Mohon tunggu...
Erwin KA
Erwin KA Mohon Tunggu... Penulis buku : Karma - Tak Usah Dendam, Biarkan Alam Melakukan Tugasnya

Portal yang mengumpulkan mozaik-mozaik nusantara yang disampaikan dalam bentuk spiritualitas, filosofi, dan refleksi untuk memunculkan dejavu dengan kehidupan yang dialami para leluhur di masa lampau. Untuk mengembalikan kembali kejayaan para leluhur kita yang luhur dan diluhurkan.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Kepaten Obor

7 Juli 2025   21:59 Diperbarui: 7 Juli 2025   21:59 71
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Cahaya Petunjuk Leluhur Itu Telah Padam

"Sarwahayu ... Rahayu sagung dumadi."
Dalam perjalanan saya dari Surabaya menuju kota Malang, saya melihat seseorang yang menarik perhatian saya. Ia mengenakan pakaian putih yang khas Timur Tengah. Sorban, gamis panjang, bahkan sandalnya pun berwarna serupa. Tak ada yang salah dengan penampilan itu. Tapi ketika saya menatap wajahnya... saya tahu, dia adalah orang Jawa.
Wajahnya... kulitnya... bahkan postur dan tatapannya membawa getar yang tak asing di hati saya. Namun ada sesuatu yang terasa ganjil. Seolah saya sedang melihat tubuh orang Jawa, tapi jiwanya sudah tak lagi berada di tanah kelahirannya.
Dan saat itulah, muncul satu kata dalam benak saya:
"Kepaten Obor."

Apa itu sebenarnya Kepaten Obor?
Dalam khazanah kebatinan Jawa, obor bukan sekadar api penerang.
Ia adalah simbol cahaya petunjuk dari leluhur, warisan nilai, kebijaksanaan hidup, dan juga energi spiritual yang mengalir dalam darah dan jiwa kita.
Obor itu adalah warisan dari para leluhur.
Bukan hanya berupa budaya, tapi juga daya hidup, keteguhan hati, kebijaksanaan batin, bahkan getaran DNA spiritual yang membentuk siapa kita hari ini.
Ketika seseorang mengalami kepaten obor, itu berarti cahaya petunjuk leluhur itu telah padam dalam dirinya.
Ia tak lagi terhubung dengan akar spiritualnya.
Ia tak lagi mendengar suara yang dulu menuntun para leluhurnya melewati badai sejarah dan penderitaan.
Ia hidup... tapi berdiri sendiri, seperti pohon yang tercerabut dari tanahnya.

Saya tidak sedang berbicara soal pakaian.
Saya tidak sedang menghakimi budaya luar.
Saya sedang mengajak kita semua untuk merenung.
Mengapa semakin banyak orang Nusantara tak lagi mengenali dirinya sendiri?
Mengapa banyak yang lebih bangga menjadi seperti bangsa lain, daripada menjadi diri mereka sendiri yang utuh dan luhur?

Dulu, leluhur kita menulis Suluk Sukma Sejati, Serat Wedhatama, Kakawin Arjuna Wiwaha...
Dulu, kita hidup dengan prinsip:
*Sepi ing pamrih, rame ing gawe.
*Ngeli ning ora keli.
*Memayu hayuning bawana.
Tapi hari ini, semua itu perlahan hilang dari lidah dan hati kita.
Anak-anak kita lebih hafal tokoh dari negeri jauh, tapi tak tahu siapa itu Empu Kanwa, Ranggawarsita, atau Sunan Kalijaga.

Kepaten obor bukan hanya kehilangan budaya.
Tapi kehilangan arah spiritual, sambungan genetik ruhani, dan daya hidup sejati.
Orang yang terputus dari leluhurnya akan mudah tersesat.
Karena ia tidak lagi disangga oleh mereka yang dahulu mendoakan, menjaga, dan mengirimkan energi perlindungan dari alam kelanggengan.

Namun sedulurku, ini bukan akhir.
Obor itu bisa dinyalakan kembali.
Satu demi satu.
Dengan kesadaran.
Dengan cinta.
Dengan keberanian untuk melihat ke dalam diri.

Kita bisa kembali.
Bukan dengan marah.
Bukan dengan menghakimi.
Tapi dengan mengingat.
Ingat bahwa kita berasal dari tanah yang suci.
Dari rahim pertiwi yang tidak hanya memberikan tubuh, tetapi juga jiwa dan tugas.

Tanyakanlah dalam hatimu:
*Apakah aku masih mengenali warisan jiwa para leluhurku?
*Apakah tindak tandukku hari ini mencerminkan keluhuran yang diwariskan padaku?
*Apakah aku hidup hanya meniru, ataukah aku sungguh-sungguh menyatu?

Saya percaya...
Bangsa ini sedang dalam perjalanan kembali menemukan obornya yang sempat padam.
Dan mungkin... obor itu tak akan benar-benar hilang, selama masih ada satu saja jiwa yang mau menyalakannya kembali.
Jika bukan kita... siapa?
Jika bukan sekarang... kapan?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun