Bukan hanya itu, ada beberapa peristiwa unik yang terjadi belakangan ini. Melalui berbagai media pemberitaan atau pun media sosial, penulis mendapati adanya beberapa kasus yang menyindir soal pemberlakuan New Normal, seperti kritik terhadap pemerintah, pembubaran atau pengusutan kasus terhadap sekelompok orang yang melakukan aktivitas dalam jumlah massa yang cukup banyak (entah seberapa banyak, ya.).Â
Sebut saja, pembubaran massa demonstrasi di Solo bebrapa waktu yang lalu (www.regional.kompas.com -25/09/2020); pembubaran terhadap Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI), di Surabaya (www.cnnindonesia.com -29/09/2020); dan pengusutan kasus konser di Tegal (www.regional.kompas.com -- 29/09/2020); atau video viral mahasiswa yang melakukan pembelajaran di Mall (www.suara.com -25/09/2020).Â
Dari beberapa fakta ini, adalah sebuah keniscayaan bahwa tidak serta merta pemberlaukan New Normal menjadi strategi yang efisien untuk memulai pola hidup baru, yang mana mesti berdampingan dengan kasus Covid-19; even telah mematuhi protokol kesehatan. Ada banyak kontradiksi atau paradoks yang bermunculan dari strategi pemerintah tersebut. Lantas kita akan bertindak seperti apa?
Membaca Gambar dan Membangun Persepsi
Hemat penulis, terkait gambar yang ditampilkan di muka, sekurang-kurangnya hendak memberikan gambaran tentang carut-marut fenomena sosial masyarakat Indonesia di tengah kasus Covid-19.
Kita boleh saja mengklaim, bahwa berada di tengah kerumunan orang banyak tidak akan menjadi masalah, asalkan mengikuti dan mematuhi protokol kesehatan.
 Tetapi, di sisi lain, kita tidak mungkin bisa mengabaikan bahwa kerumunan tetap saja akan berpotensi terhadap penyeberan virus Covid-19; pertanyaannya, protokol kesehatan seperti apa yang mesti dijalankan agar bisa bebas beraktivitas di tengah kerumunan?
Samovar (2017: 203), menyebutkan bahwa perilaku seseorang merupakan hasil refleksi atas nilai-nilai tertentu, yang didasarkan pada pada keyakinan-keyakinan yang sudah dibangunnya. Berangkat dari konsep Samovar tersebut, sekurang-kurangnya kita bisa membangun persepsi tertentu untuk kemudian bagaimana bersikap.Â
Dalam konteks gambar di atas, persepsi setiap orang tidak bisa disalahkan begitu saja. Samovar (2017: 201), juga menjelaskan bahwa persepsi yang dibangun setiap orang mempunyai karakteristik yang sama, yakni selektif, dipelajari, ditentukan budaya, konsisten, dan sangat subjektif.Â
Maka kemudian, persepsi apa pun yang dibangun atas gambar di atas, tentu bukan merupakan sebuah bentuk kegagalan berpikir atau bukan juga merupakan sebuah kebenaran yang absolut. Interpretasi atas protokol kesehatan dan fenomena kerumunan (yang sekurang-kurangnya terwakilkan oleh gambar di atas), barangkali akan sangat kontradiktif atau paradoksial.
Sehingga, melalui tulisan sederhana ini, penulis hendak menyampaikan bahwa kita sedang hidup dalam sebuah kultus sosial yang cukup runyam. Ketika kebudayaan yang kita miliki mengajarkan kita untuk selalu berinterkasi dan bergaul bersama orang lain, kita juga dihadapkan pada pilihan dilematis oleh karena adanya kasus Covid-19; apakah kita akan tetap berinteraksi dengan orang lain atau tidak?Â