Kenangan Pos Ronda Dulu
Di masa lalu, malam di kampung bukanlah ruang sunyi. Di ujung jalan berdiri sebuah pos ronda sederhana, beratap seng, dengan bangku kayu panjang yang mulai aus dimakan usia. Obor menyala redup, mengusir gelap yang pekat. Kentongan tergantung setia, siap dipukul bila tanda bahaya datang. Di situlah siskamling berdenyut, bukan hanya menjaga keamanan, tetapi menjaga kebersamaan.
Saya masih ingat, sewaktu kecil sering ikut ayah ketika gilirannya ronda. Sambil duduk di bangku kayu, saya menikmati singkong goreng panas yang dibawa dari rumah tetangga sebelah. Kopi hitam diseduh di gelas enamel yang sudah penuh noda, asapnya mengepul seolah ikut menghangatkan malam. Dari pos ronda itu saya belajar, bahwa menjaga kampung bukan hanya soal berjaga dari maling, tetapi juga soal menjaga hati agar tetap menyatu.
Siskamling di Era Digital
Hari ini, zaman telah berubah. Lampu jalan terang benderang, CCTV terpasang di sudut gang, dan grup WhatsApp RT lebih cepat menyampaikan kabar daripada bunyi kentongan. Pos ronda pun sepi, tinggal bangunan kosong yang lebih sering jadi tempat menyimpan kursi plastik.
Tetapi, benarkah kita tidak lagi membutuhkan siskamling? Kejahatan masih ada. Pencurian, perampokan, bahkan ancaman yang tak terlihat hadir di balik layar digital. Namun yang paling menyedihkan, bukan semata hilangnya ronda malam, melainkan pudarnya kebersamaan.
Bukan Sekadar Menjaga Rumah
Dulu, siskamling adalah wadah silaturahmi, pengikat rasa persaudaraan, dan benteng sosial. Kini, kita sering saling berjaga jarak, lebih kenal suara notifikasi ketimbang suara tetangga.
Menghidupkan kembali siskamling bukan berarti kembali ke masa lampau dengan obor dan kentongan. Tetapi menghadirkan kembali semangat kebersamaan itu dalam wajah modern: pos ronda bisa dilengkapi kamera kecil, warga bisa saling bergantian patroli sambil tetap terhubung lewat smartphone. Yang penting, nilai gotong-royong tetap berdenyut.
Menjaga Kampung, Menjaga Hati