Mohon tunggu...
Ermansyah R. Hindi
Ermansyah R. Hindi Mohon Tunggu... Lainnya - Free Writer, ASN

Bacalah!

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Dari Wujud Spiritual ke Wujud Seksual

4 November 2022   17:55 Diperbarui: 5 Juni 2023   12:21 383
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi wujud Spiritual yang Terseksualkan (Sumber gambar: amazon.com)

3 November di setiap tahun diperingati sebagai Hari Kerohanian. Kenyataannya, orang-orang lebih memilih kegiatan sehari-hari seakan-akan tidak ada kaitannya dengan pemenuhan spiritual (rohani) mereka. Dunia materi mungkin lebih kuat tarikannya ketimbang spiritual di zaman now.

Jika kita mendengar dan menyaksikan bagaimana seseorang atau kelompok orang di tempat tertentu dengan mengatakan, bahwa seseorang lebih senang pergi menonton orkes, konser musik, pasar malam, dan tempat keramaian lain, ketimbang mengikuti kajian agama, mendengar musik religi, merayakan hari besar agama atau sembahyang di rumah ibadah. 

Anak-anak sekarang lebih kepincut dengan TikTok, gaming hingga demam K-Pop. Buku pelajaran diganti dengan mainan di layar virtual. 

Begitulah gejala dan fenomena umum yang terjadi di sekitar kita. Masih banyak contoh lain yang menggambarkan wujud spiritual direnggut oleh hal-hal yang lebih ‘nikmat’.

Pada ksempatan ini, sedikit menelisik relasi antara hasrat seksual dan cahaya spiritual dalam kehidupan

Apakah relasi antara keduanya sudah muncul sejak manusia lahir atau tidak? 

Apakah keduanya hanyalah permasalahan relasi, yang silih berganti muncul dari salah satunya saat ada celah atau retakan?

Anak-anak atau sebagian dari orang dewasa pusing jika hanya monoton terhadap obyek atau hal-hal yang tidak asyik atau nikmat. Mereka mungkin “haus” akan hiburan. Seseorang nyaris seharian menghadapi permasalahan yang menegangkan, maka dia perlu penyaluran. Di situlah tantangan wujud spiritual.

Hingga abad ke dua puluh satu dan hingga abad kapanpun, permulaan yang menarik bagi politik, ekonomi, teknik, seni, hingga isu agama melalui rangsangan perbincangan tentang seks atau sesuatu yang seksual. 

Biarpun rezim kuasa negara mencoba memerangi hasrat seksual yang menubuh dalam media-melalui situs porno, tetap saja ia leluasa menyatakan wujudnya yang lain yang berpindah dari satu medium ke medium lain. 

Begitu pula ketika manusia sedang mengalami puncak kemakmuran material akan terjatuh dalam kehampaan jati diri dan ketidakhadiran makna dalam kehidupan yang pada akhirnya seseorang juga merindukan nuansa spiritual dalam dirinya, bahkan sekalipun tidak menganut ‘agama formal’. 

Kerinduaan terhadap spiritual sebagai sesuatu yang abstrak seperti juga dari hasrat dan pikiran. Kehampaan jati diri dan ketidakhadiran makna dalam kehidupan bukan berarti seseorang membutuhkan mode berpikir secara esensial.

Karena itu, sebagaimana hasrat, wujud spiritual menandakan sesuatu yang imanen. Kedua energi itu perlu penyaluran yang terkontrol melalui tubuh bersifat jasmani, dimana unsur abstrak  yang dibentuk dari lapisan lain menyatu dan memisahkan dirinya, mengarah pada keterlintangan-keterpotongan (transversalitas) dalam kehidupan. 

Tetapi, kita tidak melepaskan hubungan kedua energi tersbut yang menjadikan salah satu dari unsur abstrak mampu bertahan akibat mekanisme yang bekerja terjalin antara unsur materi dan kehidupan seksual. Jadi, mekanisme terjadi melalui pendidikan spiritual beriringan dengan disiplin seksual.

Apalah jadinya kehidupan dihadirkan sebagai bagian dari pergeseran yang lebih luas menuju paradigma spiritual pasca-materialis baru secara menyeluruh, tatkala kita memang masih berada dan kita tidak dapat melepaskan dari ‘energi spiritual yang terseksualkan secara materialis’ yang justeru membuatku tidak mengerti apa itu “baru.”

Terlepas apakah itu berupa tarian retorika atau bukan, diskursus pendidikan seks atau seksualitas menyelimuti pelatihan spiritual tanpa sudut pandang kesadaran atas kesatuan dari seluruh kehidupan di bumi. 

Diskursus seksualitas bukanlah bahaya yang mengancam kehidupan dari segala penjuru, tetapi sebagai satu penyebab munculnya kebenaran di saat kebenaran lainnya telah hancur. Diskursus seksualitas dengan seluruh wujud menyertainya bertugas untuk ‘lebih’ mencairkan dan mengasam-garamkan kehidupan termasuk dalam kehidupan spiritual.

Pergerakan spiritual ‘yang tersembunyi’ tidak membutuhkan ideologi yang berbeda dengan kehidupan seksual jauh lebih dekat pada instrumen dan eksploitasi teknologi akibat keserakahan individualis; yang apapun dapat dipisahkan dari kondisi sosio-ekonomi sebagai bagian dari relasi produksi kapitalis yang terpesona pada hasrat atas kehidupannya yang mereka sendiri impikan. 

Satu sisi, kehidupan sehari-hari tidak menuntut persetubuhan antara Bapak spiritual dan seksual, melainkan sesuatu yang melekat sebagai ‘orientasi’, ‘dorongan’ dan ‘motif’ dibanding dengan sasaran dan tujuan hidup. 

Pada sisi lain, relasi kehidupan yang termaterialisasi, ia masih menjadi kehidupan yang terautomatisasi, sehingga semuanya itu perlu dihasrat seksualkan sebagai bagian cara untuk mengatasinya melalui pelatihan spiritual. 

Energi spiritual tidak bertentangan dengan energi seksual, kecuali kerakusan, eksploitasi atau perbudakan dalam kehidupan.

Perbedaan antara spiritualitas dan logosentrisme mengantarkan pada halaman dari bangunan pengetahuan sesudahnya merupakan kehidupan seksual yang ditarik ulur menjadi permasalahan moral. 

Padahal, kehidupan seksual bukanlah permasalahan moral dan intelektual sejauh hal itu menjadi bagian dari kehidupan perlu dipertanggungjawabkan di hadapan mahkamah sejarah atau diskursus filosofis dan ilmu pengetahuan sebelumnya.

Nyatalah, tatkala dikatakan energi spiritual jalin menjalin dengan energi seksual yang sama-sama sebagai bagian dari energi abstrak yang sesungguhnya tidak memiliki keterkaitan dengan permasalahan estetika, pada saat ‘keindahan yang nyata’ sulit dikenali sebagai ‘keindahan sejati’ dalam dunia virtual sekaligus dalam kehidupan itu sendiri. Ataukah segalanya yang ada hanyalah pseudo-spiritualisme Timur dan pseudo-seksualitas Barat menjadi selera humor yang murahan? 

Timur dan Barat sama saja sekaligus berbeda dalam orientasi dan dorongan spiritual dan seksual. 

Begitulah pernyataan sederhananya, entah termaafkan atau tidak, yang penting lebih bertanggung jawab dalam kehidupan daripada melarikan diri ke wujud seksual non manusia.

Dalam proses kehidupan, saya sendiri tidak mengerti mengenai ‘kajian kebahagiaan’ sebagai ungkapan bernilai ilmiah dari “spirit baru” yang dikatakan sebagai bagian dari titik kebangkitan ‘disiplin baru seksual’. 

Setelah itu, perhatian besar dalam zaman hedonisme yang terspiritualkan berbeda dengan ‘energi spiritual yang terseksualkan’ dalam kehidupan. Mungkin berbeda dalam kehidupan anak-anak yang cenderung tidak mencapai tingkat pemikiran yang melampaui dirinya untuk memiliki motif masing-masing individu dalam merahi kebahagiaan yang berbeda dengan usia dewasa, orang tua atau kelompok masyarakat lain. 

Pengejaran kebahagian sama pentingnya penyaluran energi seksual secara sehat dan tepat dalam kehidupan. Apabila sasaran dan tujuan kebahagian dalam kehidupan tidak tercapai, tidak perlu lagi ada motif dan dorongan yang berasal dari kehidupan yang membahayakan dan mengorbankan seseorang atau kelompok masyarakat.

Merahi kebahagiaan tertuju pada proses interiorisasi (pemenuhan diri bersifat batiniah). Ia bukanlah proses psikologisasi dalam kehidupan spiritual, dimana tahapan yang terakhir bersama energi seksual keluar dari mata rantai kegiatan yang bersifat keduniaan.

Dalam wujudnya yang terbuka, teracak dan terbagi-bagi, energi spiritual yang terseksualkan membebaskan dirinya dari kategori penyelidikan anak-anak Balita. 

Berbagai kehidupan dari cara diisi dan didinamisasi dengan ‘energi spiritual yang terseksualkan’ dalam masyarakat tidak berdasarkan keintiman yang nyata dari seseorang.

Mungkin kita tidak cukup membeberkan ‘rasa malu’ dari kekeringan spiritual atau aib dari kekerasan seksual, tetapi diantara keduanya. 

Dalam kehidupan spiritual dan seksual bukan lagi untuk mempertahankan tujuan pengorbanan, kecuali disiplin seksual dan pelatihan spiritual yang terseksualkan melalui tubuh dengan segenap ajaran dan pengaturan yang dibentuknya.

Dari sini, energi spiritual yang terseksualkan berbeda dengan sabda, nalar, kesadaran ilahi, dan ramalan (logosentrisme) ala Derrida tidak menganjurkan begitu saja seluruh ajaran untuk ditelan bulat-bulat.

 Apa yang telah dibentuk sebelumnya sebagai pengetahuan mengenai “akhir zaman”. 

Mungkin juga agak berlebihan dari kebenaran yang menggelikan, saat orang-orang tidak lagi menantikan ‘Spiritualitas Zaman Baru’ diharapkan menjadi cahaya yang menyinari dalam kegelapan, dalam kelenyapan rujukan dan makna dalam kehidupan. Bahkan, orang-orang tidak mengharapkan lagi kehadiran kembali ajaran moral yang dipolesi warna spiritual tertentu, yang dinetralisir dengan penyimpangan seks yang suram, berbeda dengan keilahian.

Pengetahuan manusia akan hidup seribu tahun perlahan-lahan mulai redup, karena tumpuan kehidupan spiritual yang terseksualkan atau seksual yang terspiritualkan nampak tidak terhayati. 

Zaman baru menuntut dan menjadikan ‘energi seksual yang terspiritualkan’ diharapkan sebagai orientasi dan kekuatan dalam kehidupan. 

Orang-orang mungkin tidak menganggap permasalahan mengapa terjadi ironi dan ekstasi dalam kehidupan, yang betul-betul lebih ‘hidup’ dibandingkan keadaan sebelumnya.

Siapa paling kuat antara kehidupan spiritual dan kehidupan seksual di tengah dunia virtual, sesungguhnya kedua energi tersebut tidak berlawanan antara satu dengan yang lain. Kehidupan kita sekarang tidak lebih bersemangat dibandingkan tubuh seksual yang melipatgandakan energi kehidupan yang ‘tidak terbatas’. Kedua energi tersebut saling menopang dan saling berinteraksi. Tubuh murni (fisik) tidak bermaksud untuk menentang tubuh seksual, karena tubuh murni telah berlapis berapa kali lebih kuat dari sebelumnya. 

Kehidupan seksual tidak mengendalikan dan menyerap energi lain selain tubuh yang membantunya menjadi lebih kuat memancar melebihi dirinya sendiri. Sehingga memberi hak untuk ‘hidup’, atas kehidupan yang lebih menantang dan bersinar, sekalipun tanpa pendidikan simbolik (guru spiritual dan murid, seksolog dan peserta).

Wujud seksual mungkin bisa dikuantitaskan dalam indeks kesenangan nyata. Agar orang-orang tidak terperangkap dalam jejak-jejak atau dalam ingatan, maka wujud spiritual mesti lebih mendahului setiap mekanisme disiplin melalui tubuh yang dibentuk wujud seksual. 

Dalam diri sendiri, kehidupan spiritual yang berganti dengan kehidupan seksual mampu merangsang sesuatu di luar dirinya. Ia tidak berdasarkan norma yang dikendalikan kuasa atas tubuh. Tidak ada orang yang dapat ditindas hanya karena perubahan kehidupan datang dari hasrat seksual.

Persfektif manusia Barat dan Timur dalam kehidupan spiritual dan seksual bukan pertama kali menolak, bahwa diri mereka tercermin bagai dalam ‘biologi’ secara politis. 

Bukanlah pada kenyataan yang dibuat-buat, seakan-akan mereka mengarungi hidup dan kehidupan dipancarkan olej energi spiritual dan menyerap seksual agar saling memisahkan dan menjalin kembali antara satu sama lain. Keduanya akan terpenuhi dari masa ke masa dengan takdir kematian, sekalipun ditantangnya sebagai prasyarat untuk menerobos dan mewaspadai setiap wilayah pengendalian pengetahuan atau kuasa. 

Lantas, kuasa negara tidak mengurusi kehidupan karena ia dibumbuhi dan melekat padanya suatu hasrat seksual secara ‘non institusional’ yang membuatnya saling menopang antara satu dengan lainnya. 

Ia bukanlah perintah untuk menggambarkan, bahwa hanya kehidupan perlu didandani dan diluapi oleh nafsu melalui tatanan hidup yang menyentuh tubuh ‘yang terinstitusionalkan’.

Lebih lanjut, kehidupan seksual bukanlah simbol dan tanda, sasaran dan tujuan, melainkan kuasa melalui produktifitas dan afirmasi, sehingga hidup, pengetahuan, dan disiplin seksual itu sendiri tidak di pihak norma dan peraturan yang bersifat represif. 

Pergerakan teknologi baru akan menciptakan jaringan baru. Disiplin seksual dibentuk oleh diskursus melalui tubuh tidak berada pada pihak hukum, pelanggaran, simbol, dan pengakuan.

 Karena itu, tubuh menjadi pengantar keintiman dan kenikmatan seksual dalam kehidupan. Pertukaran dan perpindahan kenikmatan bukan disaat pudar atau sekaratnya spiritualitas, lantas begitu saja diarahkan dan diambil-alih oleh kehidupan seksual. 

Dalam kehidupan nyata, wujud spiritual yang terseksualkan menerobos ritus mata rantai produser-kuasa-modal juga semakin nyata di depan mata membuat energi seksual tidak mengenal usia anak-anak dan dewasa.

Begitulah yang terjadi, paradoks kehidupan pribadi, keluarga dan jaringan sosial, dimana pelatihan spiritual menanggulangi tindakan pelecehan atau kekerasan seksual yang intensitasnya di hari-hari terakhir semakin nampak biasa-biasa saja. Melubernya kekerasan seksual dan wujud seksual dalam citra virtual begitu sulit diinterupsi yang tergiring dalam citra virtual. 

Sebaliknya, penyaluran hasrat 

seksual secara sehat, tepat dan terinstitusionalkan akan mencairkan kekeringan spiritual sebelum dan setelah sekarat mendekatinya. Sasaran dan tujuan kehidupan spiritual tidak dapat dipisahkan hasrat dalam kehidupan seksual selanjutnya. Lain halnya, “Aku” ada dalam “Aku berhasrat seksual”, bukan “Aku ada dalam “Aku berpikir”. Dalam Cogito Cartesian, ada kehidupan yang tidak jauh dari wujud abstrak melalui energi spiritual, tetapi pencapaian disiplin, orientasi dan dorongan kehidupan memihak pada jenis kehidupan seksual yang lebih cair dan kreatif. 

Apabila jenis kehidupan seksual dijauhi dan dikebiri dalam a priori sejarah dan bahasa akan memengaruhi kelangsungan hidup lain.

Tibalah pada salah satu gambaran kehidupan yang sederhana, tetapi kompleks dengan apa yang terjadi. 

Dalam kegiatan spiritual secara formal memiliki logika tersendiri melalui tubuh seksual dalam kaitannya proses pembersihan, kebersihan dan ritual. Misalnya, bagaimana energi spiritual tersebut mendekati batasan waktu untuk memepertimbangkan sentuhan tubuh seksual yang mengalami proses pembersihan diri berlangsung selama ‘sekali dalam seminggu’ atau ‘lima kali dalam sehari ritual ibadah’ dengan memerhatikan ‘matematisasi waktu’.

Selama proses pembersihan diri berlangsung melalui kehidupan spiritual, seseorang tidak sekadar melakukan ritual ibadah, tetapi juga memerhatikan “matematisasi waktu”, seperti anti-bom waktu, yang pada akhirnya berhenti beroperasi akibat ‘sentuhan seksual’. 

Dari selang waktu kegiatan spiritual, mata kita mengarah pada titik pergerakan waktu. Seseorang akan mengetahui pukul berapa dimulai dan selesai ritualnya. 

Pergerakan ritual meningkat sesuai dengan berapa lama mekanisme disiplin seksual beroperasi dalam kehidupan.

Hasrat untuk mengetahui petualangan spiritual berarti juga akan mengakhiri kehampaan spiritual. Hanya penyebaran, tetapi titik kelambanan pergerakan revolusi spiritual, dibandingkan pergerakan revolusi seksual dalam kehidupan. Pornografi-cyberporn-sex menjadi anti-revolusi spiritual. 

Berkenaan dengan pembimbingan spiritual bukan untuk mengendalikan hasrat seksual, melainkan untuk membebaskan ego yang represif dalam kehidupan seksual non manusia (seperti dunia virtual dan barang-barang konsumtif yang membujuk rayu).

Gaya hidup dan cara berpikir di ruang siber membuat kita segera membayangkan generasi milenial dan gen Z. Betapa daya tarik seksual sangat kuat seiring kebutuhan “segera” (sembako). 

Sudah banyak hasil penelitian dan pengamatan tentang dampak wujud seksual terhadap generasi muda. Dari segi spiritual merupakan tantangan, jika manfaatnya nampak lebih cekung ketimbang kerugian yang ditimbulkan oleh media sosial dan internet. Bisa dikatakan, pengelolaan teknologi digital nan canggih, semuanya tergantung pribadi seseorang.

Pengelolaan kehidupan yang terbuka dan beragam akan menandakan mekanisme kuasa atas pribadi. Diri pribadi akan mengarah pada mode wujud melalui kenikmatan spiritual sebagai batas relasi timbal-balik kenikmatan seksual. ‘Wujud tertinggi’ dari spiritual menjadi ‘wujud seksual’. 

Jika kita masih memercayai pikiran, keduanya merupakan pilihan. Cobalah kita membayangkan bagaimana wujud spiritual bisa beroperasi dan mencapai tempat tertinggi, jika sekiranya setiap pribadi tanpa melalui atau ditopang oleh tubuh. 

Begitu pula wujud seksual tidak berdaya apa-apa tanpa ditopang oleh tubuh dan hingga melintasi permukaan tubuh itu sendiri.

Kita tidak membicarakan lagi sumbu perjuangan spiritual melawan kenajisan. Paling penting dari pertanyaan pokok adalah bagaimana paradoks tetap melekat pada wujud spiritual yang (anti) terseksualkan dalam kehidupan. “Aku berpikir” telah berakhir sejak seksualitas, kebenaran, dan subyektifitas memiliki keterkaitan yang kuat dalam kehidupan bersama yang nyata. 

Disini, “Aku berhasrat seksual” mengenai bagaimana proses pembersihan diri dari masturbasi atau puberitas bagi anak laki-laki dan perempuan sebagai kondisi penting untuk menjalani ritual ibadah, dalam kehidupan seksual.

Kuasa atas diri dalam hasrat seksual secara sehat dan terkendali merupakan bagian dari kehidupan spiritual. 

Mekanisme disiplin seksual sejalan dengan displin kuasa dengan produser tertentu untuk menjalankan strategi. 

Tetapi, sejauh mana orientasi, dorongan dan motif terlibat, kuasa spiritual bukan untuk menindas kehidupan seksual dari kelompok usia penduduk tertentu. Kuasa negara turut terlibat di luar urusan pribadi seseorang sejauh kehidupan seksual diindahkan sesuai alur prosedur atau regulasi yang sehat, logis, dan produktif bagi kehidupan lain.

Setiap orang bukan hanya untuk dirinya sendiri sejauh memiliki kuasa untuk mengetahui dan kuasa untuk berhasrat seksual. Hasrat seksual yang disiplin sejalan mekanisme atau orientasi kuasa darinya beroperasi sesuai kenormalan, bukan normalisasi, perpindahan, dan kelintangan, bukan juga berdasar perbedaan-perbedaan dari pihak lain.

Kuasa atas diri dalam hasrat seksual merupakan relasi timbal-balik, dari energi abstrak dalam kehidupan. Pada satu pihak, kuasa tidak mendiktekannya pada pihak lain secara represif, melainkan secara re-orientatif dalam kehidupan yang lebih waspada dan begitu memikat. 

Kehidupan seksual lebih dipahami sebagai dorongan dan motif bagi kehidupan lain. Ia akan mengalami sesuatu bukan terhadap oknum yang dicurigai, melainkan perpindahan dan pelibatgandaan energi kehidupan yang lebih baru selama kehidupan tanpa kuasa tunggal.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun