Saat Semua Terasa Ramai, Tapi Jiwaku Sepi
Ada hari-hari ketika aku bangun bukan karena semangat, tapi karena alarm. Bukan karena hidup yang kutunggu, tapi rutinitas yang tak bisa kuhindari.
Pagi itu seperti pagi-pagi sebelumnya. Kopi diseduh, notifikasi berjejer, dan tanganku bergerak otomatis membuka layar ponsel tanpa sadar, tubuhku berjalan seolah sudah hafal ritme hidup, bahkan tanpa perlu pikiranku ikut serta.
Tapi anehnya, ada ruang kosong yang menganga di dalam dada. Aku hidup. Tapi tak benar-benar hidup.
Hari-hari berlalu seperti salinan dari hari sebelumnya. Matahari terbit, lalu tenggelam. Tugas selesai, lalu datang lagi. Kadang aku lupa apakah aku sudah makan atau belum.Â
Yang aku tahu, tubuh ini berjalan, bekerja, dan bertahan. Tapi jiwaku? Seolah tertinggal entah di mana.
Terjebak Dalam Siklus yang Kita Anggap Wajar
Kita hidup di zaman yang menjadikan kesibukan sebagai medali kehormatan. Ketika seseorang berkata, "Aku sibuk banget akhir-akhir ini," kita sering menjawab dengan kekaguman:Â "Wah, keren! Pasti lagi banyak proyek, ya."
Seolah-olah sibuk adalah sinonim dari berhasil. Padahal, kita jarang bertanya: sibuk karena apa, dan untuk siapa?
Banyak dari kita menjalani hari seperti pelari maraton yang tak pernah tahu garis finish-nya. Kita mengejar sesuatu yang terus bergerak: pencapaian baru, target baru, validasi baru.Â
Kita terus menumpuk agenda, seakan waktu adalah musuh yang harus kita taklukkan, bukan teman yang perlu kita maknai.
Dan yang lebih menyedihkan, banyak dari kita yang diam-diam kelelahan.
Ada yang ingin berhenti, tapi takut dibilang lemah.
Ada yang ingin melambat, tapi takut dibilang malas.
Kita terus memacu diri, bukan karena masih kuat tapi karena takut dianggap tidak cukup.
Takut dianggap kalah. Takut tak berguna.
Kita bilang, "Ini demi masa depan." Tapi sejujurnya, siapa yang bisa menjamin kita akan sampai ke masa depan itu dalam keadaan utuh? Apa artinya sampai jika yang tiba nanti hanyalah tubuh yang ringkih, hati yang kosong, dan relasi yang sudah jauh dari makna?
Dulu aku percaya bahwa sibuk adalah bukti bahwa aku sedang membangun sesuatu. Tapi sekarang aku mengerti: sibuk tidak selalu berarti tumbuh. Kadang, itu hanya bentuk lain dari pelarian. Pelarian dari kegelisahan, dari kekosongan, dari pertanyaan yang tak berani kita hadapi.
Produktivitas tanpa kesadaran perlahan menggerogoti sisi-sisi terbaik dalam diri kita: rasa syukur, kemampuan untuk menikmati, kepekaan terhadap yang kecil tapi bermakna.
Apa gunanya menyelesaikan sepuluh pekerjaan sehari, jika kita lupa bagaimana caranya tertawa lepas?
Apa gunanya mengejar target, jika kita tak pernah hadir sepenuhnya saat makan malam dengan keluarga?
Seperti Robot, Tapi Masih Punya Perasaan
Suatu hari, aku duduk di ruang tunggu rumah sakit. Seorang pria muda duduk tak jauh dariku. Wajahnya pucat, matanya sembab, tapi tangannya tetap sibuk di atas keyboard. Di sekelilingnya: tumpukan dokumen, ponsel bergetar terus, dan raut cemas yang ia sembunyikan di balik layar.
Aku sempat mendengar potongan percakapannya dengan dokter. Ibunya baru saja divonis sakit parah. Namun yang membuat dadaku tercekat bukan kabar itu, melainkan kalimat yang meluncur dari mulutnya dengan suara bergetar:
Saya harus segera kembali ke kantor... saya nggak bisa lama-lama di sini.
Dan di detik itu, aku merasa seolah sedang menatap cermin besar: betapa seringnya kita hidup di tengah sistem yang memaksa kita memilih antara menjadi manusia atau tetap dianggap berguna.
Kita tahu orang yang kita cintai sedang membutuhkan kehadiran kita, tapi kita terikat dengan deadline, rapat, tanggung jawab yang tak henti-henti.
Kita tahu tubuh ini sudah memohon istirahat, tapi kita tetap memaksa jalan, karena takut dianggap tak sanggup.
Kita bergerak, bekerja, menanggapi pesan, menghadiri pertemuan. Semua dengan wajah yang mencoba tampak baik-baik saja.
Padahal, di dalam diri, ada bagian yang perlahan terkikis: kehangatan, kelembutan, keberanian untuk hadir sepenuhnya dalam momen penting.
Kita seperti robot. Tapi dengan satu perbedaan besar: kita masih bisa merasa. Dan justru karena itu, luka kita lebih dalam.
Robot tidak menangis saat ibunya sakit. Robot tidak merasa bersalah saat tak bisa pulang. Robot tidak mengenal kehilangan.
Tapi kita, kita manusia. Dan semakin kita menekan sisi kemanusiaan itu demi tuntutan eksternal, semakin kita merasa asing terhadap diri sendiri.
Kita menjadi makhluk produktif, tapi kehilangan arah. Kita menjadi efisien, tapi kehilangan makna.
Mungkin pertanyaannya bukan lagi "Apa yang harus aku lakukan hari ini?". Tapi: "Siapa yang butuh kehadiranku hari ini?"
Dan yang lebih penting lagi: "Apakah aku sudah hadir untuk diriku sendiri?"
Hidup Butuh Jeda, Bukan Hanya Lari
Kapan terakhir kali kamu duduk diam, benar-benar diam tanpa menyentuh ponsel, tanpa membuka notifikasi, tanpa merasa harus segera "melakukan sesuatu"?
Sulit, bukan?
Kita hidup di zaman di mana keheningan terasa ganjil, dan diam dianggap tidak produktif. Seolah jika kita tidak terus bergerak, maka kita tertinggal. Padahal, mungkin justru dalam diam itu, hidup benar-benar terasa.
Saat kita menarik napas tanpa tergesa.
Saat kita mendengar suara burung di pagi hari, bukan deretan notifikasi.
Saat kita menatap wajah orang tua kita yang mulai menua, bukan layar kaca.
Saat kita menyadari bahwa detik ini, tempat ini, perasaan ini... penting.
Kita terbiasa mengukur hidup dari seberapa banyak yang kita selesaikan: target, tugas, pencapaian. Tapi kita jarang bertanya:
Seberapa dalam aku menjalaninya? Seberapa utuh aku hadir dalam hidupku sendiri?
Jeda sering dianggap kemunduran. Padahal, jeda adalah bentuk keberanian yang paling hening: keberanian untuk berkata,Â
Aku tak ingin hanya berfungsi. Aku ingin benar-benar hidup.
Jeda adalah ruang di mana kita kembali mengingat siapa kita, bukan sekadar peran apa yang kita jalani. Bukan hanya guru, pegawai, anak, pasangan, atau pemimpin. Tapi manusia dengan rasa, batas, dan kebutuhan akan ketenangan.
Kita bukan mesin. Dan justru karena kita manusia, kita butuh berhenti sejenak. Bukan untuk menyerah, tapi untuk menyentuh ulang makna dari segala kesibukan ini.
Beranilah untuk melambat. Karena kadang, satu menit hadir sepenuhnya... lebih bermakna daripada seharian sibuk tapi kosong.
Aku Belajar Hidup Kembali, Perlahan
Sekarang aku sedang belajar bukan belajar sukses, bukan belajar cepat, tapi belajar hadir.
Belajar menciptakan ruang kecil yang tak ditentukan algoritma, tempat aku bisa menjadi diriku yang tak perlu sibuk menjelaskan diri.
Aku menyeduh teh sore tanpa tergesa, membiarkan uapnya naik pelan seolah mengingatkanku bahwa tak semua hal harus buru-buru.
Aku menulis, bukan untuk dilihat, tapi karena ada perasaan yang ingin diberi tempat.
Aku mendengarkan cerita teman tanpa menyusun balasan di kepala, karena kadang, menjadi pendengar yang penuh adalah bentuk cinta yang paling sederhana.
Aku belajar memandangi matahari yang menyelinap masuk lewat celah jendela, dan untuk pertama kalinya, merasa cukup.
Bukan karena segalanya sempurna, tapi karena aku memilih berdamai dengan ketidaksempurnaan.
Aku tak lagi ingin hidup hanya di atas kalender dan daftar tugas. Tak ingin sekadar "berjalan" dalam rutinitas yang tak pernah kutanya tujuannya.
Aku ingin hadir dalam arti yang paling utuh. Aku ingin benar-benar hidup, bukan sekadar bertahan.
Karena hidup bukan hanya tentang bertahan napas. Tapi tentang merasakan napas itu, dan bersyukur bahwa kita masih di sini, masih bisa mencintai, merasakan, menjadi.
Kita Tak Harus Hebat. Cukup Hadir
Jika hari-harimu terasa penuh tapi hampa, sibuk tapi kehilangan arah: percayalah, bukan kamu yang rusak. Mungkin kamu hanya terlalu lama menunda bernapas. Terlalu sering berjalan tanpa sempat bertanya:Â "Aku mau ke mana?"
Berhentilah merasa bersalah hanya karena lelah. Lelah itu bukan kelemahan. Itu adalah tubuh dan jiwamu yang sedang berbisik, "Aku butuh dipeluk. Aku butuh jeda."
Berhentilah membandingkan dirimu dengan mereka yang terlihat selalu 'on', selalu sibuk, selalu produktif. Karena tak semua keberhasilan bisa diukur dari sorak sorai atau pencapaian besar.
Hidup bukan perlombaan cepat-cepat sampai. Hidup adalah perjalanan yang layak dinikmati meski kadang kita harus berjalan pelan, bahkan berhenti sama sekali.
Kita tidak harus hebat setiap waktu. Kadang, cukup hadir saja sudah merupakan keberanian besar.
Berani duduk diam tanpa merasa tertinggal. Berani menjadi manusia yang tidak sempurna, tapi utuh. Berani berkata: "Aku di sini. Aku masih merasa. Dan itu cukup."
Karena mungkin, di tengah dunia yang terus mendorong kita untuk jadi lebih...yang paling kita butuhkan adalah ruang untuk cukup.
Mari mulai hari ini. Sediakan satu ruang kecil untuk jeda.
Mungkin lima menit untuk memandangi langit.
Mungkin secangkir teh tanpa distraksi.
Mungkin satu halaman buku.
Atau sekadar satu tarikan napas panjang sambil berkata dalam hati: "Aku masih di sini. Dan itu cukup."
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI