Mohon tunggu...
Nurdin Taher
Nurdin Taher Mohon Tunggu... Administrasi - Keberagaman adalah sunnatullah, karena itu pandanglah setiap yang berbeda itu sebagai cermin kebesaran Ilahi. Surel : nurdin.en.te.70@gmail.com0

Lahir dan besar di Lamakera, sebuah kampung pesisir pantai di Pulau Solor, Flores Timur. Menempuh pendidikan dasar (SD) di Lamakera, kemudian melanjutkan ke SMP di Lamahala, juga kampung pesisir serta sempat "bertapa" 3 tahun di SMA Suryamandala Waiwerang Pulau Adonara, Flores Timur. Lantas "minggat" ke Ujung Pandang (Makassar) pada Juli 1989. Sejak "minggat" hingga menyelesaikan pendidikan tinggi, sampai hari ini, sudah lebih dari 30 tahun berdomisili di Makassar. Senantiasa belajar dan berusaha menilai dunia secara rasional dengan tanpa mengabaikan pendekatan rasa, ...

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Jika Seseorang Bisa Belajar Untuk Membenci, Seharusnya Bisa Belajar Untuk Mencintai

5 September 2017   06:43 Diperbarui: 6 September 2017   07:12 3344
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Oleh : eN-Te

Judul artikel ini merupakan sepenggal cuitan  mantan Presiden Amerika Serikat (AS) Barack Obama dengan mengutip pernyataan Nelson Mandela, seorang tokoh pejuang persamaan hak dan derajat, sekaligus Bapak dan mantan Presiden Afrika Selatan. Obama mengutip Mandela dan menulis kembali dalam twiternya menanggapi kerusuhan yang terjadi di Amerika Serikat beberapa waktu lalu. Adalah Grace Natalie, salah seorang narasumber yang diundang dalam acara ILC (selasa, 29/8/2017) yang disiarkan TV One itu, mengemukakan perpektif tentang 'fitrah' kemanusiaan itu dengan mengacu pada tweet Obama tersebut. Grace adalah satu-satunya narasumber perempuan yang dihadirkan di acara ILC malam itu.

Tampil elegan, wanita cantik nan anggun itu, memaparkan secara smart perspektifnya tentang skandal kelompok penebar kebencian berkonten SARA, yakni Saracen yang menjadi topik ILC malam itu. Dengan tenang dan penuh 'wibawa', Grace Natalie membuka analisisnya dengan mengemukakan keprihatinannya melihat kondisi masyarakat dan atmosfir politik Indonesia hari ini, yang sangat rentan dikibuli dengan berita-berita dan atau informasi-informasi hoaks beraroma fitnah.

Saracen dalam Masyrakat Gampang Tertipu

Grace Natalie mengawali paparannya dengan mengajukan sebuah hipotesis. Merujuk data Badan Pusat Statistik (BPS) 2016, Grace mengemukakan hipotetisnya bahwa masyarakat Indonesia belum bisa perpikir kritis. Menurut Grace Natalie, bahwa berdasarkan data BPS 2016, sebagian besar (sekitar 48%) tingkat pendidikan masyarakat Indonesia masih sangat rendah, yakni setingkat Sekolah Dasar (SD) dan bahkan masih ada di bawah SD.  

Jasriadi, Pentolan dan Ketua Kelompok Saracen (dokumen pribadi)
Jasriadi, Pentolan dan Ketua Kelompok Saracen (dokumen pribadi)
Karena itu, Grace Natalie berasumsi bahwa kelompok social dengan tingkat pendidikan seperti itu, sangat rentan dan gampang tertipu oleh informasi-informasi yang berbau hoaks dan atau fitnah. Hal itu, dimungkinkan karena kelompok sosial dengan tingkat pendidikan yang kurang memadai, tidak dapat melakukan filterisasi secara selektif dengan mencerna terlebih dahulu setiap berita dan atau informasi yang diterima melalui proses check-rechecksecara memadai.

Dalam konteks demikian, kelompok penebar kebencian berkonten SARA, seperti Saracen ini merasa mendapatkan 'berkah'. Mereka dapat memanfaatkan kesempatan itu untuk meraihkan keuntungan. Caranya dengan mengkomersialisasikan berita atau informasi hoaks dan fitnah. 'Kelompok bangsat' itu seakan tidak merasa berdosa memanfaatkan 'keluguan' masyarakat yang belum cukup mendapat pencerahan melalui pendidikan yang memadai untuk mengeruk keuntungan, menebarkan kebencian SARA melalui berita atau informasi hoaks dan fitnah untuk memenuhi 'libido' ekonomi-politiknya.

Fitrah Manusia

Fenomena kelompok penebar kebencian berkonten SARA melalui berita dan atau informasi hoaks dan fitnah, saat ini lagi menjamur, sejak Pemilihan Presiden (Pilpres) hingga sejumlah Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada). Kondisi tersebut membuat kita harus menengok kembali doktrin agama dan nilai-nilai kemausiaan. Bahwa hampir semua agama samawi (Islam, Kristen, dan Yahudi) serta agama dan kepercayaan lainnya, mempunyai pandangan yang sama tentang manusia.

Islam, dalam salah satu  doktrinnya menyebutkan bahwa setiap manusia dilahirkan dalam keadaan fitrah. Perspektif Islam menjelaskan tentang fitrah itu tidak hanya menyangkut keyakinan theologis (habblumminallah), tapi juga berkaitan dengan hubungan muamalah (hablumminnas).

Perspektif theologis itu dijelaskan secara tegas dalam Qur'an.  Dalam surat al-A'raf (Q.S. 7:172), ketika Allah SWT hendak akan meniupkan ruh-Nya ke dalam sulbi seorang calon anak manusia, Ia berfirman, "Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): "Bukankah Aku ini Tuhanmu? "Mereka menjawab: "Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi". 

Ayat tersebut menjelaskan tentang 'perjanjian manusia akan ketauhidan yang menggambarkan eksistensi Tuhan. Bahwa Allah SWT adalah Tuhan yang tiada Tuhan selain Dia. Secara theologis, kesaksian seorang anak manusia ketika masih di alam rahim, menunjukkan bahwa sejak awal, manusia itu secara fitrah mengenal akan keesaan Tuhan. 

Hanya saja karena faktor lingkungan, sehingga setelah si jabang bayi lahir ke bumi, kemudian mulai 'bertingkah'. Berbagai pengaruh lingkungan, termasuk orang tuanya, menyebabkan sang anak terkontaminasi dan terpapar kefitrahannya. Karena itu, Nabi Muhammad SAW pernah berpesan, bahwa 'intervensi' lingkunganlah yang membuat seorang anak Adam kemudian harus mengingkari keesaan Tuhan dengan berpaling dari fitrahnya. "Setiap anak itu dilahirkan dalam keadaan fitrah", kata Nabi.  

Fitrah dalam Relasi Kemanusiaan 

Sejak awal manusia diciptakan Allah dalam keadaan tauhid, mengakui keesaan Tuhan, dan berpembawaan baik dan benar. Fitrah manusia itu cenderung kepada ajaran tauhid dan meyakininya. Ajaran tauhid pada hakekatnya sejalan dengan nalar (yang benar) dan senantiasa membimbing kepada pola pikir dan pola tindak  yang konstruktif.

Dengan begitu fenomena 'kelompok bangsat' (sebagaimana Ade Armando menyebut Saracen) yang secara sadar menebarkan cara pikir dan pola tindak yang destruktif dengan mengangkangi nalarnya, hanya untuk memenuhi syawat ekonomi-politik sesaat, merupakan anomali nyata dari hakekat kefitrahannya sebagai manusia. Tidak hanya mengingkari nilai ketauhidan, tapi sekaligus memberangus secara kasar nilai-nilai kemanusiaan yang cenderung menginginkan dan mengharapkan kedamaian.

Sri Rahayu Ningsih, salah satu koorwil dari Kelompok Saracen (dokumen pribadi)
Sri Rahayu Ningsih, salah satu koorwil dari Kelompok Saracen (dokumen pribadi)
Maka jika ada sekelompok 'bajingan' berhati iblis yang tega mengorbankan kerukunan (toleransi) dengan mengobarkan kebencian SARA hanya untuk mencabik-cabik keberagaman, seperti saat ini terjadi di Inodnesia, karena sebuah kontestasi politik, membuat kita menjadi miris. Apalagi motifnya hanya untuk mendapatkan keuntungan finansial dan kepuasan semu atas kepentingan politik kelompok.

Belajar Mencintai (dari) Nelson Mandela 

Mantan Presiden AS, Barack Obama, seperti diungkapkan Grace Natalie dalam acara ILC itu, pernah membuat tweet melalui akun twiternya. Tweet Obama itu dilakukan sesaat setelah terjadi kerusuhan rasial di AS beberapa waktu lalu.

Rupanya ketika terjadi kerusuhan rasial itu, Obama teringat akan pernyataan seorang tokoh dunia, pejuang penghapusan sistem Apartheid yang pernah berlangsung (dari 1948 sampai dengan 1991) di Afrika Selatan. Sebuah sistem pemerintahan yang menerapkan perbedaan perlakuan (diskriminasi) atas dasar warna kulit, antara warga negara kulit putih dan warga negara kulit hitam. Tokoh tersebut adalah Nelson Mandela.

Sosok Nelson Mandela tidak hanya dikenal sebagai Bapak Afrika Selatan, melainkan juga menahbiskan dirinya sebagai seorang tokoh kemanusiaan yang sangat kharismatis. Karena itu, pernyataan yang keluar dari lisan Nelson Mandela sering menjadi referensi banyak tokoh dunia lainnya. Salah satu tokoh dunia, yang terpesona dengan kharisma Nelson Mandela itu adalah mantan Presiden AS, Barack Obama.

Sumber : http://indiatoday.intoday.in/story/barack-obama-most-liked-tweet-story-behind-nelson-madela-words/1/1027606.html
Sumber : http://indiatoday.intoday.in/story/barack-obama-most-liked-tweet-story-behind-nelson-madela-words/1/1027606.html
Jejak langkah dan pengaruh Nelson Mandela dalam persepektif kemanusiaan sangat besar dan menyejarah. Maka apapun yang yang berkaitan dengan Nelson Mandela, termasuk ucapan dan tindakannya senantiasa menjadi 'rujukan'. Karena itu, wajar Obama mengingat dan mengenang kembali Bapak Afsel itu, ketika menyaksikan kejadian kerusuhan rasial di negaranya. Obama pun merasa perlu mengangkat dan mengutip salah satu pernyataan Nelson Mandela, kemudian dituliskan kembali melalui akun twiternya.

Obama melalui twiternya mengajak publik dunia untuk kembali mengingat 'pesan' seorang pejuang persamaan hak dan derajat sebagai warga negara dan manusia sejati, Nelson Mandela. Menurut Obama, mengutip Mandela mengatakan, "Tidak ada satu orang pun yang lahir dengan kondisi dia membenci orang lain karena warna kulitnya, karena latar belakangnya, atau karena agamanya. Jadi kebencian itu, pasti bisa diajarkan karena dia lahir dengan kondisi tidak membenci, dan kalau seseorang bisa belajar untuk membenci, harusnya mereka juga bisa belajar untuk mencintai".

Bahwa fitrah (ke)manusia(an) itu  cenderung bersikap hanif. Yakni senantiasa ingin melakukan hal-hal yang baik dan sesuai dengan ketentuan Ilahi. Karena itu, pada dasarnya setiap orang (manusia) memiliki naluri bawaan untuk melakukan pola pikir dan pola tindak sesuai dengan nilai ke-Ilahai-an. Di mana dalam setiap 'kreasinya', manusia (sesuai dengan naluri yang bersih bening) senantiasa berpaling dari keburukan dan condong pada kebaikan.

Sebenarnya secara haket manusia lebih suka melakukan hal-hal yang bersifat kontruktif untuk kemaslahatan semua umat manusia atas alas cinta, tidak atas alas yang lain. Jadi bila ada sekarang muncul kelompok sosial dengan membawa simbol-simbol tertentu, apalagi simbol agama, tapi kecenderungan bersikap destruktif, maka hal itu berarti secara sadar menolak eksistensi kefitrahannya sebagai manusia. Bila ada kelompok penebar kebencian berkonten SARA, karena alasan syahwat ekonomi-politik sesaat, tega ingin mengoyak kemajemukkan bangsa, sebenarnya telah mendapat pengaruh buruk dari lingkungannya.

Cinta dan Benci dalam Potret Politik Indonesia Hari Ini

Lingkungan dalam pengertian yang sangat luas. Bisa lingkungan keluarga, lingkungan sekolah, dan juga lingkungan masyarakat. Dalam konteks keluarga, maka orang yang paling pertama memberi pengaruh terhadap anak (hendak akan menjadi apa kelak) adalah orangtuanya. Interaksi dan pola asuh dalam keluarga melalui orangtua dan anggota keluarga lainnya (di rumah) akan sangat menentukan dan mewarnai perjalanan seorang anak manusia, apakah masih dalam trek kefitrahannya atau mau berpaling dari fitrah itu sendiri.

Dalam istilah Grace Natalie, merefer Nelson Mandela, "bahwa rumah itu punya peran penting untuk mengajarkan seorang anak pertama kali, apakah dia mau belajar tentang cinta atau kebencian. Demikian pula dengan sekolah, mempunyai peran penting (dari guru), apakah guru ini mau mengajarkan toleransi atau intoleransi".

Begitu pula dengan rumah ibadah. Rumah Tuhan itu mengajarkan tentang kebajikan atau keburukan. Saya yakin semua orang Indonesia, (anak-anaknya), tidak lahir dengan membawa 'fitrah' membenci seseorang atau kelompok sosial dan atau politik lainnya. Jika sekarang ada sekelompok orang membenci seseorang dan atau kelompok sosial lainnya (apalagi karena faktor ekomomi-politik), maka sudah pasti karena pengaruh lingkungannya. Grace Natalie menegaskan, bahwa "Mereka belajar dari  orang-orang dewasa yang lebih dulu belajar tentang kebencian, membenci kelompok tertentu karena mungkin mereka berbeda suku, agama, dan rasnya".

Cinta dan benci adalah dua kosa kata yang saling menegasikan. Satu mengajarkan tentang ketulusan memelihara kedamaian untuk menggapai asa bersama. Sementara yang lainnya berusaha 'meniadakan', bahkan memungkinkan untuk menghancurkan secara paksa. Maka potret atmosfir sosial politik Indonesia hari ini menggambarkan dua kondisi itu yang sedang tarik menarik untuk saling menghancurkan.

Bila kondisi pertama yang lebih menaungi negeri ini, maka kita masih akan tetap optimis bahwa Indonesia Raya ini akan tetap eksis dan berkibar di seantero negeri. Karena itu, sebagai warga negara yang bertanggung jawab, mari menggunakan nalar secara benar dan bertanggung jawab. Memelihara kedamaian demi persatuan dan kesatuan dalam kemajemukan. Dan saya yakin 'warga negara yang waras' masih lebih dominan ketimbang mereka yang dengan tega menggadaikan rasa cinta dengan kebencian yang membuncah untuk mendapatkan keuntungan ekonomi, apalagi kepentingan politik sesaat.

Budaya Literasi

Harus diakui secara jujur bahwa tingkat dan budaya literasi rakyat Indonesia masih sangat jauh dari memuaskan. Hal itu terbukti dengan kondisi kebangsaan kita yang sangat rentan terhadap isu dan rumor. Apalagi isu dan rumor itu berkaitan dengan masalah politik, dan juga SARA. Potret itu menjelaskan bahwa politik kita sungguh sangat tidak bermartabat, jika menengok kondisi hari ini.

Karena itu, menurut Grace Natalie yang juga Ketum PSI, bahwa terbongkarnya kelompok penebar kebencian berkonten SARA, Saracen ini sangat terkait dengan budaya literasi kita yang sangat rendah. Di mana dengan tingkat pendidikan masyarakat yang masih sangat rendah maka hal itu berpengaruh terhadap dua hal, yakni traditional literacyrate(tingkat melek huruf tradisional) dan digital literacy rate (tingkat melek digital). Dengan traditional literacy rate-nya rendah maka   (sudah) pasti digital literacy rate juga rendah. Jadi dengan tipologi masyarakat seperti itu, mereka kemudian menerima informasi (hoaks),  bereaksi, meresponi tanpa mencerna dulu dalam otaknya, apa masalah yang sebenarnya.

Kondisi tersebut berbanding lurus dengan mewabahnya budaya menebar kebencian berkonten SARA melalui berita hoaks dan fitnah yang lagi menjadi trend. Celakanya wabah 'penyakit latah', yang gampang percaya dan membagikan berita dan atau informasi hoaks tidak hanya menjangkiti kelompok sosial dengan tingkat pendidikan yang relatif masih rendah, tapi hal itu sudah menular jauh sampai menjangkiti komunitas sosial terdidik dan intelek. Tidak sedikit dari orang-orang terdidik yang termakan provokasi sampah melalui berita dan atau informasi hoaks itu berasal dari kalangan akademisi.

Maka, saya tidak heran ketika menyimak pendapat Effendi Ghazali (yang katanya pakar komunikasi, tapi pendapatnya cenderung tendensius dan partisan) pada acara ILC yang membahas tentang 'kelompok bangsat' Saracen, dengan entengnya mengatakan  bahwa negara ini terlalu tegang dalam menghadapi isu Saracen. Bagi Effendi, kita (negara) tidak perlu menanggapi secara serius dan membesar-besarkan masalah Saracen ini.

Lain Effendi Ghazali (EG), lain pula Rocky Gerung (RG). Dalam kaca mata Rocky Gerung bahwa berita dan atau informasi hoaks itu juga penting, sebagai penyeimbang. Meski kedua orang ini (EG dan RG) juga sadar bahwa kebencian SARA, dalam teori sosial manapun, dipercaya berpotensi akan menimbulkan konfilk sosial yang sangat parah, sekaligus merusak keberagaman, kerukunan (toleransi), dan tenun kebangsaan sebuah negara.

Rocky Gerung, pakar filsafat yang hadir sebagai Narasumber (dokumen pribadi)
Rocky Gerung, pakar filsafat yang hadir sebagai Narasumber (dokumen pribadi)
Maka berbeda dengan EG dan RG, Grace malah berpandangan bahwa  kondisi masyarakat tidak terbiasa berpikir kritis, tidak terbiasa ditantang (challenged) untuk berbeda pendapat dan kemudian setelah itu keluar dari argumentasi yang jelas, otentik, dan valid. Orang-orang yang seperti ini ketika memasuki era digital seperti saat ini pasti akan mengalami kegagapan. Sehingga mereka dengan sangat 'mahir' memainkan jari jemarinya di atas tuts keyboard mengklik dan dengan mudah membagikan informasi yang tidak jelas, hoaks, dan fitnah itu. Ketika sudah masuk ke wilayah public dengan traditional literacy rate dan digital literacy rate-nya rendah, maka akan langsung melahapnya, tanpa harus mencerna terlebih dahulu. Pada kondisi masyarakat yang gagap tersebut, maka informasi hoaks itu dengan gampang menjadi viral. Apalagi terkait dengan sebuah kontestasi (politik).

Refleksi

Menghadapi skandal' Saracen itu, Grace Natalie mengajak kita untuk melakukan refleksi terhadap pelaksanaan Pilkada DKI 2017 kemarin. Menurutnya, bahwa kita harus jujur mengakui bahwa kontestasi di Pilkada DKI kemarin, isu agama menjadi alat atau komoditas untuk meraih kekuasaan (politik).

Memanfaatkan semua saluran (media) yang mempunyai daya jangkau yang nyaris tanpa batas, seperti facebook, WA, dan BBM untuk menyebarkan konten-konten yang berisi hoaks (berita bohong), maka akan sudah pasti mempunyai daya destruktifnya luar biasa besar. Apalagi kemudian diamplikasi dengan momen-momen pemilihan.

Karena itu Grace Natalie mengajak kepada semua elemen bangsa ini "agar menarik politik itu kembali kepada tempatnya yang mulia". Dengan kata lain politik harus dikembalikan pada 'khittahnya'.

Harus disadari bahwa fenomena Saracen, menemukan konteksnya ketika bertemu dengan nafsu politik yang menghalalkan segala cara untuk memperoleh kekuasaan. Dan hal tersebut harusnya diberantas sampai ke akar-akarnya. Kita tidak perlu bersikap permisif terhadap pola tingkah kelompok yang kehilangan kewarasannya untuk mengoyak tenun kebangsaan kita.

Di akhir paparannya, Grace Natalie kembali berpesan, bahwa sebagai ibu dari anak-anak, dan juga semua orang yang punya anak, pasti ingin, anak-anak kita tumbuh dalam lingkungan yang damai, toleran, dan menghargai kemajemukan. Karena kemajemukan itu adalah fakta (keras) di Indonesia. Dan harusnya bisa menjadi aset yang perlu dijaga dan dipertahankan bersama-sama.  

Grace menambahkan, siapapun, apalagi sebuah pabrik yang memproduksi fitnah dan kebencian, itu harusnya dihukum seberat-beratnya, krena mereka merusak generasi muda, merusak  keberagaman kita dalam tatanan NKRI, menebar benih-benih kebencian, yang setiap saat ketika benih-benih itu sudah ditabur, gesekan sedikit saja bisa menimbulkan konflik yang besar.

Maka saya setuju dengan anjuran agar sebagai umat beragama, kita harus berpaling kepada moral agama dan kemanusiaan yang mengajarkan bahwa secara fitrah, manusia terlahir dalam keadaan suci, yang tidak tercemar oleh virus kebencian. Cinta tulus yang dibawa sejak lahir sebagai wujud fitrah manusia hendaknya selalu dipelihara dan dipertahankan, agar tidak mudah terjebak dalam pusaran kepentingan, baik itu kepentingan ingin mendapatkan keuntungan finansial, apalagi menggolkan kepentingan politik sekelompok orang yang haus kuasa yang telah kehilangan kewarasannya.

Sudah saatnya kita mengembalikan politik ke 'khittahnya' dan menjalankannya  secara sehat dan bermartabat!

Wallahu a'lam bish-shawabi

Makassar, 5/9/2017

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun