Padahal, kehidupan seksual bukanlah permasalahan moral dan intelektual sejauh hal itu menjadi bagian dari kehidupan perlu dipertanggungjawabkan di hadapan mahkamah sejarah atau diskursus filosofis dan ilmu pengetahuan sebelumnya.
Nyatalah, tatkala dikatakan energi spiritual jalin menjalin dengan energi seksual yang sama-sama sebagai bagian dari energi abstrak yang sesungguhnya tidak memiliki keterkaitan dengan permasalahan estetika, pada saat ‘keindahan yang nyata’ sulit dikenali sebagai ‘keindahan sejati’ dalam dunia virtual sekaligus dalam kehidupan itu sendiri. Ataukah segalanya yang ada hanyalah pseudo-spiritualisme Timur dan pseudo-seksualitas Barat menjadi selera humor yang murahan?
Timur dan Barat sama saja sekaligus berbeda dalam orientasi dan dorongan spiritual dan seksual.
Begitulah pernyataan sederhananya, entah termaafkan atau tidak, yang penting lebih bertanggung jawab dalam kehidupan daripada melarikan diri ke wujud seksual non manusia.
Dalam proses kehidupan, saya sendiri tidak mengerti mengenai ‘kajian kebahagiaan’ sebagai ungkapan bernilai ilmiah dari “spirit baru” yang dikatakan sebagai bagian dari titik kebangkitan ‘disiplin baru seksual’.
Setelah itu, perhatian besar dalam zaman hedonisme yang terspiritualkan berbeda dengan ‘energi spiritual yang terseksualkan’ dalam kehidupan. Mungkin berbeda dalam kehidupan anak-anak yang cenderung tidak mencapai tingkat pemikiran yang melampaui dirinya untuk memiliki motif masing-masing individu dalam merahi kebahagiaan yang berbeda dengan usia dewasa, orang tua atau kelompok masyarakat lain.
Pengejaran kebahagian sama pentingnya penyaluran energi seksual secara sehat dan tepat dalam kehidupan. Apabila sasaran dan tujuan kebahagian dalam kehidupan tidak tercapai, tidak perlu lagi ada motif dan dorongan yang berasal dari kehidupan yang membahayakan dan mengorbankan seseorang atau kelompok masyarakat.
Merahi kebahagiaan tertuju pada proses interiorisasi (pemenuhan diri bersifat batiniah). Ia bukanlah proses psikologisasi dalam kehidupan spiritual, dimana tahapan yang terakhir bersama energi seksual keluar dari mata rantai kegiatan yang bersifat keduniaan.
Dalam wujudnya yang terbuka, teracak dan terbagi-bagi, energi spiritual yang terseksualkan membebaskan dirinya dari kategori penyelidikan anak-anak Balita.
Berbagai kehidupan dari cara diisi dan didinamisasi dengan ‘energi spiritual yang terseksualkan’ dalam masyarakat tidak berdasarkan keintiman yang nyata dari seseorang.
Mungkin kita tidak cukup membeberkan ‘rasa malu’ dari kekeringan spiritual atau aib dari kekerasan seksual, tetapi diantara keduanya.