Kerinduaan terhadap spiritual sebagai sesuatu yang abstrak seperti juga dari hasrat dan pikiran. Kehampaan jati diri dan ketidakhadiran makna dalam kehidupan bukan berarti seseorang membutuhkan mode berpikir secara esensial.
Karena itu, sebagaimana hasrat, wujud spiritual menandakan sesuatu yang imanen. Kedua energi itu perlu penyaluran yang terkontrol melalui tubuh bersifat jasmani, dimana unsur abstrak yang dibentuk dari lapisan lain menyatu dan memisahkan dirinya, mengarah pada keterlintangan-keterpotongan (transversalitas) dalam kehidupan.
Tetapi, kita tidak melepaskan hubungan kedua energi tersbut yang menjadikan salah satu dari unsur abstrak mampu bertahan akibat mekanisme yang bekerja terjalin antara unsur materi dan kehidupan seksual. Jadi, mekanisme terjadi melalui pendidikan spiritual beriringan dengan disiplin seksual.
Apalah jadinya kehidupan dihadirkan sebagai bagian dari pergeseran yang lebih luas menuju paradigma spiritual pasca-materialis baru secara menyeluruh, tatkala kita memang masih berada dan kita tidak dapat melepaskan dari ‘energi spiritual yang terseksualkan secara materialis’ yang justeru membuatku tidak mengerti apa itu “baru.”
Terlepas apakah itu berupa tarian retorika atau bukan, diskursus pendidikan seks atau seksualitas menyelimuti pelatihan spiritual tanpa sudut pandang kesadaran atas kesatuan dari seluruh kehidupan di bumi.
Diskursus seksualitas bukanlah bahaya yang mengancam kehidupan dari segala penjuru, tetapi sebagai satu penyebab munculnya kebenaran di saat kebenaran lainnya telah hancur. Diskursus seksualitas dengan seluruh wujud menyertainya bertugas untuk ‘lebih’ mencairkan dan mengasam-garamkan kehidupan termasuk dalam kehidupan spiritual.
Pergerakan spiritual ‘yang tersembunyi’ tidak membutuhkan ideologi yang berbeda dengan kehidupan seksual jauh lebih dekat pada instrumen dan eksploitasi teknologi akibat keserakahan individualis; yang apapun dapat dipisahkan dari kondisi sosio-ekonomi sebagai bagian dari relasi produksi kapitalis yang terpesona pada hasrat atas kehidupannya yang mereka sendiri impikan.
Satu sisi, kehidupan sehari-hari tidak menuntut persetubuhan antara Bapak spiritual dan seksual, melainkan sesuatu yang melekat sebagai ‘orientasi’, ‘dorongan’ dan ‘motif’ dibanding dengan sasaran dan tujuan hidup.
Pada sisi lain, relasi kehidupan yang termaterialisasi, ia masih menjadi kehidupan yang terautomatisasi, sehingga semuanya itu perlu dihasrat seksualkan sebagai bagian cara untuk mengatasinya melalui pelatihan spiritual.
Energi spiritual tidak bertentangan dengan energi seksual, kecuali kerakusan, eksploitasi atau perbudakan dalam kehidupan.
Perbedaan antara spiritualitas dan logosentrisme mengantarkan pada halaman dari bangunan pengetahuan sesudahnya merupakan kehidupan seksual yang ditarik ulur menjadi permasalahan moral.