Mohon tunggu...
Erwinton
Erwinton Mohon Tunggu... Storyteller

Storyteller

Selanjutnya

Tutup

Nature

Menulis Ulang Kisah Manusia dan Gajah

19 September 2025   00:44 Diperbarui: 19 September 2025   01:01 66
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Foto Gajah di Hutan (Sumber: unsplash.com/aashishpareek)

Sayangnya, potensi itu belum sepenuhnya dimanfaatkan. Sejauh ini, peran mereka, terutama anak muda di daerah konflik manusia-gajah, masih minim. 

Sebagai ilustrasi, keterlibatan mereka cenderung dalam pelaksanaan konservasi, bukan sejak awal perencanaan. Itulah sebabnya, mereka hanya menjadi objek pelatihan di dalam ruang kelas, bukan subjek perubahan di ladang, di hutan, dan di komunitas.

Guna mendapatkan inspirasi, kita bisa mengarahkan pandangan ke Bhutan. Pengalaman di negara kecil di Himalaya itu bisa memberikan contoh baik bagaimana menyeimbangkan logika ekonomi dan ekologi dalam mengatasi konflik manusia-gajah. 

Dengan memperkenalkan tanaman pagar yang tidak disukai gajah tetapi memiliki nilai ekonomi (bio-fencing), seperti jeruk atau cabai, kebutuhan manusia dan hak satwa bisa dipenuhi secara bersamaan.  

Tidak hanya itu, lewat edukasi yang menekankan partisipasi, generasi muda di sana membuat poster, menanam pohon, bahkan menjadi bagian dari tim reaksi cepat (quick response team). 

Tim yang terdiri dari anak muda di daerah konflik manusia-gajah tersebut terjun ke wilayah konflik untuk menenangkan warga dan menjadi penengah antara gajah yang tidak bisa bersuara dengan manusia yang sering berbicara tanpa mendengarkan.  

Langkah ke Depan

Apa yang terjadi di Bhutan bukanlah sebuah keajaiban yang tidak bisa kita tiru. Kita bisa menarik pelajaran berharga dari sana, dan mengkontekstualkannya dengan situasi dan kearifan lokal di Sumatera. 

Langkah pertama ialah menempatkan anak muda sebagai mitra setara sejak tahap awal perencanaan konservasi, sebagaimana kita menempatkan pemangku kepentingan lain, seperti pemerintah, sekolah, LSM, pemuka agama, dan tokoh adat. 

Anak muda di sekitar kawasan hutan di Sumatera sejatinya tidak pernah kekurangan semangat. Apa yang mereka butuhkan hanyalah ruang untuk bertindak.

Ruang untuk bertindak itu bisa diwujudkan dalam beberapa cara. Bersama dengan pemangku kepentingan lain, sekolah di daerah konflik bisa merancang pendidikan lingkungan dan menyediakan taman konservasi mini sebagai laboratorium bagi anak-anak untuk belajar dari pengalaman langsung. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun