Mohon tunggu...
ENNY Soepardjono
ENNY Soepardjono Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Seorang senior citizen yang mencintai hidup dan mencoba bersyukur atas kehidupan itu sendiri

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Supaya Hidup Berkecukupan, Harus Sabar dong

18 November 2014   14:23 Diperbarui: 17 Juni 2015   17:32 287
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Acapkali saya mendengar gurauan prihatin kawan-kawan “Sudah bekerja bertahun-tahun, koq gini-gini saja. Hidup tetap dari kontrakan yang satu ke yang lainnya, boro-boro punya mobil, masih naik kendaraan umum melulu”. Atau ledekan saat reuni “pulangnya naik bus yang nomor berapa ?”… kemudian berlanjut “koq gak ada perbaikan hidup ”, maksudnya koq masih juga mengejar-ngejar kendaraan umum, bukan naik mobil pribadi.

Pengalaman mengatakan bahwa tiada yang instant di dunia ini, semua perlu proses. Demikian pula proses untuk bisa hidup berkecukupan. Untuk saya berkecukupan diartikan bukan berlebihan, namun cukup untuk kehidupan primer yang layak sehari-hari : sandang/pakaian, pangan/makanan, papan/tempat tinggal .

Dengan biaya hidup yang semakin tinggi, tentunya tidak mudah sekedar untuk menutup kebutuhan primer ini, terutama mereka yang tinggal di kota-kota besar, seperti Jakarta. Masih banyak penduduk yang masih hidup miskin, boro-boro memikirkan sandang dan papan, memikirkan pangan sehari-hari pun sulit.

Banyak yang tidak sabar untuk bisa cepat-cepat hidup berkecukupan. Kalau cara yang ditempuh adalah cara yang halal, tidak masalah, seperti misalnya dengan bekerja keras,  namun banyak yang kepenginnya cepat-cepat berkecukupan / kaya dalam waktu singkat.

Saya ingin membagikan pengalaman seorang teman, saat dia baru meniti karir. Dalam waktu singkat, dia bisa menduduki jabatan menengah di suatu perusahaan nasional. Demikian pula si isteri menduduki jabatan yang lumayan. Kemudian mereka  dikarunia seorang puteri, dan sejak saat itu, si isteri mengundurkan diri dari pekerjaannya karena ingin konsentrasi mengurus anaknya.

Kemudian, si Ibu mertua teman menemani istrinya mengasuh si kecil, dan dari situlah masalah timbul karena si mertua, selalu berkomentar saat si teman pulang dari kantornya “berangkat pagi, pulang hari gelap, gajinya segitu-gitu saja”.. Sebagai lelaki, harga dirinya terinjak-injak, dan dia ingin membuktikan bahwa dia bisa lebih daripada yang sekarang.

Akhirnya dia keluar dari pekerjaannya, dan berwiraswasta, awalnya dia menggunakan dana tabungannya untuk modal usaha, namun karena keinginannya untuk cepat maju, dia berani hutang ke bank. Selain itu, keluarga si istri juga ikut menanamkan modalnya. Namun, nampaknya perhitungannya tidak sejalan dengan hasilnya, dan hutangnya makin menggurita yang tidak bisa dibayar.

Karena kesulitan keuangan itulah, rumahnya disita bank, dan yang paling tragis, keluarga si istri marah dan mengambil paksa si istri beserta anaknya sampai sekarang. Si suami ditampung oleh saudaranya kandungnya, dan hidup terpisah dari anak istrinya.

Pelajaran apa yang bisa dipetik dari pengalaman ini ?

1.. benar, kita harus punya tujuan hidup, termasuk hidup berkecukupan sandang, pangan, papan, namun harus disadari bahwa itu perlu proses dan waktu, tidak instant, belajarlah dari orang-orang sukses yang harus jatuh bangun dalam meniti hidupnya

2.. jangan terprovokasi / terpengaruh oleh orang lain untuk secepatnya hidup berkecukupan, seperti kasus di atas, ukurlah kekuatan sendiri.

3.. harus selalu memegang teguh prinsip kehati-hatian dalam berusaha agar tidak terlibat  hutang yang  tidak bisa terbayar

4.. sedapat mungkin, jangan menjaminkan rumah tinggal sebagai agunan untuk usahanya. Contoh lain lagi  adalah tetangga saya, yang terpaksa harus pindah rumah gara-gara rumah tersebut dijadikan agunan usaha, dan pindahnya malam-malam karena takut diketahui tetangga

5.. last but not least, jangan menggunakan hak orang lain untuk kepentingan sendiri, contoh  korupsi, demi mengejar kekayaan

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun