Puisi : Edy Priyatna
Memaklumi getarannya dengar suaranya. Harapan paham persamaan bunyi kumandang. Bahana ketika dilangit biru berhitam. Mata air menjulang dibawah rumpun bambu. Betung saat sawah mulai meninggi. Rantingnya tergerai diringi suara tiruan bunyi. Kandungan papan bersangit kau bersisa. Masih tengah mendengar resonansinya.
Getaran malammu terhalang kabut. Halimun merah jingga hanya terbayang. Tergambar dibalik mega hitam. Bercak rindu mulai mengambang menggantung diri. Muncul diatas langit turun perlahan. Satu demi satu tanah hambar lembut. Kosong dengan gemas membuat kobaran. Gejolak api sepi menjadi remang.
Keras setelah lepas dari pandangan. Tak terhindar pada mataku lihatmu rindu. Gelebah lihat rinduku juga langkahkan. Aksi satu kaki kuraih tubuh membentang. Hampar kupegang tangan tanahku peluk. Rangkul batang sawah kubelai pulau kucium. Membaca ingin rasanya menemani. Beserta kekasih mulutmu demi berahi.
Berdiri pengantarnya seperti tak terjadi. Tepat apa waktu itu senja mulai datang. Singgah bersama mega hitam ini. Kelam sudah masuk musim gerimis. Tahi angin kata orang disini mestinya. Wujud hujan namun nan tiba hanya gabuk. Angin faktornya amat tajam diasah. Sketsa mesummu melukai dan membakar.
(Pondok Petir, 06 Oktober 2019)