalanya, gedung dari puncak hingga ke kakinya, juga pepohonan dan tiang listrik, tidak ketinggalan segala sesuatu yang terhampar di tanah, jalanan, trotoar dan teras-teras gedung.

Tetapi wujud itu tak bertahan lama, garis-garis pinggir benda-benda tersebut semakin terdistorsi, memuai sampai akhirnya menjadi gelombang lagi. Lama-kelamaan mengepul menjadi serupa asap yang meliuk dengan gemulai, lalu tambah pekat, hingga akhirnya terlihat menyerupai kepulan awan yang menunjukan banyak wajah. Semua wajah itu membukakan mata mereka.

Dari mata mereka aku melihat diriku, juga melihat segalanya. Saat aku kembali pada diriku, wajah-wajah itu berteriak kemudian menjadi air muka yang menangis. Awan itu pun meleleh.

Dari lelehan awan tersebut kulukis kembali dunia, kusebarkan bercak-bercak yang menjadi bintang dan galaksi, di salah satu titik itu kutempatkan bumi. Aku bisa melihat segalanya, sebab aku mengintip dari setiap rongga setiap sesuatunya!

Setelah semua itu, aku memejamkan penglihatan, memusatkan perhatian pada benakku, dan perlahan membuka mata; sekarang aku adalah bayi yang melihat ibunya, di saat yang sama aku juga ibu yang melihat bayinya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun