Mohon tunggu...
emnis wati
emnis wati Mohon Tunggu... Guru - Pendidik

Seorang guru dari SDN 012 Surya Indah di Kecamatan Pangkalan kuras. Sekarang pindah ke Dinas Pendidikan dan Kebudayaan sebagai Pengawas sekolah Dasar di Kabupaten Pelalawan. Saat ini tengah menekuni belajar menulis cerpen. Motto: Belajar sepanjang hayat

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Haruskah Aku Mati, Biar Kau Mengerti dan Bisa Hargai

15 Oktober 2022   10:14 Diperbarui: 15 Oktober 2022   10:15 210
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

"Masakanmu tidak enak, asin, kau tak pandai masak," jawabnya ketus.  Kata yang diucapkannya barusan sangat menyayat hati.  

Pak Budi sekarang lebih suka menghabiskan uang dan waktu di luar rumah bersama temannya. Aku tak dihiraukan lagi. Siang malam aku di rumah yang jauh dari keramaian, bagaikan tinggal di hutan. Teganya ia meninggalkanku sendiri. Tempat mengadu hanya Allah SWT di malam yang sahdu. Memohon suamiku dilembutkan hatinya serta diberikan petunjuk ke jalan yang lurus.

Perubahan sikap Pak Budi membuat diriku sakit hati. Ditambah lagi aku dinyatakan hamil oleh dokter. Dibalik itu aku tetap bersyukur sudah diberikan kesempatan untuk mempunyai buah hati. Namun kondisi tubuhku  sering sakit dan lemas. Terkadang hanya tiduran sehari tanpa ada makan. Suami pun pulang diam tanpa menyapa. Tidak pernah bertanya keadaan ku. Sebagai istrinya aku rindu canda tawanya seperti dulu.  

"Bang." Aku coba menyapanya. "Sepulang sekolah nanti, tolong anterin Lira berobat," ucapku. Tiada jawaban apapun. Sungguh heran dan menyakitkan. Masalah  yang membuat hati ini sangat terpukul dan bersedih. Kasih sayang yang diharapkan, tetapi luka dalam  yang ditorehkannya.

Setiap hari Pak Budi  mukanya masam melihatku. Ia marah tak tahu sebab dan arah. Datang dan pergi sesuka hatinya. Kehadiranku  tak dianggap di rumah itu. Apa salah dan dosaku pun  tiada diberi tahu. Malang nian nasibku yang setip hari hanya berteman air mata. Bersuami tetapi terasa sendiri.

Terkadang terlintas di pikiranku ingin meninggalkannya. Pulang ke rumah orang tua rasanya lebih baik. Namun, kalau masalah ini sampai Ibu tahu, tentu beliau akan bersedih dan merasa bersalah. Lebih baik  aku bertahan dulu semampunya. Masih banyak pertimbangan. Takut namanya jelek di tempat tugas hanya gara-gara kecerobohanku. Aku tak boleh egois harus berpikir logis.

Aku bertahan  demi buah hati. Allah yang maha pengasih dan penyayang. Doa orang teraniaya pasti diijabah Allah. Aku percaya dan yakin suamiku pasti akan berubah menjadi imam yang baik. Sebisanya aku bertahan dan tetap menghormatinya sebagai kepala keluarga.

Ternyata,  suamiku belum berubah juga. Biasanya pulang kerja menuju ke rumah walau hanya ganti pakaian, sekarang malah tak pulang. Mau kemana pun akan kucari.

"Bu Lira, Pak Budinya ada?" tanya  Mbak Siti, istri  penjaga sekolah di mana suamiku mengajar.

"Belum pulang dari tadi, Mbak. Padahal anak sekolah dan guru-guru sudah pada pulang. Entah kemana aku juga tak tahu." jawabku sambil tersenyum berusaha menutupi kesedihanku.

"Mbak, sebenarnya ada perlu apa sama Pak Budi?" tanyaku kembali

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun