Mohon tunggu...
Enggar Murdiasih
Enggar Murdiasih Mohon Tunggu... Asisten Rumah Tangga - Ibu Rumah Tangga

penggemar fiksi, mencoba menuliskannya dengan hati

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Kisah Sepotong: Cermin Retak ~part 2

6 Februari 2017   10:48 Diperbarui: 6 Februari 2017   11:17 420
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Abram meraih ponsel, sambil melonggarkan dasinya ia menelepon Amel.

"Yaang, bisa siapkan baju ganti, untukku? Pak Ikhsan memintaku menemaninya meninjau proyek di Semarang dalam dua tiga hari mendatang."

Sejurus kemudian ...

"Makasih, Sayangkuu!" serunya riang.

Yees, kali ini Amel tak rewel dengan pertanyaan pertanyaan yang tak perlu. Ia menjawab seperlunya, selebihnya hanya meng-iya-kan permintaan suaminya.

~•~•~•~•~

Kekhawatiran pelan-pelan merambati hati Amel. Kepergian Abram kali ini, menyisakan ketakutan yang luar biasa.

Bukan. Ia tak takut kehilangan. Ia tak takut melepas suaminya pergi. Tapi ada sesuatu yang mulai mengusik hati, membuatnya merasa tak nyaman. Amel hanya bisa bergulingan di ranjang, susah memejamkan mata.

Ini malam kedua Abram menginap. Sejak sore, ponselnya susah dihubungi. Amel merutuki dirinya sendiri, kenapa tak menanyakan dimana suaminya itu menginap.

"Duuuhh ... Kenapa aku lupa yaa? Kemarin terlalu was was," gumamnya.

Beberapa kali ia menengok ke arah nakas di sebelah, tapi ponselnya hanya tergeletak. Diam. Tanpa ada pertanda apapun.

Iseng, ia membuka-buka gallery. Memeriksa, beberapa 'skrinsyut' -- screenshot:  chatting tengah malam, perbincangan di WA, obrolan via BBM, atau bahkan di messenger yang disimpannya dalam beberapa file.

"Masih ada. Untunglah," gumamnya. Lega.

Ia tidak tahu, Abram melihat 'simpanannya' itu atau tidak. Entahlah.

~.~.~.~.~

Abram menyisihkan beberapa helai kain batik pesanan Pak Ikhsan, boss di tempat kerjanya.

Dua helai bermotif mega mendung, dua lembar dengan motif sulur tanaman, satu helai batik tulis dengan tehnik sapuan sabut kelapa, dan beberapa lembar kain batik untuk jaritan -- cara berpakaian ala masyarakat Jawa khususnya Jogja dan Solo.

Setelahnya, ia mengeluarkan sehelai kain batik tulis warna ungu, warna kesukaan istrinya.

Kain yang dipesannya pada salah seorang sarjana jurusan batik dari universitas terkenal di Yogyakarta.

"Ini cantik sekali. Pasti cocok dikenakan Amel, dipadupadankan dengan kebaya model kartini warna off white," gumamnya.

Ia tak menyadari, sejak tadi Amel berdiri diam-diam di belakangnya.

"Kamas, kok tidak membangunkan aku? Kapan datang?"

"Eeh ...ooh, sudah bangun, Yang? Tadi kulihat tidurmu nyenyak sekali. Takutnya, nanti pusing kalau dibangunkan mendadak," sahut Abram sambil mendekat.

Setelah mencium kening isterinya, Abram mengulurkan kain batik  di tangannya itu.

"Ini ... hadiah untuk isteri yang cantik."

Amel melongo.

Tunggu. Pilihan Abram kali ini diluar cita rasanya.

Kain batik itu terlihat mahal, motifnya 'tak biasa' ... nampak sekali bila si pembuatnya punya selera seni yang tinggi.

"Kamas, siapa yang memilihkan corak ini?"

"Aku ... Aku memilih sendiri," jawab Abram.

Ragu-ragu.

"Mbeeell ...," sambar Amel.

"Selera Kamas tak pernah sebaik ini sebelumnya," serunya penuh amarah.

Abram mati kutu. Sungguh, hal hal kecil seperti itu tak dipikirkannya lebih dulu. Ia seakan lupa, Amel adalah pribadi yang teliti, cermat dan cenderung perfeksionis.

Ia menepuk jidat. Menyesali kebodohannya sendiri.

~.~.~.~.~.~.~

 "Amel, kau masih ingat Kiran? Temen kuliah dulu yang sering kau titipi pesan untukku?" tanya Abram, hati-hati.

"Kiran? Yang mana? ... Yang giginya gingsul, pipinya 'dekik' sebelah?" sahut Amel, sambil mengingat-ingat.

"Iyaa ... Kau sering memanggilnya 'gingsul', jawab Abram. Kelegaan terpancar di wajahnya.

"Dialah istri Pak Ikhsan, yang memesan kain kain batik ini. Dia pula, yang memilihkan batik ungu ini untukmu," jelas Abram.

Amel manggut-manggut. Melihat wajah istrinya yang berseri-seri, laki-laki itu tersenyum. Berharap kemarahan Amel menguap seperti yang sudah-sudah.

Tiap kali, ketika bertengkar atau salah satu diantara mereka ada yang marah, tak ada perbincangan untuk membahas ketidakberesan itu setelahnya.

Masing-masing dari mereka akan menghindar, memilih diam atau membiarkan suasana itu dalam beberapa hari. Untuk kemudian, kemarahan itu menguap dengan sendirinya.

Abram maupun Amel tahu, hal itu tak baik. Apalagi dibiasakan hingga bertahun-tahun. Memendam kekecewaan, kemarahan berlama-lama itu akan berimbas pada daya tahan tubuh mereka, terutama Amel.

Sudah terbukti, lambungnya akan 'berontak' setiap kali kejadian itu terulang kembali. Lagi. Dan lagi.

~~~~~~

Sepulang dari dinas luar kota, Abram sibuk membongkar tas punggungnya. 

Dipisahkannya baju baju kotor, perlengkapan mandi dan charger ponsel. Kemarin, ia masukkan semuanya, asal bisa muat.

'Aah, cuma mau dicuci aja. Ngapain dilipat rapi, lagi,' batinnya.

Setelahnya, ia menurunkan koper berukuran agak besar, lalu mulai kembali packing.

"Kamas, sudah mau pergi, lagi?" Amel yang keheranan, berdiri sambil bersandar di kusen pintu kamar mereka.

"Siniin baju gantimu, Yang. Biar sekalian kutata di koper," jawab Abram tanpa menoleh.

"Heii ... Kita mau kemana? Kok?"

"Ayolah, pesawat kita jam 13.00. Nanti kita ketinggalan ...."

Mau tidak mau, Amel segera sibuk dengan perlengkapannya. Untunglah, ia sudah menyeterika baju-bajunya kemarin. Hingga hari ini tak perlu bingung menyiapkan pakaian ganti.

Selesai sarapan, beberes perabotan yang kotor, memastikan semua peralatan elektronik sudah dilepas dari colokannya kecuali lemari pendingin, mereka memesan taksi via aplikasi.

"Sebenarnya, kita ini mau kemana tho, Kamas?" Amel masih penasaran.

"Rahasiaaa," jawab Abram. Ia pun tergelak melihat Amel manyun.

 ~.~.~.~.~.~

Usai urusan bagasi, Abram menggandeng Amel menuju pintu keluar. Setelah memesan taksi, mereka segera melaju. Butuh beberapa jam untuk sampai ke hotel yang telah dipesan Abram sebelumnya.

"Sebenarnya ini ... maksudnya apa, Kamas?" Amel masih ngedumel, meskipun ia berjalan mengekor di belakang Abram menyusuri lorong-lorong menuju ke kamar.

"Sstt ...," sambil menempelkan telunjuknya di bibir, Abram mengerling nakal.

Setelah mengulurkan tips ke petugas hotel, Abram menutup pintu dan menguncinya sekalian.

Tanpa menjawab, ia menjatuhkan diri ke tempat tidur asal-asalan. Memencet remote tivi dan mencari saluran secara acak.

Amel masih berdiri, diam. Ia belum sepenuhnya mengerti apa mau suaminya.

"Siniii, berbaringlah di sisiku. Sinii," Abram menepuk-nepuk bagian kasur yang kosong di sebelahnya.

Amel justru melangkah ke kamar mandi. Nampaknya ia sengaja berlama-lama di sana. 

Wajahnya bercahaya, tubuhnya menguarkan aroma orange yang segar sekeluarnya dari kamar mandi. Keletihan seolah menguap dari wajahnya.

"Kamas, bisa pesan layanan kamar, nggak? Aku ... lapaar," serunya sambil menepuk-nepuk perutnya yang masih tetap rata.

Sama seperti ketika Abram pertama kali menyentuhnya seusai akad. Sepuluh tahun yang lalu.

"Ooh, okee. Kita pesan makanan. Mau makan apa, Yaang? Ada pasta, lasagna, ada ...," Abram membolak balik daftar makanan di depannya.

"Manuut," sahut Amel, buru-buru.

Tak butuh waktu lama, hidangan yang mereka pesan sudah diantarkan ke kamar.

~~~~~

"Yaang, sebetulnyaaa ... sebetulnya aku ingin katakan sesuatu," sambil menyisir rambut hitam Amel, Abram berkata hati-hati.

"Soal?" gumaman itu nyaris tak terdengar.

"Soal skrinsyut yang kau simpan di gallery ponselmu," sahut Abram sambil memandang manik mata Amel.

Wajah Amel seketika berubah mendung, matanya berlinangan.

"Yaang, beri aku kesempatan untuk menjelaskan semuanya. Selama ini ... selama ini ... kau hanya diam. Kenapa?"

Abram menghela nafas.

"Aku sudah memutuskan untuk meninggalkan Kinanti ... meski dia bisa memberiku ... keturunan. Seperti yang kuidamkan selama ini," suara Abram hampir saja tak terdengar.

"Bagaimana pun, kita sudah pernah saling berucap janji. Dalam senang, dalam susah, kita akan selalu bersama-sama. Saling bergandeng tangan, menghadapi semuanya, berdua." Suara Abram makin tercekat.

Ia berusaha keras untuk tidak menangis.

Yaa, menangis. Ia menyesali kebodohannya sendiri, gampang tergoda. Oleh seorang teman lama, teman yang tak lagi dijumpainya dalam waktu lama.

Dipeluknya tubuh ringkih itu makin erat, seolah ingin memindahkan segala rasa gundah hati Amel ke dalam hatinya sendiri.

Ia tahu, kenyataan ini akan sangat mengguncang perasaan Amel. Ia yang cacat, ia yang berkekurangan. Ia tak mungkin lagi memberinya keturunan.

"Kenapa, Kamas?" tanya Amel, patah.

"Bukankah Kamas sangat menginginkan keturunan? Lalu ... kenapa Kamas?" parau dan tercekat suara Amel. Ia hampir hampir tak bisa menguasai diri.

"Karina itu cinta pertamaku. Duluuu ... kami hampir tak bisa dipisahkan satu sama lain," suara Abram terdengar mengambang.

"Saat reuni, aku baru tahu bila Karina sudah menjanda. Lebih dari tiga tahun. Kawan kawan sibuk 'menjodohkan' kami kembali. Mereka ... mereka tak mau mendengar protesku."

"Lalu?"

"Karina pernah curhat padaku. Curhat tentang beratnya hidup yang harus dia hadapi. Sendirian. Predikat janda yang disandangnya, membuatnya tak leluasa mencari nafkah."

Tak ada reaksi berlebihan dari Amel. Ia masih memandangi Abram, yang tengah berusaha keras untuk meneruskan kisahnya.

"Aku ... Aku pernah tergoda untuk menjadikannya ... istri. Ia sehat, anak semata wayangnya cakep, berkulit bersih seperti ibunya.

Abram menghentikan ceritanya saat melihat air mata mengalir di pipi istrinya.

"Teruskan, Kamas. Aku menunggu ...," serak Amel. 

Ia berusaha menahan isaknya.

"Maafkan aku, Yaang. Aku .. Aku ...," Abram kehilangan kata-kata.

Amel menggeleng-gelengkan kepalanya. Berusaha mengusir kemarahan yang hampir diletupkannya di hadapan Abram. Sudah lama ia menunggu suaminya membicarakan persoalan ini. Menunggu penjelasan duduk perkara sebenarnya.

Meski sebenarnya, hatinya mendidih setiap kali ingat perbincangan di sosmed suaminya. Obrolan yang prive --sangat pribadi, penuh dengan bujuk rayu dan ungkapan sayang ... 

Amel menemukan satu hal yang dirasanya 'janggal', tak ada sepatah pun janji yang terucap dari balasan balasan Abram.

Why?

Abram memandangi wajah isterinya. Memastikan bahwa apa yang diucapkan Amel itu sungguh-sungguh dari hatinya, bukan basa basi di bibir saja.

Ia jauh lebih tegar dari yang pernah dibayangkan Abram sebelumnya.

"Tapi kenapa, Yaang? Kau tahu aku sudah ... sudah ...," Abram tak sempat menyelesaikan kata-katanya, telunjuk Amel sudah melintang di bibirnya.

"Aku sudah pernah berjanji, kita akan menua bersama. Duluuu, meski beberapa keluarga menolak pernikahan kita ...," mata Amel menerawang.

"Kita memilih untuk memantapkan langkah. Kita tetap menikah dan menjalani kehidupan ini bersama. Aku masih ingat, kita hanya berbekal pakaian sekoper, dan menyewa kamar kontrakan yang sempit."

Abram diam, menunggu.

"Semenjak itu, aku telah berjanji pada diriku sendiri. Aku akan menerima Kamas seperti apa adanya." Amel mengubah posisi berbaringnya. 

"Aku akan memaafkan kesalahan Kamas, apapun yang terjadi. Apalagi, semenjak aku tahu, aku tak bisa memenuhi harapanmu," kali ini kata-kata Amel terhenti oleh isakan yang makin keras.

"Ssshhh ... Jangan diteruskan," sergah Abram.

"Tidak, Kamas. Penerimaan Kamas atas kekuranganku, menutupinya dari seluruh keluarga besar dengan kebesaran hati, menenangkan ibu dengan jawaban yang menyejukkan rasa ...  itu lebih dari cukup, untukku. Aku tahu diri, Kamas."

"Lalu?"

"Aku sudah memaafkanmu, Kamas. Sejak lama. Sejak kutemukan chat itu di ponselmu tahun lalu".

"Ameeell."

"Yaaa. Aku menyadari, setiap pria ingin membuktikan bahwa dirinya mampu membuahi benih, mampu meneruskan keturunan sejak dirinya menikah. Kamas tahu kan, olok-olok mandul itu hampir hampir tak pernah dituduhkan pada pria?" tanya Amel.

Abram mengangguk. Mereka pernah membahas hal itu di tahun ketiga pernikahan.

"Kalau pun, Kamas akhirnya pengin juga mewujudkan pembuktian bahwa Kamas mampu, aku sangat ... sangat mengerti...," helaan nafas Amel terdengar amat memilukan.

"Selama bertahun-tahun, rumah kita sepi dari riuh rendah tawa dan tangisan anak-anak. Kalau pun ada beberapa keponakan, itu tak berlangsung lama. Hanya sehari dua ... Selebihnya, mereka akan pulang bersama orang tua masing-masing."

Dengung suara AC terdengar seperti tangisan hati. Pelan. Tajam menusuk.

"Kamas menginginkannya, kan? Bisa menimang buah hati sendiri, bukan pinjam?" kali ini senyum Amel terlihat. Letih.

Sejujurnya, Abram sangat ingin mengangguk. Meng-iya-kan pertanyaan Amel barusan. 

Ia sungguh merindukan buah hati. Rengekannya, tawa cerianya, tatapan mata polosnya ... suatu hal yang hanya mampu dibayangkannya, hanya sempat diangankannya saja.

Ia tak pernah tega mengungkapkan keinginannya pada Amel. Sejak operasi pengangkatan kista yang membengkak di indung telur istrinya itu, hingga berujung pada pengangkatan rahim. Agar nyawa Amel tertolong. 

'Bagaimana harus menjawabnya? Apakah aku harus jujur, mengatakan apa yang kumaui? Nanti ... nanti aku melukai hatinya. Tapii ... kalau aku bohong, suatu saat nanti pasti akan terbongkar', batin Abram.

"Kamas, kok diam?"

Kelam sorot mata Amel seolah sembilu yang mencabik-cabik hati Abram. 

Tak henti-hentinya ia merutuki dirinya sendiri, kenapa mudah sekali tergelincir oleh pesona masa lalu.

'Bodohnya aku ... bodoh ... bodoh!' gerutunya dalam hati.

"Yaang, bagaimana harus kujawab pertanyaanmu?" keluhnya. 

"Kalau aku jujur, aku takut kau akan terluka. Kalau pun aku bohong, pasti kau akan jauh lebih sakit karena kubohongi?'

"Jujurlah, Kamas. Aku sudah siap mendengar apapun. Tak akan mengubah sikapku. Tak akan kutarik lagi ucap maafku."  

Jawaban itu makin membuat Abram mati langkah.

Ia hanya bisa memeluk erat Amel sambil mendesiskan maaf berulang-ulang.

Note:

-- manut = menurut, ngikut

-- gingsul = kondisi gigi taring yang agak maju/tidak rata. Biasanya 'justru' membuat si pemilik tambah manis.

-- dekik = lesung pipi 

~~~ bersambung ~~~

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun