Mohon tunggu...
Eni Simatupang
Eni Simatupang Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Mahasiswi Ilmu Komunikasi UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Memiliki jargon "berpikir layaknya Einstein, berimajinasi layaknya Iwan Simatupang". Selalu berimajiner dengan hal-hal yang berbau Sastra, Jurnalistik, Film, Seni, dan Budaya. follow me @enisimatupang

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Artikel Utama

Sampah Visual Bikin Yogya Tak Lagi Berhati Nyaman

9 Oktober 2012   13:04 Diperbarui: 24 Juni 2015   23:02 905
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sudah bukan hal yang baru lagi ketika kita mendegar semboyan “Yogyakarta berhati nyaman”. Bukan hanya dilihat dari sikap masyarakatnya yang selalu terseyum dan menyapa kepada sesama melainkan juga kondisi lingkungan yang relatif lebih bersih dan masih kental akan kearifan lokal. Namun sepertinya semboyan tersebut mulai sedikit tereduksi jika kita berjalan-jalan di beberapa sudut kota ini. Tepatnya di beberapa jalan protokol seperti jalan Malioboro, jalan Magelang, Ringroad (baik selatan maupun utara), Gejayan, jalan Kaliurang, dan jalan Tamansiswa.

Pada beberapa titik tersebut kenyamanan kita (lebih tepatnya para pengguna jalan)sedikit terganggu. Bukan hanyaterganggu oleh polusi udara melainkan juga berbagai jenis papan iklan baik yang bersifat komersil maupun tidak. Pun bentuknyabermacam-macam seperti pamflet liar yangtertempel pada dinding rumah orang lain, tiang listrik atau pagar pinggir jalan. Sebagai contoh misalnya pamflet yang bertuliskan “sedot WC” atau edaran-edaran menjelang pemilihan umum (Pemilu). Lebih besar ukurannya lagi kita sering menjumpai spanduk dan baliho. Bahkan ada yang ukurannya terlalu besar sehingga menutupi pemandangan yang notabene lebih penting untuk dilirik.

[caption id="attachment_210583" align="aligncenter" width="288" caption="iklan sedot WC pada tiang listrik"]

134978547559314401
134978547559314401
[/caption]

Salah satunya adalah Tugu Yogyakarta. Jika kita berjalan dari arah barat, pertama kali yang kita lihat bukanlah situs bersejarah tersebut melainkan baliho besar dari salah satu dealer motordi area sekitar. Begitu pula di beberapa tempat lainnya. Pun ketika hal itu dibiarkan, lama-kelamaan semua ruang publik akan didominasi oleh iklan, terutama iklan luar ruang. Orang seringmenyebutnya sebagai sampah visual.

Tidak semua iklan luar ruang itu buruk. Bukan pula bermaksud men-judge bahwa segala macam bentuk iklan adalah sampah visual. Toh iklan juga sebuah hasil kreativitas anak bangsa yang semua bidang tentu membutuhkan jasanya. Bukan hanya perusahaan saja melainkan juga lembaga pendidikan. Sering kita mejumpai mulai dari tingkat Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) hinggatingkat perguruan tiggi memanfaatkan iklan luar ruang untuk membangun citra dan mencari peserta didik. Baliho-baliho besarmemadati sudut-sudut jalanan kota.

[caption id="attachment_210585" align="aligncenter" width="240" caption="x-banner yang sudah kadaluwarsa"]

13497857961222837422
13497857961222837422
[/caption]

Sampah visualyang saya maksud di sini misalkan iklan yang sudah kadaluwarsa, dalam arti sudah habis masa nya tetapi belum dibersihkan dan masih terpajang mengotori sudut-sudut kota. Pun saya yakin ini bukan hanya terjadi di Yogyakarta melainkan di kota-kota besar lainnya seperti Jakarta, Bandung, Surabaya, Semarang dan lain sebagainya.

Lalu apakah salah beriklan di luar ruang seperti baliho, pamflet, dan sejenisnya?

134978630736082745
134978630736082745

1349786462595398418
1349786462595398418

Hal itu bukan sebuah kesalahan karena adanya klasifikasi jenis iklan, termasuk iklan luar ruang pasti ada manfaatnya. Namun tergantung dari pihak pengguna iklan tersebut apakah rela lingkungan kita “dijajah” oleh sistem marketing mereka?

Sebenarnya kita bisa mengemas iklan luar ruang demi eksistensi kenyamanan kota Yogyakarta. Selain membersihkan kembali papan-papan iklan yangkita pasang saat masanya habis, pun ada media lain yang saya kira lebih ramah lingkungan. Sebut saja kaos dantemporary (tato sementara).

Ketika pemilihan umum (Pemilu) para partai politik (parpol) membagikan kaos dan sticker, kita melihat para tukang becak mengenakan kaos partai juga, Bukan? Bahkan mungkin orang tua kita sendiri juga turutmengenakannya. Itu hanya salah satu contoh saja. Satu lagi misalnya kaos toko baha bangunan. Para pemilik toko biasanya memberikan kaos tersebut kepada para pelanggan. Ketika kaos itu sering dipakai dan banyak yang melihat, otomatis citra toko tersebut terangkat. Semakin banyak orang tahu, semakin banyak pula orang yang penasaran untuk ikut menjadi pelanggan.

Lalu bagaimana dengan produk-produk yang notabene difokuskan untuk remaja? Dekatilah dengan kesenangan-kesenangan mereka. sebut saja temporary (tato palsu). Nampak seperti tato. Melekat di tubuh selama satu bulan. Kita dapat menjumpaiya di sepanjang emperan toko Malioboro. Simpel, bukan? Mari beriklan dengan ramah, Keep creative!

*foto dokumentasi pribadi.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun