Sindi    : Oh.. Ryan. Itu teman kalian ya?
William : Kau kenal juga?
Sindi    : Dialah pasien yang sedang kutunggu sekarang. Jadwal kemo-nya kurang lebih 3 jam. Teman dekat?
William : (menatap Mia) Ia. Jadi kau tidak sibuk sekarang? Karena banyak yang ingin kami tanyanya tentang Ryan. (menatap Mia lagi. Ia tahu Mia lebih membutuhkan informasi itu dibandingkan dirinya)
Sindi    : (mengangguk, dan duduk disebelah William) Tanya saja, tapi ada informasi tertentu yang tidak bisa ku bicarakan tanpa seizing pasien.
Mia      : Bagaimana awal mula dia bisa begini? (Pertanyaan yang sifat jawabannya adalah menyuruh Sindi menceritakan dari awal sampai akhir kisah Ryan)
Sindi    : Mmmm... aku mulai dari mana ya. Oh, dua minggu sebelum kau membawa Mia ke rumah untuk pertama kali, itulah awal mula aku bertemu dengannya. Awalnya keluhannya sakit perut tapi tetap selera makan. Ia berpikir kalau ada semacam cacing pita di dalam tubuhnya. Ryan pucat sekali, tapi aku tidak berani melakukan tindakan langsung karena dokter yang pertama kali ia temui bukan aku. Kebetulan dokter itu keluar negeri, dan ia yang memiliki rekap pemeriksaan yang kata asisten dokter itu, pasien Ryan sudah hampir lima kali datang dan melakukan pemeriksaan.
Mia     : Apa dia memang terlihat sangat pucat? Kenapa aku tidak terlalu memperhatikan wajahnya ya?
Sindi    : Hah? Maksudnya?
William : (mengibaskan tangannya)Â Sudah, lanjutkan saja ceritanya.
Sindi    : (Mengangguk) Karena ia sudah memohon-mohon padaku untuk segera dilakukan pemeriksaan bagian dalam perutnya, jadi aku memutuskan menghubungi dokter tersebut terkait semua data pemeriksaan Ryan sebelumnya. Esok harinya kami langsung melakukan endoskopi terhadap pasien dan hasilnya positive sakit parah