"Sarapan dulu dengan kue yang Mbah taruh di meja itu, ya!" kata Nek Asri sambil menarik tubuhnya, yang sebagian mengalami kelumpuhan, menuju ke ruang depan.
"Mbah, nggak usah nganterin! Elis sudah besar, mending Mbah istirahat dulu, ya!" tegur Elis yang melihat sang nenek bergegas ke depan.
Kebiasaan Nek Asri yang ingin sekali, memandang cucunya berangkat sekolah. Tak jarang mata tuanya meneteskan air mata, saat melihat Elis yang terseok, mengangkat kantong plastik merah, berisikan puluhan kue-kue, untuk dititipkan ke setiap warung langganan, di sepanjang jalan menuju sekolah.
"Kali ini akan lebih berat dari kemarin, Nduk!" kata Nek Asri bergetar, "kamu pasti kelelahan...," ujarnya lagi sambil menatap wajah cucunya dengan sedih.
"Mbah tahu, kan? Elis ini anak kuat...," sahut Elis sambil mengacung kepalan tinju kecilnya dengan senyum semringah.
"Kamu itu...," omel Nek Asri sambil menepuk punggung Elis pelan, "udah sana cepetan sarapan gandasturi kesukaan kamu, tuh!" seru sang nenek sambil tersenyum, "biar kuat menghadapi kenyataan hidup!" ledek Nek Asri sambil tetap memaksa tubuh tuanya menuju teras.
Dia sempat melirik cucunya, yang langsung meraih kue gandasturi yang tak berbentuk itu. Elis terbiasa memakan kue hasil sortiran. Kue yang berbentuk bagus akan dijual, sedangkan yang tak berbentuk sempurna, akan mereka makan sendiri.
Setelah selesai memakan beberapa potong kue sortiran itu, Elis langsung mengangkat kantong plastik merah itu.
"Ups!" desisnya pelan.
Dia melirik sang nenek yang sudah tak berada di tempatnya tadi. Ternyata Nek Asri tetap sudah duduk manis, di balai bambu depan rumah, untuk menghantarkan sang cucu kesayangan berangkat sekolah.
"Huh, pasti bisa, aku kan kuat!" gumam Elia menyemangati diri.