Rahwana betul-betul mencamkan, dan ia ladeni istrinya pagi ini.
Ia bilang,"jangan marah, dan emosi begitu. Amarah seringkali mengundang setan hadir di kepala, dan meliuk ke hati. Tetaplah berpikir, dan berkata dengan jernih, dan pelan. Dan,... Â ."
"Prank!!Bunyi panci bolong dibanting Mimin ke lantai hingga menggema dan  terdengar oleh tetangga, terutama Zaid. Bantingan panci yang nyaring menjadi balasan jawaban Mimin pada ucapan Rahwana terakhir tadi.
Rahwana bergeming. Tetap konsentrasi dan fokus pada kemarahan tak beralasan istrinya ini. Ia sudah seperti politisi dari partai-partai politik yang berkuasa, maupun yang tidak sabar ingin berkuasa.
"Tenang sayang. Saya akan menjelaskan sesuai fakta, dan keadaan yang sebenarnya. Jangan terhasut oleh setan, baik setan ghoib, maupun setan tetangga,"kata Rahwana tenang.
Ia pun menjelaskan duduk perkara dengan sebenar-benarnya. Tanpa dilebihkan juga dikurangi. Prihal perempuan-pertempuan yang ditemui juga rencana yang direalisasi.
Singkatnya, Mimin tenang kemudian, dan memeluk haru Rahwana sedemikian rupa. Taklupa kecupan di sana sini di arahkan pada wajah Rahwana. Pagi ini terasa indah akhirnya. Rahwana pun kembali seperti lelaki sejati di hadapan istrinya, Mimin.
Sementara Zaid melihat mereka keluar rumah berbarengan, dan tersenyum sumringah, merasa aneh. Tadi bunyi panci terdengar gedumbrangan, sekarang mesra tujuh turunan. Zaid juga tidak mengira, tengah menduga-duga itu malah justru bajajnya diorder spontan.
"Bang Zaid, antar kami ke tujuan. Jalan anu dekat belokan anu, kita mau nganu,"pinta Rahwana percaya diri.
"Busyet!Apaan lagi ini,"balas Zaid heran.
"Sudah tidak usah pasang wajah seperti di sinetron dengan mimik heran begitu. Biasa saja. Nanti di jalan saya arahkan,"timpal Rahwana lagi seperti di atas angin.