"Lha terus kenapa mbak gak tanya suaminya itu. Marah-marah kek?"
Mimin tidak melanjutkan. Ia ngeloyor begitu saja meninggalkan Zaid di samping bajajnya. Zaid juga banyak pertanyaan. "Itu orang, ngapain ya, tiga kali seminggu rutin anjangsana?"
***
Karena dirasa sudah beres, dan klinik yang dicita-citakan sudah berdiri menyerupai kios klontong di pinggir jalan dekat mal, maka Rahwana bicara terus terang pada istrinya. Lembut, dan penuh pengharapan.
"Istriku sayang. Cita-cita kita punya klinik pijit berhasil. Hari ini mas akan mengajak adik pergi ke sana sekarang."
Mimin tidak serta merta menyetujui, dan lupa dengan petuah, dan pepatah itu. Ia mulai berani membantah ajakan Rahwana. Kasar pula.
"Lelaki sialan!Rupanya keluyuran tiga kali seminggu cuma mijit perempuan-perempuan. Haram woiii!!teriaknya kalap takkuasa menyimpan amarah.
Rahwana bukan main kaget. Hari masih pagi bunyi suara serak Mimin menghamburkan harapannya kali ini. Perut juga belum terlalu kenyang, malah kenyang di awal dengan serapah istrinya. Belum kagetnya hilang, teriakan berikut seperti memukul rahangnya yang memang mirip rahang raksasa.
"Lelaki sudah jelek, syukur saya masih mau jadi bini. Itu perempuan mana lagi yang dipelet, hah?!mata Mimin mendelik menanyakan, sekaligus tuduhannya menusuk tepat di ulu hati Rahwana.
Bukannya Rahwana, jika tidak mampu menahan diri, dan mengendalikan emosi. Ia dapat pelajaran ini dari para aktivis, maupun pasien calon politisi, dan bekas pejabat yang pernah jadi pasien pijitnya.
Kata mereka yang ia dapat,"sepandai-pandainya kita bicara di muka umum, mesti mampu meredam emosi bila istri di rumah sedang marah tanpa alasan, dan bukti yang jelas. Camkan itu."