Akhirnya, hasil autopsi atas korban meninggal di rumah sakit akibat pendarahan pada otak dan patah tulang leher. Sesuatu yang dipersepsikan bukan kematian yang indah.
Dari berita beredar, peristiwa pemerkosaan sebagai penyimpangan seks, secara hukum negara, hukum agama, dan adat istiadat bukanlah struktur tunggal.
Diawali dengan pesta minuman keras. Pria pelaku pemerkosaan itu tidak mengajak kencan.
Hanya pertemanan biasa menjadi luar biasa, yang dipicu oleh efek minum. Berurutan peristiwanya hingga kenikmatan seks yang suram dan keji terjadi saat terluka akibat kecelakaan.
Disitulah kebenaran dari wacana seksualitas. Orang-orang terdahulu sudah membicarakan, dimana ada pesta minuman keras, di situ ada ruang bebas bagi seks menyelinap dalam pikiran, yang disalip oleh nafsu gelap yang tiran.
Seakal-akal bulusnya pelaku pemerkosaan akan lebih lihai dan cerdas setan yang intelek.
Pelaku pemerkosaan atas korban yang terluka akibat kecelakaan menurut saya lebih dekat satu langkah dengan sodomi, inses, dan bahkan bersetubuh dengan mayat. Semuanya dicap sebagai bentuk ekstrim dari penyimpangan seks, yang “melawan alam” dianggap paling memuakkan.
Bagi penganut seks bebas berkata, biarkanlah mereka berbuat begitu. Menyalurkan nafsu berahi itu pilihan dirinya sendiri, itu adalah hak individu yang dipilih secara bebas.
Nafsu seks yang menyimpang adalah konsekuensi dari pilihan. Yang penting tidak mengganggu kesenangan pihak lain.
Sebaliknya, kaum moralis dengan akal budi atau nuraninya bertentangan dengan pemerkosaan sebagai penyimpangan seks.
Apa boleh buat. Orang mungkin geram sampai di ubun-ubun. Kita menyebut keparat atau laknat pada pelaku pemerkosaan. Padahal, relakah orang dipanggil binatang? Dia ‘menjadi binatang’.