Tapi kita, kita manusia. Dan semakin kita menekan sisi kemanusiaan itu demi tuntutan eksternal, semakin kita merasa asing terhadap diri sendiri.
Kita menjadi makhluk produktif, tapi kehilangan arah. Kita menjadi efisien, tapi kehilangan makna.
Mungkin pertanyaannya bukan lagi "Apa yang harus aku lakukan hari ini?". Tapi: "Siapa yang butuh kehadiranku hari ini?"
Dan yang lebih penting lagi: "Apakah aku sudah hadir untuk diriku sendiri?"
Hidup Butuh Jeda, Bukan Hanya Lari
Kapan terakhir kali kamu duduk diam, benar-benar diam tanpa menyentuh ponsel, tanpa membuka notifikasi, tanpa merasa harus segera "melakukan sesuatu"?
Sulit, bukan?
Kita hidup di zaman di mana keheningan terasa ganjil, dan diam dianggap tidak produktif. Seolah jika kita tidak terus bergerak, maka kita tertinggal. Padahal, mungkin justru dalam diam itu, hidup benar-benar terasa.
Saat kita menarik napas tanpa tergesa.
Saat kita mendengar suara burung di pagi hari, bukan deretan notifikasi.
Saat kita menatap wajah orang tua kita yang mulai menua, bukan layar kaca.
Saat kita menyadari bahwa detik ini, tempat ini, perasaan ini... penting.
Kita terbiasa mengukur hidup dari seberapa banyak yang kita selesaikan: target, tugas, pencapaian. Tapi kita jarang bertanya:
Seberapa dalam aku menjalaninya? Seberapa utuh aku hadir dalam hidupku sendiri?
Jeda sering dianggap kemunduran. Padahal, jeda adalah bentuk keberanian yang paling hening: keberanian untuk berkata,Â
Aku tak ingin hanya berfungsi. Aku ingin benar-benar hidup.
Jeda adalah ruang di mana kita kembali mengingat siapa kita, bukan sekadar peran apa yang kita jalani. Bukan hanya guru, pegawai, anak, pasangan, atau pemimpin. Tapi manusia dengan rasa, batas, dan kebutuhan akan ketenangan.
Kita bukan mesin. Dan justru karena kita manusia, kita butuh berhenti sejenak. Bukan untuk menyerah, tapi untuk menyentuh ulang makna dari segala kesibukan ini.