"Siapa yang keliling, Nduk?" tanya Nek Asri sambil menatap kakinya yang lumpuh.
"Nanti Elis yang titipkan ke warung-warung, sebagian Elis jajakan kepada teman. Pasti laku, karena kue buatan Mbah Do itu, uenak banget, looh!" katanya dengan bersemangat.
"Emang kamu bisa?" tanya Nek Asri lagi.
"Bisa, Nek! Elis kan kuat!" sahut Elis sambil mengacungkan kepalan tinju kecilnya. Mereka tertawa bahagia.
Sejak itu Elis menawarkan kue buatan sang nenek ke setiap warung yang dilewatinya. Kini sudah enam warung yang sudah menjadi langganannya.
Jika kue itu tak habis, mereka akan membagikannya kepada para tetangga, dan sisanya mereka makan sendiri, untuk pengganjal perut.
"Kuenya kenapa dibagi-bagikan, Nek?" tanya Bi Surti istri Mang Bari.
"Iya, Ti. Tidak laku dijual, mending dibagi-bagikan, biar kemakan dan tak jadi mubazir. Ini tolong minta Bari bawa ke mushollah, agar dimakan anak-anak sepulang ngaji nanti!" kata Nek Asri sembari mendorong tempat kue berwarna biru itu ke arah Surti.
"Iya, Nek. Terima kasih, semoga besok kue buatan nenek laris..., aamin." sahut Surti sambil meraih tempat kue itu, sambil mengucap doa dan mengusap wajah.
"Aamin ya robal alamin...," sahut Nek Asri sambil mengusap wajah tuanya.
"Nek, ayuk masuk rumah, udah maghrib, nih!" tegur Elis yang sudah berganti baju untuk berangkat mengaji.