Mohon tunggu...
Erwinton
Erwinton Mohon Tunggu... Storyteller

Storyteller

Selanjutnya

Tutup

Nature

Menulis Ulang Kisah Manusia dan Gajah

19 September 2025   00:44 Diperbarui: 19 September 2025   01:01 58
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Foto Gajah di Hutan (Sumber: unsplash.com/aashishpareek)

Konflik manusia-gajah (human-elephant conflict) bermula dari cara pandang kita yang keliru: antara dominasi vs keberimbangan, antara logika ekonomi vs ekologi, dan antara 'kita' sebagai manusia vs 'mereka' sebagai satwa liar.

Cara pandang itulah yang menjadi akar masalah. Kitab sejarah menuturkan, manusia di Sumatera pernah hidup harmonis dengan gajah. 

Namun, hari ini hubungan tersebut sudah retak karena cara pandang kita yang berubah. Alih-alih melihat gajah sebagai bagian dari dunia yang seimbang, kita justru melihat gajah sebagai musuh yang mengancam. Pandangan yang keliru itu terbukti telah merugikan manusia dan gajah secara bersamaan.

Di banyak desa di Sumatera, seperti di Desa Tri Anggun Jaya, Kecamatan Muara Lakitan, Kabupaten Musi Rawas, Sumatera Selatan, gajah tidak tahu, juga tidak akan pernah tahu, bahwa mereka memasuki 'wilayah terlarang' yang kita tetapkan. 

Mereka tidak mengenal peta, tidak memahami batas kepemilikan, terlebih tidak mengerti rencana tata ruang. Yang mereka tahu, perut mereka lapar, dan makanan mereka yang dulunya ada di hutan, kini sudah semakin menipis dan justru tersedia di ladang milik manusia.

Ketika gajah memasuki ladang warga, ketakutan mendalam muncul. Bahkan, jejak kaki gajah saja sudah cukup membuat warga was-was. Kekhawatiran tersebut bukan tanpa alasan. 

Sebab, konflik manusia-gajah kerap mengemuka, bahkan memakan korban jiwa. Peristiwa tragis tahun lalu, ketika seorang ibu hamil kehilangan nyawa karena terinjak gajah saat menyadap karet, menjadi pengingat menyakitkan. Tragedi itu merupakan konsekuensi logis dari cara pandang kita yang mengagungkan superioritas manusia.   

Jembatan Dua Dunia

Guna mengatasi cara pandang dominasi tersebut, kita perlu menempatkan kembali nilai keberimbangan. Itu bisa dimulai dengan memberikan perhatian kepada generasi muda yang belum terikat cara pandang lama. 

Harus diakui, mereka adalah kelompok yang paling memungkinkan menjembatani dua dunia tersebut. Dengan pola pikir yang lebih terbuka, anak muda dapat melihat gajah bukan sebagai musuh, melainkan sebagai bagian dari ekosistem yang harus dilindungi.

Sayangnya, potensi itu belum sepenuhnya dimanfaatkan. Sejauh ini, peran mereka, terutama anak muda di daerah konflik manusia-gajah, masih minim. 

Sebagai ilustrasi, keterlibatan mereka cenderung dalam pelaksanaan konservasi, bukan sejak awal perencanaan. Itulah sebabnya, mereka hanya menjadi objek pelatihan di dalam ruang kelas, bukan subjek perubahan di ladang, di hutan, dan di komunitas.

Guna mendapatkan inspirasi, kita bisa mengarahkan pandangan ke Bhutan. Pengalaman di negara kecil di Himalaya itu bisa memberikan contoh baik bagaimana menyeimbangkan logika ekonomi dan ekologi dalam mengatasi konflik manusia-gajah. 

Dengan memperkenalkan tanaman pagar yang tidak disukai gajah tetapi memiliki nilai ekonomi (bio-fencing), seperti jeruk atau cabai, kebutuhan manusia dan hak satwa bisa dipenuhi secara bersamaan.  

Tidak hanya itu, lewat edukasi yang menekankan partisipasi, generasi muda di sana membuat poster, menanam pohon, bahkan menjadi bagian dari tim reaksi cepat (quick response team). 

Tim yang terdiri dari anak muda di daerah konflik manusia-gajah tersebut terjun ke wilayah konflik untuk menenangkan warga dan menjadi penengah antara gajah yang tidak bisa bersuara dengan manusia yang sering berbicara tanpa mendengarkan.  

Langkah ke Depan

Apa yang terjadi di Bhutan bukanlah sebuah keajaiban yang tidak bisa kita tiru. Kita bisa menarik pelajaran berharga dari sana, dan mengkontekstualkannya dengan situasi dan kearifan lokal di Sumatera. 

Langkah pertama ialah menempatkan anak muda sebagai mitra setara sejak tahap awal perencanaan konservasi, sebagaimana kita menempatkan pemangku kepentingan lain, seperti pemerintah, sekolah, LSM, pemuka agama, dan tokoh adat. 

Anak muda di sekitar kawasan hutan di Sumatera sejatinya tidak pernah kekurangan semangat. Apa yang mereka butuhkan hanyalah ruang untuk bertindak.

Ruang untuk bertindak itu bisa diwujudkan dalam beberapa cara. Bersama dengan pemangku kepentingan lain, sekolah di daerah konflik bisa merancang pendidikan lingkungan dan menyediakan taman konservasi mini sebagai laboratorium bagi anak-anak untuk belajar dari pengalaman langsung. 

Sementara itu, di level desa, anak muda bisa didorong menjadi tim reaksi cepat atau tim penyuluh lingkungan dengan menyampaikan pesan konservasi dalam bahasa lokal dan narasi yang relevan dengan nilai-nilai budaya. Sebagai contoh, mereka bisa menjelaskan bahwa gajah bukanlah musuh manusia, melainkan mahkluk ciptaan Tuhan yang punya hak yang sama.

Pendekatan tersebut juga harus selaras dengan logika ekonomi masyarakat. Tanaman pagar yang tidak disukai gajah tetapi memiliki nilai ekonomi dapat dikembangkan di daerah konflik manusia-gajah. 

Anak muda bisa dilibatkan untuk memetakan dan menanam tanaman yang bernilai jual dan tidak disukai gajah. Jika itu terlaksana, konservasi bisa berkelanjutan karena mampu menghasilkan manfaat ekonomi bagi warga. Tanpa itu, konservasi kemungkinan besar hanya berumur pendek.

Dan yang tidak kalah penting, anak muda bisa dilibatkan dalam kampanye lingkungan baik tatap muka atau melalui media sosial. Mereka bisa menyebarkan kisah edukatif tentang hubungan manusia dan gajah guna mengubah persepsi masyarakat lokal atau publik secara luas. 

Dengan pendekatan tersebut, konservasi bukan sekadar isu teknis semata, melainkan ekspresi kepedulian terhadap alam dan kreativitas diri.

Pada akhirnya, gajah tidak tahu, juga tidak akan pernah tahu, bahwa mereka sedang dibela. Tetapi, anak muda, terutama mereka di daerah konflik manusia-gajah, paham betul bahwa masa depan harus dipejuangkan. 

Ketika mereka menanam pohon, menyisir hutan, dan membuat video kampanye, mereka sejatinya sedang menulis ulang kisah manusia dan gajah. Kisah yang pernah retak, akan tetapi belum berakhir.  

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun