Kita bilang, "Ini demi masa depan." Tapi sejujurnya, siapa yang bisa menjamin kita akan sampai ke masa depan itu dalam keadaan utuh? Apa artinya sampai jika yang tiba nanti hanyalah tubuh yang ringkih, hati yang kosong, dan relasi yang sudah jauh dari makna?
Dulu aku percaya bahwa sibuk adalah bukti bahwa aku sedang membangun sesuatu. Tapi sekarang aku mengerti: sibuk tidak selalu berarti tumbuh. Kadang, itu hanya bentuk lain dari pelarian. Pelarian dari kegelisahan, dari kekosongan, dari pertanyaan yang tak berani kita hadapi.
Produktivitas tanpa kesadaran perlahan menggerogoti sisi-sisi terbaik dalam diri kita: rasa syukur, kemampuan untuk menikmati, kepekaan terhadap yang kecil tapi bermakna.
Apa gunanya menyelesaikan sepuluh pekerjaan sehari, jika kita lupa bagaimana caranya tertawa lepas?
Apa gunanya mengejar target, jika kita tak pernah hadir sepenuhnya saat makan malam dengan keluarga?
Seperti Robot, Tapi Masih Punya Perasaan
Suatu hari, aku duduk di ruang tunggu rumah sakit. Seorang pria muda duduk tak jauh dariku. Wajahnya pucat, matanya sembab, tapi tangannya tetap sibuk di atas keyboard. Di sekelilingnya: tumpukan dokumen, ponsel bergetar terus, dan raut cemas yang ia sembunyikan di balik layar.
Aku sempat mendengar potongan percakapannya dengan dokter. Ibunya baru saja divonis sakit parah. Namun yang membuat dadaku tercekat bukan kabar itu, melainkan kalimat yang meluncur dari mulutnya dengan suara bergetar:
Saya harus segera kembali ke kantor... saya nggak bisa lama-lama di sini.
Dan di detik itu, aku merasa seolah sedang menatap cermin besar: betapa seringnya kita hidup di tengah sistem yang memaksa kita memilih antara menjadi manusia atau tetap dianggap berguna.
Kita tahu orang yang kita cintai sedang membutuhkan kehadiran kita, tapi kita terikat dengan deadline, rapat, tanggung jawab yang tak henti-henti.
Kita tahu tubuh ini sudah memohon istirahat, tapi kita tetap memaksa jalan, karena takut dianggap tak sanggup.
Kita bergerak, bekerja, menanggapi pesan, menghadiri pertemuan. Semua dengan wajah yang mencoba tampak baik-baik saja.
Padahal, di dalam diri, ada bagian yang perlahan terkikis: kehangatan, kelembutan, keberanian untuk hadir sepenuhnya dalam momen penting.
Kita seperti robot. Tapi dengan satu perbedaan besar: kita masih bisa merasa. Dan justru karena itu, luka kita lebih dalam.
Robot tidak menangis saat ibunya sakit. Robot tidak merasa bersalah saat tak bisa pulang. Robot tidak mengenal kehilangan.