Tamu Tiap Senin
Alasan ketiga anak tetangga yang menyebut bisa mengganggu datangnya rezeki atas ulah Santo menentang bau asap kemenyan dengan membakar pula sampah, membuat pikiran Santo dan keluarga Kumis bertanya-tanya. Apa hubungannya bakar kemenyan dengan datangnya rezeki?
Sebagai pegawai swasta di suatu perusahaan asesoris kendaraan yang tiap hari kerja kecuali hari libur, Kumis tidak mengetahui pasti kebiasaan tetangganya ini. Ia dan istrinya, Sulastri yang seorang pekerja garmen, juga demikian.
Namun dua anaknya, Santo, dan Santi yang sudah memasuki usia remaja juga pembantunya Maemunah mendengar dan melihat awal mula para tetangganya ini punya kebiasaan itu.
Menurut yang didengar Maemunah, dari Tono, adiknya Juned yang masih SMP dan suka menggodanya itu, ritual bakar kemenyan mulanya datang dari Kamid.
Kamid yang punya lapak tambal ban di jalan Hang Lekir mengajak bapaknya, Suwar. Karena sama-sama punya usaha kecil di pinggir jalan, maka diikuti. Katanya supaya usahanya lancar dan rezeki enteng datang. Â
Memang selama tiga bulan belakangan tampak ada perubahan. Suatu kali Maemunah melihat Kamid membawa televisi baru, sementara TV yang lama dijual pada tukang loak.
Lain waktu ia pergoki Suwar sedang menggotong mesin jahit  bekas untuk kerja istrinya.
Sementara tempo hari saat menjelang maghrib, Kuman yang pedagang rujak keliling membawa gerobak kerjanya yang baru, dan gerobak lamanya dimodifikasi untuk jualan rujak istrinya di rumah.
Mameunah kemudian mengisahkan semua itu pada majikannya Kumis, dan Sulastri. Kata Maemunah, memang tiap hari Senin siang selalu saja ada seorang tamu yang datang. Tamu itu penampilannya seperti lelaki padahal perempuan. Umurnya sekitar 60 tahunan.
Pakaian atasannya selalu menggunakan kemeja lengan panjang, dan celana panjang berbahan katun. Rambutnya pendek disisir dan berminyak persis lelaki. Wajahnya bulat dan gemuk. Tiap datang ke rumah Kamid sebatang sigaret selalu nempel di bibirnya.