Mohon tunggu...
emnis wati
emnis wati Mohon Tunggu... Guru - Pendidik

Seorang guru dari SDN 012 Surya Indah di Kecamatan Pangkalan kuras. Sekarang pindah ke Dinas Pendidikan dan Kebudayaan sebagai Pengawas sekolah Dasar di Kabupaten Pelalawan. Saat ini tengah menekuni belajar menulis cerpen. Motto: Belajar sepanjang hayat

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Haruskah Aku Mati, Biar Kau Mengerti dan Bisa Hargai

15 Oktober 2022   10:14 Diperbarui: 15 Oktober 2022   10:15 210
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

"Mau menanyakan  soal tabungan Diki, sudah seminggu buku tabungannya tidak dibawa pulang." jawab Mbak Siti dengan tenang, seperti tiada masalah dan rahasia yang disembunyikan.

"Oh gitu, Mbak. Tunggu beliau pulanglah." ulasku

Aku sangat mengkhawatirkan keadaan dan keberadaannya.

"Ya Allah, lindungilah suamiku dimanapun dia berada," pintaku.

"Lho, pulang sekolah tadi Pak Budi pergi naik motor sama cewek cantik, Bu," tampak lewat jalan poros  arah ke pasar. Perempuan itu mirip  keponakannya Bapak, saya kira berangkatnya dari rumah," ujar Mbak Siti kembali, yang membuatku tambah resah dan tak berdaya.Tiba-tiba badan menggigil, kepalaku pusing dan penglihatan kabur. Tubuhku seakan melayang-layang bahkan mau tumbang.

Aku sudah tak  tahu lagi apa yang terjadi dengan diriku sehingga bisa sampai dirumah sakit. "Alhamdulillah, Bu Lira sudah sadar," ucap Mbak Siti sambil memegang tanganku.

"Bu Lira kemarennya pingsan, sudah satu hari satu malam tak sadarkan diri." Mbak siti berkata kembali. Terakhir dia mengucapkan selamat atas kehamilanku. Aku berusaha tersenyum melihat Mbak Siti yang begitu senang dengan kehamilanku. Lidah dan mulut terasa terkunci. Entah apa yang terjadi pada diriku. Orang lain sangat senang mendengar berita kehamilan diriku ini. Kata yang dinantikan dan dirindukan dari suami, apakah akan kudapatkan? Batinku bertanya-tanya sendiri.

"Terima kasih, Mbak. Telah bersedia menemaniku disini. Kalau tak ada Mbak Siti mungkin diriku sudah tiada." ucapku  sambil menahan air mata. Mbak Siti memeluk lebih erat." Sabar, ya, Bu. Allah  maha pengasih dan penyayang. Jangan banyak pikiran biar Ibu dan calon bayinya sehat. Dibalik ini pasti ada rencana Allah yang terbaik untuk Ibu dan keluarga," tutur Mbak Siti yang penuh perhatian dan menyejukkan hati.

"Mbak, bila aku sudah diizinkan pulang dari rumah sakit ini. Tolong carikan dan antar saya ke mobil yang sampai ke kampungku. Mau istirahat bersama Ibu dirumah," aku memohon pada Mbak Siti. Mbak Siti hanya menatapku penuh tanda tanya. Sepertinya dia tahu banyak hal tentang kita.

Kemudian datang Pak Budi bersama temannya. Melihatnya dari kejauhan ada rasa rindu dan benci. Apa salah dan dosaku hingga dia tega buat aku begini. Batinku ingin berteriak sekeras mungkin biar semua orang tahu. Namun aku masih punya rasa malu dan tak ingin juga membuat nama suami jelek.

"Alhamdulillah, akhirnya suami Ibu datang," bisik  Mbak Siti. Aku bingung mau jawab apa, senjata ampuhku hanya empat huruf yakni diam. Secepat kilat dia sudah berada di depannya Pak Budi. Entah apa yang mereka bicarakan aku tak bisa mendengarnya. Tiba-tiba kepalaku pusing dan penglihatan kabur. Makin lama makin membuatku lemah. Hanya suara yang terdengar. Mbak Siti terdengar menjelaskan keadaanku pada Pak Budi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun